tirto.id - "Buku apa saja yang Anda baca selama masa pandemi ini?"
Pertanyaan itu dilontarkan Presiden Joko Widodo pada akun twitternya, @jokowi, dalam rangka peringatan Hari Buku Nasional yang jatuh pada Minggu (17/5/2020).
Tujuan Jokowi yakni ingin mengajak seluruh masyarakat Indonesia lebih rajin lagi membaca buku di tengah masa pandemi COVID-19 ini. Sebab menurutnya, saat seperti ini lah orang-orang lebih banyak memiliki waktu luang untuk membaca buku.
Ajakan Jokowi ini diapresiasi Ketua Umum Persatuan Penulis Indonesia (SATUPENA) Nasir Tamara. Meski mengapresiasi, Nasir sangat berharap imbauan ini bukan hanya gimik yang sedang dimainkan Jokowi. Imbauan ini harus diikuti oleh semua kementerian dan lembaga negara bahkan organisasi masyarakat terutama mereka yang kerap menyensor bahkan merampas buku tanpa alasan yang jelas.
"Kami harapkan dengan seruan dari presiden untuk membaca, orang-orang yang berinisiatif menyensor, merampas buku, itu tidak akan bergerak lagi. Karena Panglima tertinggi sudah meminta orang untuk membaca," kata Nasir kepada reporter Tirto, Rabu (20/5/2020).
Baca Buku Sebelum Dirampas Negara
Editor cum pendiri penerbit Ultimus, Bilven Rivaldo Gultom atau dikenal Bilven Sandalista melihat selama enam tahun Jokowi menjadi presiden sudah sekian kali melakukan razia buku, pelarangan diskusi hingga membubarkan festival buka yang dianggap berideologi kiri.
Misalnya saja razia buku yang diduga mempropagandakan komunisme di Probolinggo, Jawa Timur oleh aparat kepolisian. Bahkan dua mahasiswa bernama Muntasir Billah (24) dan Saiful Anwar (25) yang tergabung dalam komunitas bernama Vespa Literasi ditangkap oleh aparat Polsek setempat, Sabtu (27/7/2019) malam karena menggelar lapak baca gratis di Alun-alun Kraksaan.
Beberapa buku yang disita adalah Dua Wajah Dipa Nusantara, Menempuh Di Jalan Rakjat, Sukarno, Marxisme & Leninisme, serta D.N. Aidit: Sebuah Biografi Ringkas.
Tak hanya aparat, sekelompok orang yang menamakan diri Brigade Muslim Indonesia (BMI) juga pernah melakukan razia buku buku di Gramedia Trans Mall Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (3/8/2019).
Mereka, seperti yang dikatakan salah satu perazia dalam video yang beredar, "melakukan pencarian buku-buku berpaham radikal."
Lantas, Bilven pun menyarankan agar semua orang harus rajin membaca sebelum buku-buku yang dibaca dirampas oleh negara.
"Jadi cuma sekadar basa-basi aja [Jokowi mengajak baca buku], karena pas Hari Buku Nasional," kata Bilven kepada Tirto, Rabu (20/5/2020).
Pernyataan Bilven bahwa ajakan Jokowi hanyalah basa-basi alias gimik saja didasari kekecewaan pemerintah yang gelap mata terhadap tindakan razia, penyitaan, sweeping dan semacamnya terhadap buku-buku yang dianggap tak sejalan dengan ideologi negara atau bahkan berseberangan pandangan dengan pemerintah saat ini.
"Pemerintah tidak pernah mengecam atau menyatakan itu sebagai tindakan yang keliru, dan juga tidak memastikan itu tidak akan terjadi lagi," jelas Bilven.
Seharusnya kata dia, aparat apalagi ormas tidak boleh sewenang-wenang melakukan razia buku dan membubarkan diskusi. Razia buku lanjut dia, semestinya tidak ada lagi setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010 yang mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum
MK memutuskan pelarangan buku musti lewat proses peradilan. Prosesnya ada yang melaporkan dan itu harus disertai pembuktian yang kuat.
"Tidak boleh lagi pemerintah langsung melarang atau membredeil. Harus lewat proses pengadilan dulu, jadi ada yang nuntut, membela, saksi ahli, dan lainnya," jelasnya.
Apabila masyarakat ingin membaca sebagaimana yang diimbau oleh Presiden Jokowi, Bilven menyarankan agar membeli buku-buku yang bermutu, terutama ke penerbit-penerbit alternatif dan toko-toko buku independen, termasuk membeli secara online.
Tujuannya tak lain agar penerbit-penerbit alternatif ini semakin produktif menerbitkan dan menjual buku-buku baru yang penting untuk literasi masyarakat.
"Kalau punya waktu luang banyak, bikin komunitas, bikin perpustakaan-perpustakaan terbuka di rumah maupun jalan," tuturnya.
Senada dengan Bilven, Kepala Biro Pemantauan dan Penelitian Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar menilai imbauan Jokowi perihal membaca ditengah maraknya razia buku dan pembubaran diskusi merupakan hal yang paradoks.
Kondisi yang paradoks ini menurutnya akan menimbulkan kebingungan, bahkan ketakutan masyarakat mengenai buku-buku yang mereka miliki atau jual di toko maupun online.
"Rasa cemas yang diakibatkan oleh tidak adanya kepastian hukum terkait penerapan delik-delik larangan terhadap ideologi terlarang, jelas merupakan pelanggaran tersendiri terhadap hak asasi manusia. Karena negara telah menebar ketakutan karena seseorang memiliki buku," kata Rivanlee kepada Tirto, Rabu (20/5/2020).
Semestinya buku dapat dianggap sebagai upaya melawan impunitas, dogmatisme, manipulasi, dan disinformasi. Melalui buku, lanjut Rivanlee bisa menjadi medium bagi perjuangan keadilan dan demokrasi.
"Sebaliknya, razia buku justru menunjukkan ketakutan Negara akan pengungkapan kebenaran atas fakta-fakta yang terjadi di masa silam," ucapnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Bayu Septianto