Menuju konten utama

Menegaskan Kembali Putusan MK: Razia Buku Itu Ilegal

Penyitaan buku seharusnya dilakukan Kejaksaan setelah ditetapkan demikian oleh pengadilan.

Menegaskan Kembali Putusan MK: Razia Buku Itu Ilegal
Komandan Kodim 0712/Tegal Letkol Inf Hari Santoso menunjukkan lima judul buku yang disita dari sebuah pusat perbelanjaan di Kodim 0712/Tegal, Jawa Tengah. ANTARA/Oky Lukmansyah

tirto.id - Pemimpin redaksi majalah dan situsweb Historia, Bonnie Triyana, kesal buku berjudul Mengincar Bung Besar ikut disita TNI dan Kejaksaan. Padahal, buku tersebut ditulis berdasarkan hasil riset dan reportase serius mengenai upaya pembunuhan terhadap Presiden ke-1 Republik Indonesia, Sukarno.

Bonnie mengeluhkan sikap aparat yang berlebihan. Ia menampik pandangan aparat yang menilai bukunya mengajarkan Komunisme.

Bonnie menduga razia terhadap buku yang ditulis awak redaksi Historia tersebut sebagai upaya menghapus rekam jejak Sukarno. Ia meminta aparat membaca buku itu lebih dulu sebelum bertindak serampangan, terlebih razia yang dilakukan TNI diduga tanpa prosedur yang benar.

“Pelajari dulu bukunya, dibaca dulu. Ya, seharusnya kalau mau dirazia harus melalui pengadilan. Ada prosesnya. Buku-buku itu juga harus jelas, misalnya yang menyebarkan ajaran kekerasan,” ucap Bonnie, Selasa (15/01/2019).

Pendapat Bonnie sejalan dengan Abdul Mun’im, penulis buku Benturan NU-PKI 1948-1965. Ia bahkan menduga aparat hanya melihat sampul buku tanpa membaca isinya.

“Ada kalimat PKI, dirazia semua,” kata Mun’im.

Prosedur Penyitaan

Mun’im meminta penyitaan buku dilakukan Kejaksaan dengan penetapan pengadilan, bukan TNI, dan memang demikianlah aturannya.

Ahli hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, menyebut aparat tidak bisa serta-merta menyita buku. Aparat baru bisa menyita buku jika sudah masuk kategori dilarang.

"Kita harus lihat apakah buku itu sudah dikaji sebagai buku yang terlarang atau tidak. Kalau memang buku itu suatu yang terlarang, dilarang, dan sudah ada dasar hukum pelarangan itu. Itu baru [ditarik dari peredaran]," kata Hibnu saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (15/01/2019).

Hibnu mengatakan, dalam KUHAP, penyitaan baru bisa dilakukan jika aparat penegak hukum sudah menemukan dugaan tindak pidana. Aparat seharusnya memeriksa penulis untuk memastikan adanya dugaan tindak pidana, bukan mengambil buku terlebih dahulu.

"Harusnya penulis dulu dimintai keterangan, gelar perkara internal menyimpang atau tidak menyimpang. Kalau menyimpang buku baru disita, kalau enggak, enggak perlu," kata Hibnu.

Begitu selesai memeriksa penulis, lanjut Hibnu, aparat memeriksa sejumlah saksi. Apabila konten buku ditemukan indikasi melanggar Undang-undang, aparat baru bisa melakukan penyitaan.

Selain itu, menurut Hibnu, TNI tidak bisa melanjutkan penyitaan buku ke proses hukum. TNI wajib menyerahkan buku hasil sitaan ke kepolisian atau kejaksaan untuk proses hukum selanjutnya.

"Kalau TNI mengambil alih ya diserahkan kepada penegak hukum yang ada yaitu polisi lalu jaksa," ujarnya.

Razia buku—atau pengamanan barang-barang cetakan secara sepihak—tak lagi diperbolehkan sejak keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010 yang mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum.

Ketika itu MK memutuskan pelarangan buku musti lewat proses peradilan. Ada yang melapor, dan itu harus disertai pembuktian yang kuat.

"Tanpa melalui proses peradilan, merupakan proses eksekusi ekstra judisial yang tentu saja sangat ditentang di sebuah negara hukum," kata Maria Farida, salah satu hakim konstitusi ketika membacakan putusan, seperti dikutip dari BBC.

Aparat hanya Menelaah

Kapuspen TNI Angkatan Darat, Brigjen AR Chandra, mengatakan penyitaan buku dilakukan bersama kejaksaan dan kepolisian. Ia menegaskan, TNI tidak ikut campur mengenai masalah konten buku.

"Buku yang diamankan diteliti oleh pihak kejaksaan, apakah isinya mengandung penyebaran komunisme atau tidak. Jadi bukan kami yang memeriksa atau mengamankan bukunya di situ, bukan dari kita. Di kejaksaan yang menentukan," kata Chandra saat dihubungi reporter Tirto.

Saat dikonfirmasi, Kapuspen Kejaksaan Agung Mukri mengatakan pengambil buku dilakukan untuk ditelaah apakah melanggar aturan atau tidak. Menurutnya, razia buku dilakukan sebagai upaya menjaga ketertiban umum.

"Memang dalam putusan MK seperti itu [ditelaah dulu baru disita] tapi kan ini sebagai langkah preventif, langkah pengamanan," kata Mukri.

Meski begitu, Mukri memastikan tidak akan ada proses hukum lebih lanjut jika konten buku tersebut tidak melanggar aturan.

Sementara kepolisian menunggu hasil pemeriksaan buku-buku yang diambil oleh kejaksaan. Karopenmas Mabes Polri, Brigjen Dedi Prasetyo, mengatakan pihaknya menunggu hasil penilaian dari kejaksaan apakah dilanjutkan ke proses hukum atau tidak.

"Yang merazia bukan polisi, tapi yang di depan kan kodim atau koramil. Penyidik menunggu hasil penilaian yang dilakukan oleh kejaksaan dulu apakan ada pelanggaran hukum atau tidak,” ujar Dedi.

Baca juga artikel terkait RAZIA BUKU atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Gilang Ramadhan