Menuju konten utama

Rentetan Teror pada Jaksa Perlu Diusut, Cegah Potensi Intervensi

Jika kasus pembacokan jajaran Kejaksaan ini tak ditindaklanjuti serius, ada potensi kejadian serupa terulang di masa mendatang.

Rentetan Teror pada Jaksa Perlu Diusut, Cegah Potensi Intervensi
Ilustrasi pengadilan. FOTO/istockphoto

tirto.id - Sepekan terakhir, dua kejadian pembacokan menimpa jajaran Kejaksaan Negeri. Kejadian pertama menyasar jaksa Kejaksaan Negeri Deli Serdang, John Wesli Sinaga (53), dan pegawai tata usaha, Acensio Silvanof Hutabarat (25), Sabtu (24/5/2025). Insiden itu terjadi di kebun sawit milik John di Desa Perbahingan, Kecamatan Kotarih, Kabupaten Serdang Bedagai.

Mulanya, ada dua orang yang tak dikenal datang menggunakan sepeda motor menghampiri John dan Acensio sekitar pukul 13.15 WIB. Sejurus kemudian, pemotor itu menyabetkan kelewang dari tas pancing yang mereka bawa. Tangan kiri John dan tangan kiri Acensio jadi santapan empuk senjata tajam para pelaku.

John mengalami luka cukup parah yang membuat tangan kirinya hampir putus. Mereka lalu diselamatkan sopir truk pengangkut sawit yang melintas di dekat kebun. Keduanya dilarikan ke rumah sakit.

Selasa (27/5/2025) lalu, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kajati Sumut) Idianto menyebut motif pembacokan terhadap Jaksa Jhon Wesli Sinaga dan ASN Kejaksaan Negeri (Kejari) Deli Serdang Asensio Silvanof Hutabarat itu masih simpang siur.

“Kalau motifnya masih simpang siur, ya. Namun dari keterangan korban, dia [Jhon Wesli Sinaga] tidak pernah menangani perkara berkaitan dengan pihak disebut menyuruh melakukan pembacokan itu," kata Idianto usai menjenguk kedua korban di Rumah Sakit Columbia Asia Medan, dilansir Antara.

Simpang siur ini rupa-rupanya turut diwarnai tudingan dari terduga pelaku otak pembacokan Jaksa John, Alfa Patria Lubis alias Kepot (43). Kepot memang telah dicokok oleh Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Utara bersama dua anak buahnya, yakni Mardiansyah dan Surya Darma. Keduanya diduga merupakan pelaku lapangan yang membacok Jaksa John dan Acensio.

Kepot diketahui tengah menghadapi tiga perkara penganiayaan dan perusakan harta benda yang ditangani Kejaksaan Negeri Deli Serdang. Kabar miring beredar menyusul insiden ini, yang datang dari pendamping hukum Kepot, Dedi Pranoto, yang mengatakan, kliennya menganiaya Jaksa John, lantaran gerah dimintai uang terus-menerus terkait perkara berbeda yang dihadapinya.

Tuduhan tersebut ditepis Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kajati Sumut), Idianto, yang memastikan bahwa Jaksa John tidak sedang menangani perkara Kepot. Karena, kata dia, John sendiri yang menyampaikan padanya. Maka, Idianto tidak habis pikir apabila Jhon justru dituduh memeras orang yang tidak punya sangkut-paut dengannya.

”[Pemerasan] itu masih alibi saja yang dibuat sama mereka. Si korban sendiri tidak pernah merasa menangani perkara Kepot yang katanya beberapa kali meminta uang dan lain-lain. Itu menurut pengakuan si korban,” kata Idianto.

Tersangka kasus pembacokan jaksa

Tim Satgas Intelijen Reformasi dan Inovasi (SIRI) Kejaksaan Agung bersama tim gabungan menangkap buronan bernama Eddy Suranta Gurusinga alias Godol di Deli Serdang, Sumatra Utara, Rabu (28/5/2025). (ANTARA/HO-Kejaksaan Agung RI)

Kejadian kedua datang dari Sawangan, Kota Depok, Jumat (23/5) sekitar pukul 21.00 WIB. Kali ini, korban merupakan pegawai di Pusat Data Statistik Kriminal dan Teknologi Informasi (Pusdakrimti) Kejaksaan Agung, berinisial DSK, saat pulang bekerja.

Hujan lebat mengguyur Kota Depok malam itu. DSK menepi sebentar di warung kopi sambil menunggu guyuran air reda. Melanjutkan perjalanannya pulang ke rumah, DSK tiba-tiba dihadang motor dari arah berlawanan di Jalan Pengasinan, Sawangan. Saat insiden terjadi, sudah Sabtu (24/5/2025) dini hari pukul 02.30 WIB. Lokasi kejadian juga tinggal 1 kilometer dari rumah DSK.

Pemotor dari arah berlawanan itu ditumpangi dua orang tak dikenal. Pelaku yang dibonceng membacok tangan DSK. Setelah membacok lengan DSK, kedua pelaku langsung tancap gas sambil teriak "mampus lu", seraya meninggalkan DSK yang terkapar.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menyampaikan bahwa akibat kejadian ini, DSK menderita luka berat di pergelangan tangan kanan.

"Diagnosis sementara urat kelingking kanan DSK putus dan tidak bisa lagi digerakkan," kata Harli di Kejagung, Selasa (27/5/2025), dilansir Antara.

Ada keterangan tambahan dari korban. Harli mengungkap, saat DSK dibawa ke rumah sakit, ia melihat ada dua orang yang mengawasi pergerakan mobil yang mengantarnya ke rumah sakit. Namun, tidak diketahui maksud dan tujuan pergerakan dua orang tersebut.

"Kami mengharapkan agar pelaku segera menyerahkan diri, menjalankan aturan hukum karena sesungguhnya kami hanya menjalankan tugas dan fungsi sesuai dengan undang-undang, sesuai dengan aturan," ucap Harli.

Rentetan serangan yang menimpa pegawai Kejaksaan merupakan alarm keras bahwa tidak menutup kemungkinan kejadian-kejadian ini berkaitan dengan profesi para korban sebagai pegawai Kejaksaan. Hal ini tak bisa dibiarkan begitu saja, apalagi jika berpotensi melahirkan intervensi atau gangguan terhadap Kejaksaan dalam menangani perkara.

Sudah Sejak Lama

Dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyatakan bahwa kasus-kasus ancaman terhadap jajaran Kejaksaan sebetulnya terjadi sejak lama. Hal ini mengingat secara fungsional, tugas jaksa memang menuntut dan menyidik tindakan yang diduga merupakan perbuatan pidana.

“Hanya saja pemicunya macam-macam. Jika tuntutan sesuai fakta persidangan biasanya tidak menimbulkan gejolak, terdakwa dengan kesadarannya bisa mengajukan upaya hukum seperti banding atau kasasi,” ucap Abdul kepada wartawan Tirto, Rabu (28/5/2025).

Sementara yang menimbulkan gejolak panjang, kata Abdul, adalah tindakan yang mengarah kepada perbuatan pemerasan atau tawar-menawar tuntutan kepada terdakwa. Meskipun hal ini tidak bisa dipukul rata sebagai satu-satunya pemicu teror terhadap jajaran Kejaksaan.

Biasanya, pemerasan dipicu karena relasi kuasa antara terdakwa dengan Jaksa Penuntut Umum. Hal ini yang dinilai Abdul sering memicu perbuatan ekstrem dari para pelaku teror.

kantor Kejaksaan Tinggi Jakarta

Kantor Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta di Jalan Rasunan Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (28/11/2019). FOTO/Kasipenkum Kejati DKI Jakarta/pri.

“Sudah memberi uang atau sesuatu, masih dituntut tinggi pula. Ini yang sering menimbulkan kemarahan, karena itu perlu adanya pengawasan ketat dalam setiap perkara,” ungkap dia.

Sementara itu, pengajar hukum pidana Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, menilai memang diperlukan pengungkapan motif atas kasus-kasus teror yang menyasar kejaksaan. Hal ini menjadi tugas aparat penegak hukum agar tidak terjadi simpang-siur di masyarakat.

Memang ada dua kemungkinan besar penyebab terjadinya insiden terhadap pegawai dan Jaksa di Kejaksaan. Pertama, ditengarai disebabkan adanya urusan pribadi antara korban dan pelaku. Kedua, bisa saja urusan tersebut dilatari oleh profesi korban sebagai pegawai di Kejaksaan.

“Bisa juga karena urusan pribadi yang sama sekali tak berkaitan dengan pekerjaannya,” ujar Orin kepada wartawan Tirto, Rabu (28/5/2025).

Namun, Orin memandang, jangan sampai kasus-kasus teror kepada jajaran Kejaksaan ini menjadi pintu masuk bagi militerisasi aparat penegak hukum. Hal ini mengingat gelombang penolakan publik atas tugas anyar TNI yang dapat menjaga Kejaksaan masih cukup deras. Orin khawatir apabila Kejaksaan melibatkan TNI, justru terjadi celah intervensi penanganan perkara.

“Pengamanan harus ada kausalitasnya ya, apakah karena ini sedang menangani perkara yang membuat publik sensasional sehingga dirinya terancam, ya itu tidak apa-apa [dijaga TNI]. Tapi kalau kelembagaan justru menimbulkan kekhawatiran apakah ini masih satu jalan dengan independensi Kejaksaan,” ucap Orin.

Peneliti bidang hukum The Indonesian Institute (TII), Christina Clarissa Intania, melihat, jika kasus pembacokan jajaran Kejaksaan ini tak ditindaklanjuti serius, ada potensi kejadian serupa terulang di masa mendatang. Intan memandang kejadian ini bukan hanya soal satu insiden kekerasan, tetapi soal ancaman terhadap proses hukum itu sendiri.

Terutama, kata dia, ketika tekanan dialamatkan langsung kepada aparat penegak hukum.

“Memang benar bahwa motif di balik kasus-kasus seperti ini bisa berbeda-beda, dan tidak selalu datang dari ruang kosong. Sering kali insiden seperti ini berakar pada perkara yang sedang ditangani,” ucap Intan kepada wartawan Tirto, Rabu (28/5/2025).

Menurutnya, beberapa alasan penyerangan jajaran Kejaksaan bisa terjadi karena ada pihak yang ingin menghambat jalannya proses hukum, mengarahkan ke hasil yang berbeda, atau bahkan hendak menutupi informasi penting yang bisa terbuka dalam proses hukum. Karena itu, sulit untuk menggeneralisir berbagai penyebabnya.

Sementara terkait kerja sama antara Kejaksaan dengan TNI/Polri, dalam prinsipnya menurut Intan memang bisa digunakan untuk melindungi personel Kejaksaan. Hal ini dapat dilakukan jika tujuannya benar-benar untuk memberikan keamanan.

Tapi kenyataannya, tambah Intan, pengamanan justru lebih banyak terlihat di sekitar kantor Kejaksaan, bukan perlindungan nyata terhadap individu-individu yang bekerja di dalamnya.

“Jika anggota kejaksaan masih terkena ancaman langsung, maka efektivitas pengamanan ini patut dipertanyakan,” ucap Intan.

Terpenting, wajib ada upaya mengungkap kasus-kasus pembacokan jajaran Kejaksaan hingga tuntas sesuai hukum yang berlaku. Bukan hanya demi mengungkap pelakunya, tapi juga melihat apakah ada motif lebih besar di baliknya. Sehingga transparansi menjadi yang terpenting dalam pengusutan perkara ini.

Baca juga artikel terkait JAKSA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty