tirto.id - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan telah melayangkan surat ke Pemerintah Pusat untuk melakukan karantina wilayah Ibu Kota. Namun ia menuturkan karantina wilayah merupakan kewenangan dari presiden.
Berdasarkan keterangan dari Menkopolhukam Mahfud MD, surat tersebut bernomor 143 tertanggal 28 Maret 2020. Pemerintah Pusat menerima surat itu pada Minggu 29 Maret 2020. Meskipun ingin mengkarantina DKI Jakarta, Anies tetap memperhatikan sektor energi; pangan; kesehatan; komunikasi; dan keuangan, agar tetap beraktivitas.
Sebelum direstui Jokowi, Anies telah mengeluarkan kebijakan yang berorientasi karantina wilayah sejak dua pekan lalu. Di antaranya meliburkan siswa; tempat kerja bagi ASN dan pekerja swasta; menunda kegiatan keagamaan di rumah ibadah, serta membatasi interaksi sosial.
Namun Istana menolak usulan Anies tersebut. Kendati tak secara langsung, isyarat penolakan itu disampaikan oleh Fadjroel Rachman, juru bicara Presiden Jokowi, melalui akun Twittter-nya pada 30 Maret 2020.
Alasannya, pemerintah pusat memilih menerapkan "pembatasan sosial berskala besar dengan kekarantinaan kesehatan" dan "hanya jika keadaan sangat memburuk dapat menuju darurat sipil".
Selasa (31/3/2020), Istana akhirnya meneken tiga peraturan sekaligus yakni Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan COVID-19, Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Darurat Kesehatan Masyarakat dan PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk Penanganan COVID-19.
Terkait PP PSBB, dalam pasal 6 disebutkan pemberlakuan PSBB diusulkan oleh kepala daerah kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Dalam PP tersebut juga dijelaskan langkah minimal yang dilakukan adalah dengan peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat umum. Langkah-langkah yang sebenarnya sudah dilakukan DKI, dan beberapa kota lain, sebelum PP ini terbit. Artinya, pemerintah pusat hanya mengamplifikasi kebijakan yang sudah dilakukan Pemprov.
Ini bukan kali pertama kebijakan Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Anies Baswedan dalam menangani pandemi Corona terus menerus dimentahkan istana.
Bikin Situs Corona yang Disindir Kominfo
Sejak 6 Maret, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melalui Tim Tanggap COVID-19 menyediakan situs kanal informasi tambahan bagi warga perihal wabah virus Corona di ibu kota.
Masyarakat di Jakarta dapat mengakses informasi melalui situs corona.jakarta.go.id. Pada kanal tersebut, masyarakat dapat mengakses dokumen-dokumen Instruksi Gubernur (Ingub), Surat Edaran Dinas, siaran pers, dan infografis yang berisi informasi terkait layanan Pemprov DKI Jakarta. Selain itu, sudah disediakan informasi lengkap mengenai COVID-19.
Yang menjadi perhatian, informasi kasus positif yang dibagikan di situs bikinan Pemprov DKI kerap kali berbeda dengan yang diumumkan Kementerian Kesehatan.
Lantaran hal itu, Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Johnny G. Plate menegaskan situs web yang dibuat Kementerian Kesehatan merupakan arahan dari pemerintah pusat untuk memberikan kabar terkini kasus COVID-19. Situs yang dimaksud adalah infeksiemerging.kemkes.go.id. Dari pantauan Tirto, saat itu situs tersebut hanya memperbarui data COVID-19 secara global tanpa spesifikasi kasus di Indonesia.
"Dalam rangka komunikasi publik, pemerintah daerah mengikuti protokol pemerintah pusat supaya satu saja narasi pemerintah," kata Menkominfo Johnny G. Plate kepada awak media di kantor Kemenkominfo, Jakarta, Senin (9/3).
Pemerintah daerah, imbuh Plate, diperbolehkan membuat situs terkait perkembangan isu virus Corona di daerahnya tetapi narasi kontennya harus sama dengan pemerintah pusat.
"Jangan mulai lagi pertentangan. Ada [wadah informasi soal corona] pemerintah pusat, ada dari pemerintah daerah. Boleh tetapi konten dan narasinya harus sama," pungkas Johnny.
Baru pada 18 Maret, setelah Gugus Tugas Penanganan COVID-19 dibentuk, situs khusus informasi terkait Corona dibuat dengan alamat Covid19.go.id.
Usulkan Wisma Atlet Jadi RS Darurat Corona
Dalam sebuah rapat pembahasan kesiapan penanganan COVID-19 tertanggal 10 Maret 2020, Deputi Gubernur Bidang Pengendalian Kependudukan dan Permukiman DKI Jakarta Suharti mengusulkan agar Wisma Atlet Kemayoran dialihfungsikan untuk ditempat Orang Dalam Pemantauan (ODP).
Pada saat itu, pusat sudah mengumumkan kasus ke-19 dan Jakarta sudah memiliki 15 kasus positif COVID-19.
Delapan hari kemudian, gagasan ide baru direspons pemerintah pusat, tepatnya oleh Kementerian Keuangan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan aset negara berupa wisma atlet akan dimanfaatkan sebagai tempat isolasi pasien positif pandemi Corona atau COVID-19. Sri Mulyani mengatakan pemanfaatan aset ini telah dikoordinasikan dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP).
Sri Mulyani mengatakan penggunaan aset ini ditujukan lantaran wisma atlet belum banyak dimanfaatkan. Menurutnya ada peningkatan kebutuhan fasilitas Kesehatan untuk menampung pasien Corona.
Alhasil setelah dipertimbangkan wisma atlet didapati paling siap. Ia mencontohkan sudah tersedia listrik, air, dan fasilitas lainnya.
Pada akhirnya, Wisma Atlet resmi digunakan sebagai RS Darurat Corona pada 26 Maret. Kini, Wisma Atlet sudah menampung 274 orang terdiri dari pasien pria sebanyak 162 dan wanita 112 orang sejak 27 Maret.
Menunda Formula E, Disindir Mahfud
Pada 11 Maret 2020 saat Kementerian Kesehatan mengumumkan kasus kematian pertama akibat COVID-19, Anies memutuskan menunda ajang balapan jet darat listrik Formula E yang sedianya digelar di Monas pada 6 Juni nanti. Alasannya untuk mencegah penyebaran Corona atau COVID-19 lebih masif.
Anies mengatakan, "Kami tidak ingin mengorbankan keselamatan warga demi pencapaian perekonomian. Memang Formula E ini memberikan dampak ekonomi yang besar, tapi bila punya risiko untuk warga, maka kami tunda," kata dia di Gedung Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Rabu (11/3/2020).
Alih-alih didukung, keputusan itu justru mendapat sindiran dari Menkopolhukam Mahfud MD. Mahfud menilai penundaan Formula E oleh Anies lantaran khawatir ajang balap mobil listrik itu tak sukses. Sebab, menurutnya, pada saat itu Jakarta masih aman di tengah merebaknya virus corona jenis baru, COVID-19.
"Karena melihat situasi jangan-jangan itu (Formula E nanti) tidak sukses kan, karena kecenderungan di banyak dunia menghendaki agar menghindarkan perkumpulan-perkumpulan orang terlalu banyak, seperti tontonan dan sebagainya," ujarnya di Kemenko Polhukam, Jakarta, Kemarin (11/3/2020) seperti dikutip Antara.
Ia bilang juga menyampaikan kekhawatiran atas sepinya animo penonton karena Corona adalah hal wajar. "Itu mungkin kalau enggak banyak orang yang nonton kan rugi juga, lalu ditunda, barangkali," jelas Mahfud.
Dikoreksi Jokowi
Pada 15 Maret 2020, Anies mengeluarkan kebijakan memangkas jam operasional transportasi publik seperti Transjakarta, MRT dan LRT. Namun kebijakan itu berimbas pada penumpukan penumpang Transjakarta keesokan harinya setelah kebijakan itu mulai diberlakukan.
Alhasil, kebijakan itu mendapat “koreksi” dari Jokowi. “Transportasi publik tetap harus disediakan pemerintah pusat dan pemda," kata Jokowi dalam konferensi pers di Istana Bogor, Senin (16/3).
Jokowi juga mengingatkan agar semua kebijakan besar di tingkat daerah mengenai COVID-19 harus dibahas bersama pemerintah pusat.
"Konsultasi dengan kementerian terkait dan Satgas COVID-19," kata Jokowi.
Sehari setelahnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian bahkan mendatangi Balai Kota khusus untuk bicara pada Anies terkait hal tersebut. Dalam kesempatan itu, Tito memperingatkan bahwa kebijakan lockdown (penguncian) merupakan kewenangan absolut pemerintah Pusat, dalam hal ini Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Tito menjelaskan berdasarkan Undang-undang (UU) nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, terdapat empat jenis pembatasan atau lockdown. Mulai karantina rumah; Rumah Sakit, Wilayah, dan pembatasan sosial yang bersifat massal.
Dalam UU tersebut, terdapat tujuh hal yang harus dipertimbangkan, mulai pertimbangan efektivitas, tingkat epidemi, sampai ke pertimbangan, sosial, dan keamanan. Salah satu yang paling disoroti Pemerintah jika terjadi lockdown adalah berdampak kepada perekonomian.
Dibatalkan Luhut
Pada 30 Maret, Kementerian Perhubungan membatalkan kebijakan Pemprov DKI Jakarta untuk menghentikan mobilisasi angkutan umum bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP), Antar Jemput Antar Provinsi (AJAP) dan Pariwisata dari dan ke luar Jakarta.
Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati mengatakan keputusan ini diambil dengan dalih kebijakan Pemprov DKI Jakarta belum punya “kajian dampak ekonomi” sesuai dengan arahan dari Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang juga Plt Menhub.
Keputusan itu seolah menjadi kontradiktif dengan unggahan Presiden Joko Widodo di akun twitternya pada hari yang sama. Ia mengatakan mobilitas warga dari dan menuju ke Jakarta berisiko memperluas penyebaran COVID-19.
“Delapan hari terakhir, ada 876 bus antarprovinsi yang membawa 14.000-an penumpang dari Jabodetabek ke provinsi lain di Jawa. Belum termasuk yang menggunakan kereta api, kapal, pesawat dan mobil pribadi,” tulis Jokowi.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Gilang Ramadhan