tirto.id - Iman yang ada di dalam jiwa setiap muslim, tidak bisa dilepaskan dengan aktivitas ibadah. Ibadah tidak akan dilakukan apabila seseorang tidak memiliki keimanan.
Iman makin sempurna dengan dilakukannya peribadahan yang ditujukan untuk menggapai ridha allah semata.
Dalam buku Al Quran Hadis (2014) disebutkan, iman adalah meyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dilakukan dengan anggota badan (perbuatan). Artinya, iman yang tidak sekadar sesuatu yang diyakini dalam hati.
Dalam diri orang beriman, perlu pula untuk mengikrarkan iman tersebut lantas mengimplementasikannya dalam perbuatan melalui anggota badannya.
Iman tertinggi adalah keyakinan mengenai Allah. Iman kepada Allah berarti meyakini tentang keberadaannya, lalu lisan dengan penuh kesadaran mengikrarkannya, lantas menerapkan keimanan itu dalam kehidupan sehari-hari tanpa unsur paksaan.
Seorang muslim wajib meletakkan kecintaan pada Allah melebihi kecintaan terhadap lainnya. Di samping itu, seorang muslim juga wajib meyakini apa pun yang dituntunkan Allah padanya.
Keimanan mendasar dari orang Islam didapatkan dari rukun iman. Rukun ini mencakup iman kepada Allah, lalu malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta meyakini tentang takdir baik dan buruk.
Suatu hari, malaikat Jibril bertanya pada nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam tentang iman dalam sebuah hadis:
"(Jibril) berkata: 'Beritahukanlah kepadaku tentang iman!' Jawab Nabi: 'Hendaknya engkau beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kepada kitab-kitabNya, kepada Rasul-rasulNya, kepada hari kiamat, dan beriman kepada Qadar yang baik serta yang buruk'." (HR.Muslim).
Dikutip laman Unisba, kesempurnaan iman dapat dilihat dari tiga ciri berikut seperti yang tertuang dalam kitab Al-Mujalasatu Wa Jawahur Al-Ilmi:
- Jika seseorang memperoleh kesenangan, kecukupan,atau kelapangan maka dirinya tidak membawa semua itu kepada kebatilan.
- Jika dirinya marah, kemarahannya tidak sampai mengajaknya keluar dari jalan kebenaran.
- Bila dia berkuasa, maka dia tidak akan berlaku zalim dengan mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Ibadah yang Diterima Allah SWT
Setelah seorang muslim menyadari tentang keimanannya pada Allah dan semua hal yang wajib diimani, maka dia akan menampakkan imannya itu melalui aktivitas-aktivitas ibadah.
Semua ibadah ditujukan untuk Allah. Kendati demikian, melaksanakan ibadah juga perlu diikuti dengan pemahaman mengenai ciri ibadah yang diterima.
Ibadah yang benar dan diterima, memiliki dua syarat utama yaitu:
1. Didasari keikhlasan karena Allah semata
Niat beribadah adalah untuk Allah. Niat ini menjadikan ibadah yang dikerjakan menjadi bentuk amalan salih yang bernilai pahala. Allah tidak diduakan dalam niatnya.
Sebuah hadis menyatakan: Dari Umar, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
"Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan. Barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan." (HR. Bukhari)
2. Mengikuti tuntunan Nabi Muhammad
Hukum asal ibadah adalah haram, sampai ada tuntutan yang dibenarkan oleh syariat. Oleh sebab itu, beribadah dengan hanya bermodal ikhlas untuk Allah saja tidaklah cukup, ibadah harus memiliki landasan yang dibenarkan syariat untuk melaksanakannya.
Ibadah yang dibuat sendiri tanpa ada landasan yang dituntunkan Allah dan Nabi Muhammad adalah sia-sia dan tidak memiliki nilai pahala. Inilah pentingnya untuk senantiasa berpegang pada tuntunan Rasulullah dalam menjalankan ibadah.
Dari Ummul Mukminin; Ummu Abdillah; Aisyah radhiallahuanha dia berkata : Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
"Siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya), maka dia tertolak." (Riwayat Bukhri dan Muslim), dalam riwayat Muslim disebutkan: “Siapa yang melakukan suatu perbuatan (ibadah) yang bukan urusan (agama) kami, maka dia tertolak.”
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Dhita Koesno