tirto.id - Koleksi film Mola TV bisa menjadi pilihan untuk menghabiskan waktu pada akhir pekan. Penyedia layanan hiburan multiplatform tersebut menyediakan banyak film-film terbaru maupun keluaran beberapa tahun silam dari beragam genre.
Sebagian film-film tersebut merupakan hasil adaptasi buku best seller di pasar internasional, baik non-fiksi maupun fiksi. Meski film hasil adaptasi tak mungkin menggantikan keseluruhan isi buku, tidak sedikit yang sukses memikat hati jutaan penonton.
Kualitas akting pemeran dan sinematografi menjadi sebagian faktor yang bisa membikin sejumlah film adaptasi berhasil menyamai atau bahkan melampaui popularitas buku aslinya. Kemampuan sang sutradara dan penulis naskah dalam menginterpretasikan isi buku tidak jarang juga membuat para pembaca menemukan hal-hal baru yang lebih menarik dalam film.
Di antara koleksi film Mola TV, beberapa merupakan hasil adaptasi buku novel dan sejarah. Berikut 5 film yang menarik untuk menjadi pilihan penonton, beserta sinopsis singkatnya.
Film ini merupakan debut Russell Crowe sebagai sutradara. Dalam film hasil adaptasi novel dengan judul serupa tersebut, Crowe juga menjadi pemeran utama bersama Olga Kurylenko, Yilmaz Erdoğan, dan Jacqueline McKenzie.
Novel The Water Diviner ditulis oleh Andrew Anastasios dan Meaghan Wilson Anastasios. Andrew adalah seorang sarjana arkeologi dan sejarah dari Universitas Melbourne, yang punya pengalaman riset panjang di Turki dan Timur Tengah. Dia juga dikenal sebagai penulis skenario dan produser dengan perhatian besar pada tema-tema sejarah.
Sementara Meaghan, istri Andrew, merupakan pemegang gelar PhD bidang sejarah seni dan budaya ekonomi. Ia juga berpengalaman di bidang arkeologi dan studi klasik. Selain sebagai peneliti, Meaghan menulis naskah film dan beberapa novel, termasuk The Emerald Tablet.
Berbekal informasi dari sumber pertama, isi catatan harian, hingga dokumen resmi, Andrew dan Meaghan menuliskan novel berbasis sejarah yang mengikuti perjalanan Joshua Connor, petani asal Australia, ke Gallipoli pada masa setelah Perang Dunia I. Dia menempuh perjalanan jauh ke Turki itu untuk mencari mayat 3 putranya.
Dalam buku best seller tersebut, Andrew dan Meaghan tak berfokus pada kisah perang di medan tempur. Keduanya justru menghadirkan kisah tentang kecamuk pertempuran di hati orang-orang Australia dan Turki saat menyaksikan bagaimana perang meluluhlantakkan kehidupan.
Dengan dibantu Andrew Anastasios sebagai penulis skenario dan Andrew Lesnie (Sinematografer trilogi The Lord of The Rings), Russell Crowe berhasil melahirkan film yang menyentuh sekaligus menggambarkan dampak perang yang melumat satu generasi pemuda di Australia.
Selain sukses secara komersial dengan meraup penghasilan USD34,6 juta, film ini meraih sejumlah penghargaan, setidaknya di level Australia. The Water Diviner menyabet penghargaan dari lima kategori dalam AACTA Awards, 2 kategori di AWGIE Awards, serta 4 kategori di FCCA Awards.
Cerita dalam film bermula pada tahun 1919, tak lama setelah Perang Dunia I berakhir. Plot yang tersaji fokus pada petualangan Joshua Connor (Russell Crowe), seorang petani Australia yang ahli meramal lokasi sumber air.
Empat tahun sebelum Connor memulai petualangan tersebut, 3 putranya bertugas sebagai tentara Angkatan Darat Australia dan Selandia Baru yang dikirim bertempur di semenanjung Galliopoli.
Tiga putra Connor diperkirakan tewas dalam perang akbar itu. Hal ini membuat istri Connor Eliza (Jacqueline McKenzie) dibelit kesedihan mendalam dan putus asa. Ia akhirnya bunuh diri. Connor lantas memutuskan mencari mayat ketiga putranya dan membawanya pulang untuk dikuburkan di dekat makam sang ibu.
Maka, berangkatlah Connor ke Turki. Sesampainya di Instanbul, ia melewati jalur perairan menuju Galliopoli. Connor menemui kenyataan sulitnya warga sipil memasuki daerah itu. Akhirnya Connor menemukan kuburan 2 dari 3 putranya.
Setelah itu, Connor menerima petunjuk tentang kemungkinan satu putranya, yakni Arthur (Ryan Corr) masih hidup dan menjadi tawanan perang. Walaupun tidak menemukan dokumen yang menunjukkan lokasi penjara putranya, Connor tak menyerah.
Dia lantas bergabung dengan serombongan tentara Turki melakukan perjalan ke wilayah yang diduga menjadi tempat Arthur berada. Dalam perjalanan itu, Connor terjebak dalam perang antara Yunani dan Turki.
2. The Professor and The Madman (2019)
Film The Professor and The Madman adalah hasil adaptasi dari buku berjudul mirip karya penulis asal Inggris, Simon Winchester. Dua aktor legendaris menjadi tulang punggung film ini: Mel Gibson dan Sean Penn.
Digarap sutradara Farhad Safinia, film tentang sejarah penyusunan kamus bahasa Inggris Oxford tersebut, layak untuk ditonton. Farhad sebelumnya pernah berkolaborasi dengan Gibson dalam produksi film Apocalypto.
Buku Simon Winchester yang menjadi sumber utama kisah dalam film ini semula terbit di Inggris dengan judul The Surgeon of Crowthorne: A Tale of Murder, Madness and the Love of Words, pada 1998. Setahun kemudian, buku poluler itu diterbitkan oleh HarperCollins di AS dengan judul The Professor and the Madman: A Tale of Murder, Insanity, and the Making of the Oxford English Dictionary.
Buku ini melengkapi deretan hampir 30 karya Simon yang kerap mengulik kisah-kisah misterius di balik sejarah peristiwa besar. Sejarah mencatat penyusunan Kamus Besar Bahasa Inggris Oxford memerlukan waktu 70 tahun, dimulai sejak 1857. Untuk menyusun kamus ini, ribuan cendekiawan terlibat dalam pencatatan 414.825 kata bersama cara penggunaan dan definisi yang akurat.
Simon berhasil melacak kisah misterius di balik penyusunan kamus ini, yakni hubungan dua sosok yang mempunyai peran besar di proyek itu, James Murray dan William Chester Minor. Selama 2 dekade, Murray dan Minor saling berkorespondensi untuk keperluan penyusunan kamus Oxford.
Baru pada tahun 1896, ketika keduanya bertemu, Murray mengetahui bahwa sosok yang menjadi kolega pentingnya ternyata adalah pasien di Broadmoor, rumah sakit jiwa di Inggris untuk kriminal gila.
Hubungan antara Murray dan Minor mengisi plot utama dalam film The Professor and The Madman. Murray, filolog asal Skotlandia, semula menerima mandat dari Delegasi Agung Oxford University Press untuk memimpin proyek menyusun kamus Oxford yang mengalami kebuntuan bertahun-tahun. Pemilihan Murray sebenarnya kontroversial karena ia tak punya latar belakang akademik meyakinkan, dan putus sekolah sejak usia 14 tahun.
Namun, kapasitas Murray sama sekali tidak meragukan. Ia menguasai belasan bahasa. Sebagai poliglot, ia fasih dalam bahasa Latin, Belanda, Jerman, Celtic, Denmark hingga Arab. Murray pun layak disebut sebagai Polimatik karena pengetahuannya begitu luas.
Sebaliknya, William Chester Minor adalah eks perwira militer Amerika Serikat yang dijebloskan ke rumah sakit jiwa di Inggris karena membunuh orang. Minor sebenarnya ahli bedah, tapi eks dokter militer berpangkat kapten itu didiagnosis mengidap skizofrenia.
Meskipun begitu, Minor mempunyai kontribusi besar terhadap penyusunan kamus Oxford. Melalui surat-suratnya dari rumah sakit jiwa, Minor menyumbang definisi 10 ribu kata di kamus Oxford. Banyak dari kata-kata itu selama ini membikin kepala Murray pening karena tak jelas definisinya.
Keterlibatan Minor berawal dari ide Murray yang ingin memecahkan kebuntuan proyeknya setelah meleset kembali dari target penyelesaian. Murray lalu meminta bantuan masyarakat umum untuk mnginformasikan kata-kata dalam bahasa Inggris yang mereka ketahui, bersama dengan definisi, penggunaan, dan asal-usulnya.
Metode itu membuat Minor yang mengalami masalah kejiwaan menjadi salah satu kontributor untuk perumusan kamus Oxford, dengan peran penting. Minor, mantan dokter militer pada masa perang itu menjadikan kegiatan menyelami buku-buku untuk menyigi puluhan ribu kata sebagai semacam penenang dan penawar atas jiwa gelisahnya. Di sisi lain, Murray menghadapi tekanan dan jalan tidak mudah untuk menyelesaikan proyek yang dipimpinnya.
3. Waiting For The Barbarians (2019)
Film ini menyuguhkan kolaborasi Johnny Depp dan Robert Pattinson. Selain bintang Pirates of the Caribbean dan pemeran Edward Cullen dalam Twilight tersebut, Mark Rylance, Greta Scacchi, dan Gana Bayarsaikhan turut jadi pemeran karakter dalam Waiting For The Barbarians.
Johnny Depp berperan sebagai polisi kejam yang bertugas menyelesaikan pemberontakan dengan cara-cara keras, seperti menggunakan penyiksaan dalam interogasi. Dia ditemani Robert Pattinson yang berperan sebagai seorang polisi junior yang selalu membayanginya.
Kisah dalam film Waiting for the Barbarians diadaptasi dari novel dengan judul serupa, yang ditulis oleh J.M. Coetzee, peraih Nobel Sastra pada 2003. Novel Coetzee tersebut menunjukkan bengisnya kolonialisme yang bersanding dengan rasisme.
Digarap sutradara Kolombia yang pernah meraih Academy Award, Ciro Guerra, film Waiting for the Barbarians memiliki suguhan visual dengan lanskap pegunungan dan padang pasir. Produksinya juga melibatkan sinematografer peraih Oscar, Chris Menges.
Berlatar peristiwa pada abad 19 di Asia, film ini memuat gambaran kolonialisme yang mengubah kehidupan orang dari negara imperialis maupun terjajah.
Di wilayah yang tidak disebut namanya, dengan karakteristik geografis seperti Asia dan Timur Tengah, seorang hakim pemerintah kolonial (Mark Rylance) bertugas mengawasi penduduk lokal yang multietnis. Dia semula tak kesulitan menjalankan tugasnya.
Lantas, suatu hari pemerintah kolonial dari tanah air si hakim di Eropa, mengirim seorang petugas otoriter, yakni Kolonel Joll (Johnny Depp). Semula, kolonel Joll pura-pura bersikap rendah hati dan mengesankan bahwa ia mau bekerja sama dengan si hakim. Namun, komandan pasukan rezim kolonial itu segera melakukan serangkaian interogasi yang disertai dengan penyiksaan kepada warga setempat.
Hal ini membuat si hakim tak simpati dengan Joll. Sekalipun hakim memprotes tindakan kejam itu, dengan alasan tidak ada potensi pemberontakan, Joll bersikukuh terus menahan dan menyiksa banyak penduduk lokal yang tidak bersalah.
Joll beralasan menerima info ada gangguan di perbatasan yang berpotensi jadi pemberontakan. Petugas junior bawahan Joll (Robert Pattinson), belakangan ikut terlibat melakukan serangkaian tindakan kejam. Akhirnya, si hakim mulai meragukan sikapnya, apakah akan terus setia pada penguasa kolonial atau tidak.
4. The Constant Gardener (2005)
Kehidupan seorang diplomat yang sangat berdedikasi menjadi kacau ketika istrinya Tessa (Rachel Weisz) dibunuh secara kejam, dan disertai rumor perselingkuhan. Didorong kesedihan mendalam dan demi membersihkan nama istrinya, Justin Quayle (Ralph Fiennes) mulai menelusuri konspirasi di balik pembunuhan istrinya. Belakangan, ia tahu, pembunuhan itu melibatkan kekuatan besar.
The Constant Gardener disutradarai oleh Fernando Meirelles, dengan penulis naskah Jeffrey Caine. Cerita dalam film ini merupakan hasil adaptasi terhadap novel The Constant Gardener karya John le Carré, pengarang Inggris yang menulis banyak kisah spionase.
Tebit pada 2001, novel The Constant Gardener mengusung cerita berdasarkan kisah nyata di kota Kano, Nigeria. Kisah dalam novel ini memperlihatkan sebuah konspirasi internasional antara perusahaan farmasi dan birokrasi korup yang membikin banyak rakyat Afrika meregang nyawa.
Sementara dalam film, plot berpusat pada hubungan pernikahan pasangan dengan kepribadian jauh berbeda. Meski begitu, hubungan mereka tak pernah benar-benar hancur sekalipun diterpa musibah kematian anak pertamanya.
Si suami, Justin Quayle (Ralph Fiennes), adalah seorang diplomat Inggris yang pemalu, memiliki hobi berkebun dan bertugas di Kenya. Sementara sang istri, Tessa (Rachel Weisz) adalah aktivis yang getol mengkritik aktivitas perusahaan farmasi dalam menguji obat-obatan baru berbahaya di Afrika.
Jalan hidup Justin berubah total setelah istrinya ditemukan tewas di tengah gurun bersama supirnya yang orang asli Kenya. Rekan Tessa, Dr. Arnold Bluhm (Hubert Koundé) sempat dicurigai sebagai pelaku, tetapi kemudian ia malah ditemukan tewas pada hari kematian Tessa. Muncul pula rumor bahwa mereka berselingkuh, tapi lantas terungkap bahwa Arnold seorang homoseksual.
Justin kemudian mengetahui bahwa sebelum dibunuh secara brutal, Tessa dan Arnold sedang menginvestigasi praktik sebuah perusahaan farmasi besar dan berpengaruh dalam menguji obat tuberkulosis bernama "dypraxa." Tessa, dan sejumlah temannya menemukan bukti kuat bahwa obat itu telah menyebabkan banyak penduduk Kenya meninggal. Obat itu ternyata memiliki efek samping berbahaya, tapi tetap diujikan demi mengejar target produksi.
Upaya Justin menyelidiki kasus kematian istrinya mengantarkan pada fakta yang menyesakkan. Pembunuhan itu tak hanya melibatkan perusahaan farmasi incaran Tessa, melainkan juga sejumlah rekan dan atasan Justin di Kantor Biro Luar Negeri Desk Afrika pemerintah Inggris. Bahkan, teman dekat Justin turut berkomplot dalam konspirasi pembunuhan yang melibatkan pembunuh bayaran lokal tersebut.
Imagining Argentina adalah film dengan latar cerita sejarah garapan sutradara dan penulis naskah, Christopher Hampton. Sineas asal Inggris ini pernah menerima Piala Oscar (1988) kategori penulis Skenario Adaptasi Terbaik berkat salah satu film tersuksesnya, Dangerous Liaisons.
Cerita dalam film Imagining Argentina diadaptasi dari novel berjudul serupa karya milik penulis AS Lawrence Thornton, yang berkisah tentang nasib orang-orang "hilang" pada masa pemerintahan junta militer. Novel ini mengisahkan kondisi dalam negeri Argentina pada 1970-an, saat rezim militer gemar melenyapkan banyak aktivis oposisi.
Thornton bercerita tentang bagaimana nyawa dan kebebasan begitu tidak berharga di mata penguasa diktator. Fakta sejarah menunjukkan, selama Argentina di bawah pemerintahan diktator militer selama era 1970-an hingga awal 1980-an, puluhan ribu orang diculik dan dibunuh.
Produksi film Imagining Argentina melibatkan Antonio Banderas, Emma Thompson, Leticia Dolera sebagai pemeran utama. Film ini bercerita tentang masa saat Argentina terjerembab di kegelapan karena Junta Militer dengan mudah membuat banyak orang kritis mendadak menguap, lenyap.
Alkisah, diceritakan ada seorang penulis skenario dan sutradara yang menjadi salah satu keluarga orang hilang yakni Carlos Rueda (Antonio Banderas). Ia tenggelam dalam sedih dan kebingungan setelah mengetahui bahwa sang istri, Cecilia (Emma Thompson) dan putrinya, Teresa (Dolera) diciduk oleh tentara. Rueda begitu terpukul, dan tak tahu harus berbuat apa menghadapi penguasa yang hampir mustahil dilawan.
Di tengah kekalutan itulah, tiba-tiba penglihatan batin Rueda bisa menembus batas kemampuan manusia. Ia dapat melihat kejadian-kejadian masa lalu maupun mendatang dengan mata batinnya.
Dengan kemampuannya itu, Rueda lantas mengetahui bagaimana banyak orang yang mendadak lenyap harus menghadapi serangkaian penyiksaan, pemerkosaan, hingga pembunuhan massal. Rueda kemudian terdorong membantu banyak ibu di Argentina bisa "melihat" bagaimana anak-anak mereka tewas secara mengenaskan. Berkat ketajaman mata batin itu pula, Rueda akhirnya menemukan keberadaan Cecilia.
Editor: Agung DH