Menuju konten utama

Ramai-ramai Melegalkan Taksi Online

Di Indonesia, keberadaan taksi online mulai diatur dan dibuatkan dasar hukumnya. Aturan itu membuat taksi online tak ubahnya taksi konvensional. Bagaimana taksi online diatur di negara-negara lain?

Ramai-ramai Melegalkan Taksi Online
Greenlight Hub. Uber di Las Vegas. Disejumlah negara, Uber masih bertatus ijin ilegal. Foto/iStock

tirto.id - Keberadaan aplikasi pemesanan taksi seperti Uber, Grab, dan Go-Car membuka peluang usaha baru bagi para pemilik mobil yang ingin mencari usaha sampingan. Mereka bisa mendaftarkan dirinya sendiri sebagai pengemudi, atau menyewakan mobilnya kepada pengemudi lain yang tak memiliki mobil pribadi.

Bagi para penumpang, persaingan tiga operator taksi ini justru menguntungkan. Promosi dan tarif murah yang dipatok membuat para penumpang tak perlu membayar mahal untuk mendapatkan kemewahan diantar jemput dengan mobil, seperti memiliki sopir pribadi.

Go-Car rajin memberi pelbagai promosi, salah satunya potongan 50 persen jika membayar dengan Go-Pay. Uber juga begitu, ada promo potongan 50 persen dengan maksimal potongan Rp25 ribu untuk sepuluh kali perjalanan dalam rentang waktu tertentu. Grab pun tak ketinggalan, ada potongan hingga 60 persen dengan menggunakan kode promosi di jam-jam tertentu. Upaya ketiga operator merebut hati para pelanggan tentu menguntungkan pelanggan itu sendiri.

Namun, semua itu akan berakhir, sebab sejak Oktober 2016, telah terbit Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 32/2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, termasuk di dalamnya taksi online. Peraturan yang berlaku 1 Oktober tahun lalu ini diundur selama enam bulan atau baru berlaku efektif 1 April 2017 dan dalam proses revisi.

Dalam aturan baru ini tidak memberikan wewenang kepada operator seperti Grab, Go-Car, dan Uber untuk menentukan tarif, sebab ketiganya tak lagi sebagai operator, melainkan hanya provider penyedia aplikasi.

Kelak, provider ini hanya berhak menentukan tarif jasa aplikasinya saja. Sedangkan untuk tarif jasa transportasinya, akan ditentukan oleh perusahaan yang menjadi mitra provider. Dalam hal ini, Kementerian Perhubungan akan menentukan tarif batas bawah dan batas atas melalui revisi peraturan.

Aturan terbaru Kemenhub ini juga mengamanatkan bahwa rekanan dari ketika provider bukanlah perorangan, tetapi perusahaan. Ia bisa berbentuk perseroan terbatas (PT) atau koperasi. Syaratnya, satu perusahaan memiliki minimal lima pengemudi dan armada. Armada-armada itu juga harus ditempel stiker khusus yang membedakan mereka dengan mobil pribadi pada umumnya. Ini tentu babak baru bagi sistem ride sharing atau taksi online di Indonesia.

Infografik Regulasi Uber

Sistem ride sharing tak hanya ada di Indonesia, Uber misalnya ada di Amerika, Cina, Australia, hingga Afrika Selatan. Di beberapa negara, keberadaan provider ini masih ilegal. Tetapi, sejumlah negara telah mengeluarkan aturan dan membuatnya menjadi legal. (Baca wawancara Tirto dengan Pengamat Transportasi: “Jangan Ada Sistem Setoran”)

Pada Mei 2015, Uber dan sejumlah jasa serupa seperti Grab Car di Filipina akhirnya mendapatkan kekuatan hukum dan menjadi legal. Pemerintah Filipina mengklasifikasikan mereka sebagai Transportation Network Vehicle Service. Mereka harus melakukan registrasi. Bagi kendaraan yang beroperasi tetapi tak teregistrasi, akan didenda US$4.300 dan akan dikandangkan selama tiga bulan.

Negara lain yang telah melegalkan keberadaan ride sharing seperti Uber adalah Inggris, Amerika Serikat, Malaysia, Kanada, dan Australia. Di Inggris, Uber menjadi legal setelah Pengadilan Tinggi Inggris memutuskan aspek legal sistem ini pada Oktober 2015. Namun, otoritas transportasi di Inggris mensyaratkan semua pengemudi harus terdaftar dan memenuhi beberapa kriteria untuk mendapatkan lisensi. Salah satu syaratnya adalah kemampuan bahasa Inggris.

Uber sempat melakukan protes atas aturan ini dan melayangkan gugatan meskipun kemudian kalah. Menurut Transportation for London (TFL), syarat kemampuan Bahasa Inggris itu penting demi keselamatan penumpang. Tetapi Uber menilai standar yang dipakai terlalu tinggi dan akan membuat para sopir imigran kesulitan.

Di negara tetangga, Malaysia, Komisi Transportasi Umum Darat sedang mempertimbangkan regulasi untuk mengatur layanan pemanggil taksi online. Pemerintah Malaysia menargetkan akan menyelesaikan aturan tersebut tahun ini.

Sementara itu, di Kanada, keberadaan Uber dan sejenisnya baru saja dilegalkan Januari 2017 dan efektif sejak Maret tahun ini. Kota pertama yang melegalkan keberadaan Uber adalah Edmonto. Toronto dan Quebec akan segera menyusul selanjutnya. Para pengemudi Uber diwajibkan melakukan registrasi. Akan dilakukan inspeksi kendaraan, pembatasan jam mengemudi, dan menghadiri kelas khusus untuk mendapatkan lisensi sebagai pengemudi taksi.

Beda negara beda pula aturannya, para provider taksi online dituntut untuk mematuhi aturan di tiap-tiap negara yang mulai melegalkannya. Di sisi lain banyak negara di dunia, taksi online statusnya masih ilegal. Para pengemudi masih kucing-kucingan dengan para petugas. Taksi online resmi dilarang di beberapa negara seperti Rumania, keberadaan Uber secara resmi menjadi ilegal. Begitu pula dengan Hong Kong, India, Afrika Selatan, Korea Selatan, dan Thailand.

Indonesia rupanya akan memilih haluan sebagai negara yang akan melegalkan taksi online. Namun, persoalannya apakah payung hukum yang akan jadi dasarnya benar-benar akan diterapkan di lapangan. Ini tentu jadi taruhan bagi pemerintah di tengah persoalan perlawanan para penentang layanan transportasi online yang kini kembali marak.

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI ONLINE atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Hukum
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Suhendra