tirto.id - Rencana aneksasi terhadap wilayah Tepi Barat dengan membangun pemukiman Yahudi diumumkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, setidaknya, pada April lalu sebagaimana dilaporkan Antara.
Rencana itu kembali mengemuka belakangan ini, menjelang waktu pembahasan lebih lanjut oleh Israel dan Amerika Serikat pada 1 Juli 2020.
Amerika, khususnya di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, adalah pihak pengusung proposal perdamaian untuk konflik Israel-Palestina atau Kesepakatan Abad Ini (Deal of the Century), yang ditolak Palestina karena dianggap hanya menguntunkan Israel, dan ditindaklanjuti dengan rencana aneksasi.
BBC sendiri menyebut, bahwa pemukiman Yahudi di wilayah tersebut – Tepi Barat dan Yerussalem Timur – merupakan sumber konflik yang tetap panas hingga hari ini. Namun, bagaimana pemukiman Yahudi menjadi sumber konflik pada mulanya?
Sejarah mencatat, sejak Perang Dunia Kedua berakhir, konfrontasi sengit antara Israel dan Palestina telah menjadi salah satu konflik paling tragis dan tak terselesaikan di dunia, hinggas sekarang.
Pakar keamanan internasional dari University of Sydney, Dr. Gil Merom kepada SBS News memberikan penjelasan bagaimana konflik yang ia sebut sebagai “konfiik tentang wilayah ini” bisa terjadi.
Semua dimulai sejak zaman Alkitab, meskipun dalam kacamata sejarah modern, akhir 1800-an dan awal 1900-an adalah ‘pusat’ dari situasi yang ada sekarang. Dalam rentang 1882 dan 1948, terjadi gerakan Aliyah, yakni gerakan besar-besaran Yahudi dari seluruh dunia untuk masuk ke suatu daerah, yang dari 1917 secara resmi dikenal sebagai Palestina.
Pada 1917, tak lama sebelum Inggris menjadi kekuatan kolonial di Palestina, negara itu mengeluarkan Deklarasi Balfour yang menyatakan, “Pemerintah Yang Mulia mendukung pendirian rumah nasional untuk rakyat Yahudi di Palestina, dan akan melakukan upaya terbaik mereka untuk memfasilitasi pencapaian tujuan ini.”
Jelas, masyarakat Palestina yang sejak lama mendiami wilayah tersebut dan merasa sebagai indigeneus, menolak langkah tersebut. Namun, kondisi geopolitik tidak menguntungkan mereka, menyusul terjadinya Holocaust oleh Nazi di mana sejumlah sumber mencatat ada enam juta orang Yahudi terbunuh di Eropa. Alhasil, dorongan untuk mendirkan negara Yahudi sebagai “rumah”, menjadi semakin kuat.
Pada tahun 1947, dunia internasional menyikapi situasi yang tengah terjadi. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengambil jalan tengah dengan memilih untuk membagi wilayah yang diperebutkan menjadi tiga bagian: satu untuk orang Yahudi, satu untuk orang Arab, dan rezim perwalian internasional di Yerusalem.
Orang-orang Arab tidak menerima kesepakatan tersebut, dan mengatakan bahwa PBB tidak punya hak untuk mengambil tanah mereka. Konflik pun tak bisa dihindarkan dan lahirlah “Perang Arab-Israel”.
Narasi Palestina mengatakan, bahwa golongan yang mendukung pembentukan kembali tanah air Yahudi di Israel (dalam istilah mereka disebut Zionis) mulai memaksa orang-orang keluar dari rumah mereka. Sementara versi Israel menunjukkan, bahwa ada pemimpin Arab yang mendorong orang-orang untuk pergi dan beberapa orang Arab pergi secara sukarela.
Perang Arab-Israel pada 1948 begitu berdarah. Tercatat, sekitar 700.000 warga Palestina melakukan “Nakba”, atau dalam bahasa Arab berarti “malapetaka”, yakni sebuah eksodus massal yang dilakukan kala perang terjadi.
Tetapi, ada juga orang-orang Palestina yang tinggal di Israel, dan pada 2013, Biro Pusat Statistik Israel (CBS) memperkirakan bahwa populasi Arab-Israel mencapai lebih dari 1,6 juta jiwa, atau sekitar 20 persen dari populasi Israel.
Perang 1948 penting karena masih menjadi bagian sentral dari konflik yang sedang berlangsung saat ini. Israel menguasai semua wilayah yang disengketakan kecuali Tepi Barat—bagian timur Yerusalem (yang dikuasai Yordania) dan Jalur Gaza (dikuasai Mesir).
Sementara 700.000 orang Palestina yang melakukan "Nakba" —yang telah menghabiskan beberapa generasi tinggal di kamp-kamp pengungsi— sekarang berjumlah sekitar 4,5 juta jiwa menurut UNRWA, sebuah badan PBB yang didedikasikan untuk para pengungsi Palestina.
Tuntutan utama warga Palestina dalam perundingan damai adalah “hak untuk kembali” bagi para keturunan ini ke rumah-rumah yang ditinggalkan keluarga mereka pada 1948.
Ada perang besar lain di 1967, di mana Israel mengalahkan pasukan Mesir, Suriah, dan Yordania dalam konflik yang berlangsung hanya enam hari, dan mengakibatkan Israel merebut Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania. Mereka telah mengendalikan wilayah-wilayah ini sejak saat itu.
Wilayah tersebut dianggap sebagai wilayah Palestina, dan banyak negara lain menganggapnya sebagai tanah “pendudukan”, sementara Israel menganggapnya sebagai wilayah “yang disengketakan” dan ingin statusnya diselesaikan dalam negosiasi perdamaian.
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Yantina Debora