tirto.id - “Vaginaku tuh mahkotaku.” Nanisa Indra, seorang blogger kesehatan reproduksi berusia 40-an, lantang mengucapkan kalimat itu. Ia yakin terhadap ajaran agamanya yang menyebut bahwa kodrat perempuan adalah hamil dan melahirkan.
“Mau sukses karier kek, pendidikan kek, tapi kalau belum melahirkan ya belum sepenuhnya perempuan,” kata perempuan yang akrab dipanggil Nisa tersebut.
Nisa juga percaya bahwa untuk bisa menjalankan kodrat dengan baik maka, “Aku harus punya vagina dan rahim yang prima.”
Sepanjang pernikahannya, Nisa telah dikaruniai tiga orang anak. Ia pun merasa berhak memanjakan dirinya.
Suatu hari, Nisa bertanya pada kawannya. “Apa yang sebaiknya dilakukan untuk menghadiahi diri sendiri setelah sukses melewati masalah berat dalam hidup?” Jawaban si kawan, “Permak [bagian tubuh].”
Nisa bimbang. Setelah beberapa waktu mencari informasi, Nisa memutuskan untuk meremajakan vaginanya.
“Aku udah melahirkan 3 kali waktu itu. Vaginaku berjasa sekali jadi perlu diremajakan," kata Nisa.
Pada 2016, Nisa memutuskan menjalani vaginoplasty, operasi yang bertujuan merapatkan dan mengencangkan vulva dan bagian vagina seperti otot, selaput lendir, juga lapisan kolagen. Ia berbaring di kamar bedah kurang lebih satu jam. Tubuh bagian bawahnya dibius. Selama operasi itu ia mengobrol santai dengan dokter. Kebetulan dokter tersebut kawannya sendiri. Kata Nisa, operasi tersebut adalah bentuk self-reward.
Ia mengisahkan bahwa setelah melahirkan, perempuan akan mengalami perubahan pada kekencangan otot perut, otot vagina, dan tidak jarang juga yang memiliki jahitan tidak rapi pasca persalinan melalui vagina.
“Sebenernya gak ada fungsi vagina yang terganggu. Ini (vaginoplasty) buat estetika. Rasanya semenyenangkan itu bisa selalu puas berhubungan seks kayak waktu pertama kali dulu,” kata Nisa.
Sekitar 40 hari pasca operasi, Nanisa merasa tidak nyaman beraktivitas. “Duduk gak enak, jalan gak enak.” Perasaan tidak nyaman juga terjadi saat kembali berhubungan seks beberapa tahun pasca operasi dilakukan. “Awal-awal sakit. Setelah tiga kali baru bisa nyaman,”
Dokter menyampaikan pesan penting yang ditujukan kepada para pasien vaginoplasty: dilarang hamil.
Realitanya, Nanisa kembali mengandung dan mustahil melakukan operasi vagina lagi. Tapi dari pembicaraan kami, ia tidak tampak menyesal melakukan vaginoplasty.
“Ya karena membantu meraih kepuasan seksual yang berdampak langsung ke kebahagiaan rumah tangga aku.”
Tren peremajaan vagina
Pada Maret 2019, International Journal of Women Dermatology melaporkan bahwa prosedur peremajaan vagina semakin populer. Indikatornya bukan cuma dari banyaknya orang yang melakukan perawatan vagina, tetapi juga dari peningkatan ragam metode peremajaan vagina, studi-studi terkait metode tersebut, hingga perdebatan yang timbul akibat praktik peremajaan vagina.
Ni Komang Yeni, dokter spesialis Kebidanan dan Kandungan, memandang peremajaan vagina sebagai berbagai metode baik bedah maupun non-bedah yang dilakukan untuk meremajakan fungsi dan estetika beberapa organ reproduksi perempuan.
“Contoh, reduksi ukuran klitoris, g-spot amplification,” kata Yeni. G-spot amplification adalah prosedur untuk memperbesar atau meningkatkan titik rangsang.
Caranya bisa dilakukan lewat tindakan peremajaan vagina non-bedah seperti teknologi laser dan radio frequency, filler, botox, hingga tindakan bedah seperti vaginoplasty dan labiaplasty - atau prosedur untuk mengubah ukuran labia. Namun menurut Yeni, tindakan rejuvenasi vagina non-bedah sebaiknya dilakukan secara berulang agar hasil lebih maksimal.
Kini di Indonesia, kepedulian perempuan terhadap tampilan organ reproduksi mulai meningkat. Pada 2021, Zap melansir survey terhadap 6000-an perempuan berusia 15-65 tahun. Hasilnya, lebih dari 50% perempuan milenial dan Gen Z menganggap perawatan kecantikan untuk area intim sangat perlu dilakukan.
Hasil riset tersebut terasa masuk akal saat mendengar pengalaman Yeni. Selama pandemi, ia mendapatkan lebih banyak pasien yang hendak melakukan perawatan peremajaan vagina. Usia mereka di atas 18 tahun. Ada yang datang untuk mencerahkan vulva jelang menikah, ada pula yang mengubah labia. Sebagian besar dari para pasien sudah pernah melahirkan.
Sesungguhnya ilmu kedokteran tidak pernah membuat standar soal bentuk atau warna vagina normal. Namun konstruksi sosial dan budaya populer membentuk ilusi tentang vagina ideal yakni: rapat, kencang, dan terang. Meminjam istilah Yeni: barbie look. Akhirnya, bentuk tersebutlah yang diharapkan para pasien yang ingin meremajakan vagina.
Yeni berpendapat alasan nomor satu perempuan meremajakan vaginanya adalah ingin meningkatkan rasa percaya diri. Menurutnya, meningkatkan rasa percaya diri juga berarti meningkatkan kualitas hidup.
“Ada juga yang pernah mengalami kekerasan dari orang dekat baik fisik atau mental,” kata Yeni.
Yeni sadar praktik peremajaan vagina tidak sepatutnya dipromosikan secara jor-joran dan mesti dilakukan dengan sangat hati-hati. Salah satu wujud kehati-hatian Yeni ialah adanya sesi wawancara dengan calon klien.
Dalam sesi tersebut, Yeni mencari tahu apakah calon klien memiliki permasalahan psikis yang belum tertangani seperti perasaan cemas terkait penampilan fisik yang dianggap kurang baik serta gangguan kecemasan. Tugas Yeni juga mencari tahu harapan klien dan menjelaskan fakta-fakta sekaligus risiko.
Kongres Ahli Obstetri dan Ginekolog Amerika (ACOG) sudah menyusun faktor risiko di balik tiap tindakan peremajaan vagina baik bedah dan non bedah. Beberapa diantaranya, ada risiko infeksi untuk tindakan seperti reduksi ukuran klitoris, labiaplasty, vaginoplasty, dan amplifikasi g-spot. Ada risiko terbakar dan rasa sakit untuk tindakan peremajaan vagina non bedah seperti laser dan penggunaan frekuensi radio.
“Klien-klien saya ini very well educated, rich, good position in good company.”
Fakta itu tidak mengherankan. Untuk sekali perawatan peremajaan vagina non bedah saja klien bisa saja mengeluarkan dana sekitar 5 juta rupiah. Menurut cerita Nanisa, pada 2016, biaya yang harus dikeluarkan untuk vaginoplasty di rumah sakit di Jakarta sekitar 70an juta rupiah.
Di samping kebutuhan terhadap estetika, Yeni mengakui ada pula yang memilih metode bedah dalam peremajaan vagina karena alasan kesehatan. Semisal ketidaknyamanan saat menggunakan jenis busana tertentu misal celana jin akibat bentuk labia yang cukup besar.
Astrid Theresa, dokter spesialis kulit dan kecantikan, berpendapat bahwa ada kondisi fisik yang mendorong orang melakukan peremajaan vagina.
“Bayangin wajah aja deh. Semakin tua kan makin berkerut, kolagen menipis, kering. Vagina gitu juga. Bisa jadi perih, gatal, otot kurang kencang, kelenjar produksi cairan sudah tidak optimal,” katanya. Kondisi tersebut semakin rentan terjadi pada mereka yang telah memasuki usia menopause.
Sebagian besar klien Astrid adalah para perempuan yang sudah pernah melahirkan. Selain itu, mereka yang hadir biasanya adalah klien yang aktif secara seksual dan perempuan yang sudah memasuki masa menopause.
Sebelum kebijakan PPKM diterapkan di Jakarta, Astrid bercerita dalam seminggu ia bisa melayani 10 klien yang datang ke klinik untuk laser vagina. Sekitar dua tahun terakhir semakin banyak perempuan berusia pertengahan 30-an datang berkonsultasi soal peremajaan vagina.
“Mereka pengen (vaginanya) kencang, cerah, agar hubungan seks juga jadi lebih berkualitas.”
Untuk mempertahankan hasil laser yang optimal, Astrid menyarankan para klien untuk rutin melakukan laser sebanyak 3-4 kali dalam setahun. “Enggak sakit. Rasanya cuma hangat. Bisa ditahan lah,” katanya.
Vagina & Konstruksi Sosial
Sampai sekarang, narasi terkait motif seseorang melakukan peremajaan vagina berkisar pada kebutuhan estetika dan medis. International Journal of Women Dermatology turut menyebut bahwa prosedur peremajaan vagina berkaitan erat dengan seksualitas dan pandangan perempuan terhadap kesejahteraan hidupnya.
Namun faktanya dalam konteks budaya, peremajaan vagina adalah sesuatu yang kompleks. Sebab, narasi kemerdekaan perempuan atas tubuhnya - dan tentu saja vaginanya - justru kerap terjebak dalam cengkeraman patriarki yang hendak dilawannya.
Angela Frenzia, aktivis gender dan penulis buku Demi Keset dan Rapet, memberikan penjabaran lebih luas soal apa yang terjadi di balik persepsi soal estetika organ reproduksi perempuan. Angela memandang peremajaan vagina setidaknya dari dua sisi.
Pertama, peremajaan vagina bisa dilihat sebagai cara perempuan untuk menjalin koneksi dengan tubuh dan seksualitasnya. Peremajaan vagina bisa jadi jalan keluar dari penindasan terhadap tubuh perempuan karena selama ini terjerat mitos bahwa perempuan mesti mengutamakan kenikmatan seksual laki-laki.
Angela sempat bertemu dengan seseorang yang memutuskan melakukan peremajaan vagina setelah mengalami gangguan pada tulang ekor akibat kecelakaan. Gangguan pada bagian tubuh tersebut mempengaruhi kondisi berbagai syaraf di sekitar tulang ekor termasuk yang ada di organ reproduksi. Akibatnya, si perempuan tidak bisa merasakan kenikmatan maksimal saat berhubungan seks.
“Dia melakukannya tanpa izin pasangan dan karena ingin merasa dirinya puas bukan untuk memuaskan pasangannya semata,” kata Angela.
Kedua, peremajaan vagina, di lain sisi, bisa juga terjadi karena perempuan masih tertindas wacana patriarkal. Contoh, seseorang memilih bersalin melalui vagina agar bisa tetap dianggap sebagai ibu sejati. Menurut Angela, pada konteks ini, peremajaan vagina yang dilakukan pasca melahirkan tetap didasari narasi patriarkal. Kasus lain, seseorang memilih melakukan peremajaan vagina setelah mengetahui pasangannya berselingkuh. Tindakan peremajaan vagina diharapkan bisa membuat pasangan kembali.
Menurut analisis Angela, hal di atas terjadi karena tubuh perempuan kerap kali direduksi sebagai penghasil kenikmatan untuk pasangannya. Hal tersebut bisa juga dilihat dari aturan adat yang mengharuskan perempuan merawat organ reproduksi agar bisa menjaga kenikmatan laki-laki. Berikutnya, masih berdasarkan analisis Angela, dari sisi agama—di mana perempuan tidak bisa bebas melakukan sejumlah metode dalam peremajaan vagina.
Wacana-wacana tersebut sesungguhnya terus berkembang sampai sekarang. Bila awalnya perempuan dibebani konsep sakralnya keperawanan, kini narasinya berkembang menjadi soal pentingnya vagina yang rapat dan cerah.
Berbagai perangkat teknologi yang ada sekarang, juga perbincangan yang muncul di media sosial ikut melanggengkan motif-motif tersebut. Selama pengetahuan soal organ reproduksi khususnya kaitannya dengan konstruksi sosial di masyarakat masih belum merata, akan sulit bagi perempuan untuk benar-benar bebas opresi saat memutuskan melakukan peremajaan vagina yang mengandung risiko.
Kritik berikutnya yang diutarakan Angela, prosedur peremajaan vagina hanya bisa dilakukan oleh perempuan kelas atas. “Kemerdekaan seksualitas adalah hak istimewa bagi kelompok perempuan tertentu,” tulis Angela dalam Demi Keset dan Rapet. Pada akhirnya, perempuan masih harus berupaya membebaskan diri dari segala konsep ideal yang disematkan pada tubuhnya.
“Sedihnya tuh pengetahuan seks kayak gini, taruhlah soal bentuk vagina dulu deh. Enggak banyak perempuan yang tahu,” ujar Angela.
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Adi Renaldi