Menuju konten utama

Razia Buku Kiri demi Hapus Stigma Jokowi PKI

Sejarawan menduga usul razia 'buku PKI' ada kaitannya dengan upaya untuk menghalau isu miring soal Joko Widodo.

Razia Buku Kiri demi Hapus Stigma Jokowi PKI
Komandan Kodim 0712/Tegal Letkol Inf Hari Santoso menunjukkan lima judul buku yang disita dari sebuah pusat perbelanjaan di Kodim 0712/Tegal, Jawa Tengah. ANTARA/Oky Lukmansyah

tirto.id - Beberapa hari lalu, Jaksa Agung HM Prasetyo secara sadar mengusulkan sesuatu yang melanggar hukum: razia besar-besaran buku cetak yang terindikasi menularkan komunisme dan gagasan-gagasan Partai Komunis Indonesia. Hal ini ia katakan saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Rabu 23 Januari 2019.

"Mungkin perlu dilakukan razia buku yang memang mengandung PKI dan dilakukan perampasan di mana pun buku itu berada," kata Prasetyo.

Dikatakan melanggar hukum karena itu tak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi—satu-satunya institusi yang diberi kewenangan untuk menafsirkan Undang-Undang Dasar 1945. Razia buku—atau pengamanan barang-barang cetakan secara sepihak—tak lagi diperbolehkan lewat putusan MK tahun 2010 yang mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum.

Ketika itu MK memutuskan pelarangan/razia buku musti lewat proses peradilan. Sementara yang terjadi saat ini adalah buku itu serta merta dirampas dari si pemilik toko dengan dalil akan diteliti oleh pihak berwajib.

"Tanpa melalui proses peradilan, merupakan proses eksekusi ekstra judisial yang tentu saja sangat ditentang di sebuah negara hukum," kata Maria Farida, salah satu hakim konstitusi ketika membacakan putusan, seperti dikutip dari BBC.

Motif Politik

Pernyataan tersebut menuai kritik. Pengajar hukum tata negara di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Bivitri Susanti, menegaskan usulan HM Prasetyo itu inkonstitusional. Kepala Divisi Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur malah mengatakan selain inkonstitusional, pernyataan itu juga menunjukkan HM Prasetyo tidak menghormati MK.

Kritik juga datang dari sejarawan yang banyak menulis soal peristiwa 1965, Asvi Warman Adam.

"Menurut keputusan MK, penyitaan harus seizin pengadilan. Jadi pertanyaannya apakah Jaksa Agung itu membaca atau tidak keputusan MK yang diketuai Mahfud MD tahun 2010 itu?" kata Asvi kepada reporter Tirto, Kamis (14/1/2019).

Lebih jauh dari perkara hukum, Asvi menduga ada motif politik praktis di balik pernyataan itu. Menurutnya Jaksa Agung sengaja menerabas aturan dengan mewacanakan razia besar-besaran akibat isu PKI yang mendera Presiden Joko Widodo.

"Saya lebih melihat di sini Jaksa Agung sebagai tokoh Partai Nasdem. Nasdem sendiri adalah pendukung Jokowi. Nah Jokowi ini dituduh PKI, anak PKI, dan lain-lain. Nasdem tentu saja menolak itu," Asvi menduga.

Sebelum ditunjuk sebagai Jaksa Agung pada 20 November 2014, HM Prasetyo sebetulnya telah terpilih sebagai anggota DPR RI periode 2014-2019. Ketika itu ia maju sebagai calon anggota legislatif di Dapil Jateng II lewat Nasdem.

Dugaan Asvi dibantah Sekjen Nasdem Johnny G. Plate. Menurutnya hal tersebut tidak berdasar. "Ngarang aja itu," kata Plate kepada reporter Tirto.

Hal serupa dikatakan Ketua DPP Partai Nasdem Irma Suryani Chaniago. Katanya, Nasdem tidak lagi berhubungan dengan Prasetyo.

"Sejak menjadi Jaksa Agung pak Prasetyo itu sudah dihibahkan ke pemerintah. Jadi enggak ada itu Nasdem cawe-cawe urusan kejaksaan Agung," kata Irma.

Meski demikian, ia merasa razia buku sudah benar. "Wajar saja jika pemerintah melakukan razia. Tapi, maaf ya, enggak ada urusan Nasdem dengan itu."

Tirto menghubungi Kapuspen Kejaksaan Agung, Mukri, tapi yang bersangkutan tidak merespons hingga berita ini ditayangkan. Sementara HM Prasetyo, seperti dikutip dari Bisnis, menegaskan lagi kalau dia tak lagi punya kartu anggota Nasdem.

Baca juga artikel terkait RAZIA BUKU atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino