tirto.id - Dalam satu minggu saja setidaknya ada dua razia buku 'kiri' atau yang dianggap mempropagandakan komunisme, ideologi yang sudah dilarang di Indonesia sejak 1966. Tapi toh itu seperti tak ada gunanya. Buktinya orang-orang, terutama mahasiswa, justru menantang para perazia buku dengan menggelar lapak baca.
Razia pertama dialami dua mahasiswa, Muntasir Billah (24) dan Saiful Anwar (25), yang tergabung dalam komunitas bernama Vespa Literasi. Mereka ditangkap Polsek Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur, Sabtu (27/7/2019) malam karena menggelar lapak baca gratis di Alun-alun Kraksaan.
Beberapa buku yang disita adalah Dua Wajah Dipa Nusantara, Menempuh Di Jalan Rakjat, Sukarno, Marxisme & Leninisme, serta D.N. Aidit: Sebuah Biografi Ringkas.
Seminggu kemudian, tepatnya Sabtu (3/8/2019), razia buku terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan oleh sekelompok orang yang menamakan diri Brigade Muslim Indonesia (BMI). Mereka langsung merazia buku di Gramedia Trans Mall Makassar.
Mereka, seperti yang dikatakan salah satu perazia dalam video yang beredar, "melakukan pencarian buku-buku berpaham radikal." Tapi faktanya salah satu yang disita adalah buku berjudul Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme karya Frans Magnis-Suseno yang sebetulnya sama sekali tidak mempropagandakan komunisme.
Sebaliknya, isi buku itu adalah sanggahan-sanggahan terhadap gagasan utama Karl Marx, pencetus ideologi marxisme.
Reaksi
Salah satu yang merespons razia buku itu dengan menggelar lapak baca terbuka adalah Kolektif Literasi Makassar (KLM). Aksi solidaritas yang bertajuk "Hak Kebebasan Membaca dan Menolak Batasan Baca" itu digelar di Pantai Losari sekitar pukul 15.00 hingga 20.00 Wita, Sabtu (10/8/2019).
"Aksi ini kami adakan sebagai bentuk perlawanan terhadap razia buku-buku yang dianggap berhaluan kiri," kata salah satu anggota KLM, Indra (bukan nama sebenarnya), kepada reporter Tirto, Ahad (11/8/2019).
Indra mengatakan para pegiat literasi tak akan gentar terhadap razia buku. Dia bahkan mengatakan razia itu justru membuat orang-orang semakin tergerak untuk memasifkan lapak baca gratis di ruang-ruang publik. Di sisi lain juga membuat penasaran orang-orang yang tak pernah bersentuhan dengan 'buku kiri'.
"Semakin bagus dirazia. Orang yang tidak pernah baca buku kiri akan penasaran," katanya.
Indra lalu menyitir adagium para pegiat HAM: mereka akan terus ada dan bahkan berlipat ganda.
"Semakin marak razia, semakin menguat solidaritas pelapak, bung," katanya mantap.
Aksi serupa dilakukan pula pegiat literasi di kota lain. Misalnya di Bandung oleh Perpustakaan Jalanan Bandung.
"Kita sudah melapak... Yuk merapat kita diskusi kecil. Solidaritas untuk kawan-kawan @vespaliterasi,"tulis akun Instagram @perpustakaanjaIanan_bandung, Jumat (9/8/2019), disertai foto-foto orang sedang santai membaca.
Tak hanya buku beraliran kiri yang mereka gelar. Buku-buku umum seperti novel filsafat Dunia Sophie karya Jostein Gaarder dan Sistem Politik Indonesia pun tak lupa dibawa serta.
Sekelompok mahasiswa dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP Unair) Surabaya bahkan tak hanya menggelar lapak baca, tapi juga diskusi publik. Ini mereka lakukan Sabtu (10/8/2019) kemarin.
Sia-Sia
Sejarawan serta pendiri Majalah Historia, Bonnie Triyana, menegaskan bahwa razia buku di era serba canggih seperti sekarang memang tak ada gunanya. Kuantitas buku yang dirazia dengan yang beredar jomplang. Belum lagi kalau buku-buku itu--dan artikel sejenis--beredar di internet.
"Sekarang bukan lagi masanya razia, menutup-nutupi pengetahuan secara sepihak. Sekarang itu saatnya orang mempelajari, mendiskusikan, dan berdebat dalam forum diskusi kalau ada yang tidak setuju," kata Bonnie kepada reporter Tirto.
Bonnie melanjutkan: "tidak salah kalau mereka belajar soal komunisme, Islam, maupun paham apa pun. Yang salah itu ketika mereka habis baca buku bunuh orang. Yang salah kalo mereka melakukan sesuatu yang merugikan orang lain."
Lagipula tak ada landasan hukum untuk merazia buku, kata Bonnie. Memang pernah ada aturan soal razia, yaitu Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Tapi dalam aturan itu pun penarikan buku hanya dapat dilakukan oleh kejaksaan setelah diputus oleh pengadilan.
Aturan itu sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Jadi kesimpulannya, kata Bennie, "razia-razia liar itu menyalahi hukum."
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino