tirto.id - Dua mahasiswa yang tergabung dalam komunitas vespa literasi ditangkap Polsek Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur. Ini terjadi setelah mereka membawa buku biografi Dipa Nusantara (DN) Aidit di lapak baca gratis yang digelar di Alun-alun Kraksaan. DN Aidit adalah seorang pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kedua mahasiswa itu ditangkap pada Sabtu (27/7/2019) malam, setelah polisi mengaku mendapat laporan. Mereka adalah Muntasir Billah (24) warga Desa Jati Urip, Kecamatan Krejengan dan Saiful Anwar (25) warga Desa Bago, Kecamatan Besuk, Kabupaten Probolinggo.
Berdasarkan rilis polisi yang diterima reporter Tirto, setidaknya terdapat empat buku yang dipermasalahkan, yaitu: Aidit “Dua Wajah Dipa Nusantara,” Menempuh Djalan Rakjat D.N AIDIT, Sukarno Marxisme & Leninisme, serta D.N Aidit “Sebuah Biografi Ringkas.”
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengkritik keras tindakan Polsek Kraksaan, Probolinggo tersebut. Sebab, kata Asfin, pelarangan atau sweeping buku sudah tidak diperbolehkan lagi menurut hukum Indonesia.
"Sweeping buku sudah tidak ada lagi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi," kata Asfin saat dihubungi wartawan Tirto, pada Senin (29/7/2019).
Pernyataan Asfin benar adanya. Razia buku—atau pengamanan barang-barang cetakan secara sepihak—tak lagi diperbolehkan sejak keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi pada 2010 yang mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum.
Ketika itu, MK memutuskan pelarangan buku musti lewat proses peradilan. Prosesnya ada yang melaporkan dan itu harus disertai pembuktian yang kuat.
“Tanpa melalui proses peradilan, merupakan proses eksekusi ekstra judisial yang tentu saja sangat ditentang di sebuah negara hukum," kata Maria Farida, salah satu hakim konstitusi ketika membacakan putusan, seperti dikutip BBC pada 13 Oktober 2010.
“Ini tanda aparat harus meng-update informasi tentang pergerakan hukum dan demokrasi. Tindakan aparat [Polsek Kraksaan] ini yang justru melawan hukum," kata Asfin menegaskan.
Ucapan tersebut sejalan dengan respons Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robert yang mengkritik razia buku beberapa waktu lalu di Padang dan Kediri. Ia menilai, aparat yang kerap merazia buku harus banyak membaca agar tahu informasi terkini dan isi buku-buku yang ingin dirazia.
“Baiknya juga aparatnya diberi sanksi dengan disuruh membaca dan mendiskusikan hasil bacaannya kepada publik. Jangan lupa tentaranya suruh baca,” kata dia.
Cerita dari Pegiat Perpus Jalanan
Salah satu pegiat perpustakaan jalanan asal Indramayu juga menyayangkan langkah aparat yang melakukan razia dan penangkapan terhadap dua mahasiswa di Probolinggo. Pria berusia 28 tahun yang akrab disapa Ahonk menceritakan pengalamannya kepada reporter Tirto.
"Saya sendiri sangat menyayangkan sekali kejadian di Probolinggo. Padahal dalam UUD, kami [perpustakaan jalanan] berupaya ikut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi ini sangat kontras dengan kejadian di lapangan oleh aparat,” kata Ahonk saat dihubungi pada Senin siang.
Ahonk sendiri merupakan salah satu pegiat yang mengorganisir Jaringan Literasi Indramayu (JALIN), kumpulan perpustakaan jalanan yang tergabung dari beberapa desa di Indramayu.
"Fokus utama kami itu hanya untuk mendekatkan buku ke masyarakat. Setidaknya sudah ada 10 jaringan dari 10 desa yang sudah ada di jaringan kami," kata dia.
Ahonk memberikan tips kepada para seluruh pegiat perpustakaan jalanan di Indonesia agar lebih banyak membaca aturan hukum yang telah melarang razia buku dan siap berargumentasi ketika dihadapkan kepada aparat yang sewenang-wenang.
"Karena teman-teman banyak yang belum tahu juga adanya putusan itu," kata dia.
Hal senada juga diucapkan Asfinawati. Ia mengatakan sangat penting para pegiat literasi dan perpus jalanan agar tahu adanya putusan MK yang melarang razia buku untuk menjadi argumentasi melawan aparat.
“Apabila hendak dibawa ke kantor polisi, minta menghubungi pengacara sebelum dibawa. Apabila hendak diperiksa, perlu minta didampingi pengacara," kata dia.
Sementara itu, Aditia Purnomo dari perpustakaan jalanan Baca Tangerang juga menilai hal serupa. Ia mengatakan kasus seperti di Probolinggo kerap terjadi di sejumlah daerah.
“Kalau mau tidak berulang, pemerintah pusat harus tegas menyatakan jika buku-buku kajian dan sejarah yang berbau kiri itu tidak dilarang oleh negara. Tidak hanya sosialisasi aturan yang sudah dicabut kepada aparaturnya,” kata Aditia.
“Sampai saat ini, sejauh pemahaman saya, ada beberapa judul buku Marjin Kiri [penerbit] yang ditolak Gramedia karena berbau kiri. Bisa jadi karena Gramedia semakin takut menjual buku yang dianggap pihak-pihak tertentu dilarang, padahal mah tidak dilarang sebenarnya," kata dia menambahkan.
Dalih Aparat
Kapolsek Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur, Kompol Joko Yuwono, membenarkan informasi tersebut. Namun, ia menegaskan dua mahasiswa itu hanya dimintai keterangan dan langsung dipersilakan pulang malam (27/7/2019) itu juga.
"Hanya diminta keterangan saja, tidak ditahan. Anaknya sudah pulang sekarang," kata Joko saat dikonfirmasi reporter Tirto, Senin (29/7/2019) sore.
Mengenai putusan MA tahun 2010 yang melarang adanya razia dan sweeping buku, Joko mengaku pihaknya hanya meminta keterangan saja, namun tidak melarang.
“Kami hanya meminta keterangan saja. Tidak melarang. Bukunya pun tidak dirazia,” kata dia.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz