Menuju konten utama

Rencana Pemulangan Keluarga Eks ISIS, Polri: Perlu Asesmen Ketat

Polri menilai proses pemulangan keluarga eks simpatisan ISIS membutuhkan asesmen ketat dan cermat.

Rencana Pemulangan Keluarga Eks ISIS, Polri: Perlu Asesmen Ketat
Pengungsi asal Indonesia di kamp pengungsian saat perang ISIS di Suriah. Afshin Ismaeli untuk Tirto.id

tirto.id - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan siap memimpin tim untuk pemulangan keluarga mantan anggota ISIS dari Suriah. Rencana bisa berjalan jika sudah ada keputusan pemerintah. Menanggapi hal ini, Polri menyatakan rencana pemulangan mantan simpatisan ISIS tidak mudah dan perlu asesmen ketat.

"Itu tidak sesederhana yang dibayangkan. Prosesnya melalui asesmen yang jelas, karena sebagian besar untuk WNI yang berada di pengungsian di perbatasan Syria dan Irak itu wanita," ucap Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Rabu (10/7/2019).

Asesmen memerlukan waktu lama dan cermat guna mengetahui tingkat paparan radikalisme pada setiap orang. Asesmen ketat perlu dilakukan, sebab menurut Dedi, mereka diduga telah terpapar radikalisme dan harus mau mengikuti program deradikalisasi yang digagas pemerintah.

Menurut Dedi, bila eks anggota ISIS itu tidak mau ikuti program deradikalisme, maka akan dikenai sanksi.

"Hampir dikatakan semua negara hampir menutup itu [kepulangan mereka]. Bahkan ada beberapa negara seperti AS dan di Eropa mencabut hak kewarganegaraannya, karena kalau sudah dewasa tingkat terpapar paham radikalisme yang ekstrem itu akan sulit ikut program deradikalisasi," jelas Dedi.

Ia menyatakan kebijakan soal pemulangan ada di tangan pemerintah, minimal di Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam).

Menkopolhukam juga perlu meminta pertimbangan dari kementerian lain, Polri, Badan Intelijen Negara, dan Badan Intelijen Strategis.

"Itu semua berikan masukan secara komprehensif, jadi tidak bisa secara parsial," ujar Dedi.

Selama penangkapan terduga terorisme di Indonesia, Dedi berpendapat jika perempuan lebih mudah terpapar paham radikalisme dan bermilitansi lebih kuat ketimbang pria.

Hal ini dibuktikan dengan istri terduga teroris di Sibolga yang nekat meledakkan diri dengan bom rakitan yang ia bawa. Anaknya turut meregang nyawa.

"Kalau [perempuan] di jaringan terorisme tingkat militansi yang cukup kuat, terbukti dengan kejadian bom bunuh diri di Indonesia. Itu sudah melibatkan perempuan dan anak. Itu jadi proses pembelajaran [antisipasi perempuan terpapar radikalisme]," ucap Dedi.

Dalam penanganan perempuan terduga teroris, Dedi menyatakan hal itu ditangani oleh Densus 88 perempuan, juga dengan program deradikalisasi di BNPT.

"Yang menangani juga perempuan karena terdapat chemistry-nya," sambung mantan Wakapolda Kalimantan Tengah ini.

Baca juga artikel terkait ISIS atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Dipna Videlia Putsanra