tirto.id - Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu menetapkan aneksasi wilayah West Bank dan daerah strategis Lembah Yordan pada 1 Juli 2020.
Israel mengumumkan pernyataan tersebut tetapi masih dibicarakan dengan pejabat dari Amerika Serikat (AS) dan Kepala Keamanan Israel.
Langkah tersebut sebelumnya telah didukung oleh Presiden AS Donald Trump pada Januari lalu. Namun, hal ini justru ditentang oleh Menteri Luar Negeri Mesir, Perancis, Jerman, dan Yordania, demikian dikutip dari Al-Jazeera.
Beberapa Menteri Luar Negeri tersebut mendesak Israel untuk menghentikan rencana tersebut sekaligus memperingatkan bahwa, tindakannya akan berdampak serius bagi stabilitas dan keamanan di kawasan, serta akan menjadi hambatan besar bagi upaya perdamaian yang menyeluruh dan adil bagi Palestina.
Selain Amerika Serikat, justru tidak ada negara lain yang mendukung tindakan aneksasi Israel atas sekitar 30 persen kawasan West Bank, demikian mengutip dari AA.
Meski Trump mendukung rencana tersebut, sebaliknya Ketua Lembaga Legislatif AS (House of Representatives) Nancy Pelosi justru menentangnya.
Menurut Pelosi selain menimbulkan risiko di masa mendatang, aneksasi unilateral juga akan “melemahkan kepentingan keamanan nasional dan kebijakan bipartisan selama puluhan tahun ke depan”.
Mantan Presiden AS Jimmy Carter juga mengatakan rencana Israel tersebut akan melanggar hukum internasional yaitu , "larangan untuk mendapatkan wilayah secara paksa dan mengubah status daerah pendudukan".
Mengutip dari artikelForeign Policy, upaya aneksasi tersebut tidak hanya melanggar hukum internasional dan hak dasar warga Palestina.
Secara jangka panjang, tindakan ini justru akan merugikan Israel sendiri, di mana hal ini akan mengikis demokrasi, mengisolasi Israel secara internasional, dan melemahkan dukungan dunia terhadapnya di masa mendatang, termasuk dukungan AS yang kerap kali menyukseskan rencananya.
Tentunya ketegangan di Timur Tengah akan semakin memanas dan membuat generasi Palestina di masa depan akan memperjuangkan hak-haknya.
Negara negara di kawasan Timur Tengah menentang tindakan Israel, salah satunya Yordania yang memperingatkan bahwa tindakan tersebut akan berimplikasi pada konflik besar.
Walaupun mereka di depan publik mengecam, tetapi pada akhirnya negara-negara Arab seperti Turki, Uni Emirat Arab dan Yordania akan tetap membuka keran diplomasi dengan Israel.
Tidak hanya Timur Tengah, beberapa negara Eropa juga mengecam keras tindakan aneksasi itu, termasuk Presiden Perancis Emmanuel Macron dan Perdana Menteri Britania Raya Boris Johnson.
Foreign Policy memprediksi bahwa mereka mungkin akan mempertimbangkan kebijakan luar negeri yang merugikan Israel, seperti melarang impor barang ke daerah teraneksasi, serta menangguhkan perjanjian perdagangan Uni Eropa-Israel.
Meski demikian, dalam praktiknya beberapa negara Eropa akan sulit mengambil langkah-langkah untuk menghukum Israel dalam hubungannya dengan Yahudi.
Titik balik dari tindakan aneksasi tersebut akan mematikan solusi atas konflik Palestina-Israel, terlebih sebagian besar masyarakat Palestina sudah kehilangan kepercayaan terhadap otoritas Palestina maupun Israel dan mediasinya dengan AS.
Foreign Policy memprediksi bahwa kemungkinan di masa mendatang, generasi masa depan Palestina mungkin akan mengambil langkah logis di luar dari solusi antar kedua negara.
Dibandingkan meminta bantuan AS dan PBB untuk bernegosiasi dengan Israel, mereka akan cenderung untuk mengajukan banding ke Pengadilan Kriminal Internasional untuk menuntut Israel.
Bedasarkan data dari Al-Jazeera, paling tidak terdapat 600.000-750.000 penduduk Israel yang mengokupasi 250 kependudukan di Timur Yerusalem dan West Bank.
Gaza dan West Bank dibagi menjadi 16 otoritas gubernur dan terdapat paling tidak 5 juta penduduk warga Palestina.
Selain itu 1,5 juta warga Palestina menjadi pengungsi di 58 kamp resmi yang tersebar di Yordania, Lebanon, Syria dan daerah Palestina yang berada di bawah okupasi Israel
Seluruh negara kecuali AS, secara gamblang tidak mengakui upaya aneksasi tersebut serta menilai kependudukan Israel di Palestina sebagai pelanggaran hukum internasional.
Penulis: Mochammad Ade Pamungkas
Editor: Yandri Daniel Damaledo