tirto.id - Jaksa Agung HM Prasetyo mengusulkan sesuatu yang konyol di era serba digital seperti sekarang: merazia besar-besaran buku cetak yang terindikasi menularkan “komunisme” dan ideologi terlarang lainnya. Hal ini ia katakan saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Rabu 23 Januari 2019.
“Mungkin perlu dilakukan razia buku yang memang mengandung PKI dan dilakukan perampasan di mana pun buku itu berada,” katanya.
Dikatakan konyol karena sebagai aparat negara ia pura-pura lupa bahwa razia tanpa proses peradilan tak lagi diperbolehkan oleh Mahkamah Konstitusi--satu-satunya lembaga yang berwenang menafsirkan Undang-Undang Dasar. Putusan yang dimaksud adalah putusan MK Nomor 20/PUU-VIII/2010 [PDF].
Menurut Prasetyo, razia besar-besaran perlu dilakukan karena pada beberapa kali razia sejak satu bulan terakhir, para pemilik toko yang bukunya disita mengaku apa yang mereka jual juga dijajakan di tempat lain.
Pernyataan Prasetyo ini kontan dicibir banyak pihak, dan itu wajar belaka.
Pengajar hukum tata negara di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Bivitri Susanti, menegaskan usulan HM Prasetyo itu inkonstitusional.
“Itu tentu saja salah besar. Harusnya Jaksa Agung harus mengikuti putusan MK yang sudah jelas, sudah jelas sekali, tidak memperbolehkan lagi melakukan penyitaan dan razia buku. Bukan malah membuat pernyataan yang menyesatkan seperti itu,” kata Bivitri saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (23/1/2019) malam.
Dalam putusan tersebut, kata Bivitri, terdapat sejumlah pertimbangan hukum dan kewenangan aparat dalam urusan melarang buku.
“Jika memang seandainya buku itu bermasalah, maka harus ada proses pengadilan terlebih dahulu dan ada putusannya. Logikanya [Prasetyo] terbalik. Toko-toko itu protes karena dirazia, bukannya malah dirazia lagi. Razia itu salah,” kata perempuan kelahiran 5 Oktober 1974 ini.
Hal senada diungkapkan Kepala Divisi Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur. Ia menilai ucapan HM Prasetyo untuk merazia buku secara besar-besaran membahayakan demokrasi di Indonesia.
“Ini berbahaya bagi kelangsungan demokrasi dan hukum di Indonesia,” kata dia.
Menurut Isnur, pernyataan HM Prasetyo tidak hanya inkonstitusional, tapi juga tidak menghormati MK sebagai institusi penegak konstitusi.
“Itu sebenarnya, bahasa kami adalah 'keparahan yang maksimal'. Kekeliruan yang sangat besar dan berbahaya,” tambahnya.
Isnur menyarankan agar HM Prasetyo membaca ulang dengan seksama dan menghargai putusan MK serta UUD 1945. Ia juga menyarankan para bawahan Jaksa Agung untuk melakukan hal serupa agar mereka tak melakukan apa yang bosnya katakan.
Jaksa Agung Harus Dievaluasi
Melihat pejabat sekelas Jaksa Agung mengeluarkan pernyataan yang menyalahi hukum, Isnur mengatakan seharusnya DPR memberikan peringatan keras ke Prasetyo. DPR harus menegaskan mana yang benar dan mana yang salah sesuai aturan.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam juga mendesak Presiden Joko Widodo untuk bertindak. HM Prasetyo, katanya, harus dievaluasi.
“Presiden harus segera melakukan evaluasi terhadap Jaksa Agung. Presiden bertanggung jawab terhadap tindak tanduk Jaksa Agung, dan menghentikan usulan tersebut,” kata Anam. “Presiden juga harus menghentikan razia dan perampasan buku.”
Anam menilai tindakan HM Prasetyo tersebut tidak hanya berupaya menyeret kembali Indonesia ke masa otoritarianisme Orde Baru, namun juga mencoreng janji dan komitmen Jokowi untuk patuh dan taat pada hukum.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz