tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) berwenang memutus pelanggaran administrasi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Putusan ini dipandang sebagai langkah penting menuju penyelarasan aturan antara rezim pemilu nasional dan pilkada.
Pakar kepemiluan menilai putusan ini juga memberikan angin segar bagi penegakan hukum pemilu yang lebih konsisten. Meski demikian, mereka juga menggarisbawahi bahwa masih terdapat sejumlah tantangan dan catatan kritis yang harus dihadapi, baik dari aspek regulasi maupun terkait kapasitas kelembagaan penyelenggara pemilu di tingkat nasional dan daerah.
Duduk Perkara
Dalam permohonan uji materi yang diajukan ke MK, para pemohon menyatakan bahwa ketentuan Pasal 139 Ayat (1), (2), dan (3), serta Pasal 140 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) bertentangan dengan ketentuan konstitusional dalam Pasal 22E Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Para pemohon mendalilkan agar pola penanganan pelanggaran administrasi dalam rezim pilkada seharusnya diselaraskan dengan mekanisme yang berlaku dalam rezim pemilu.
Selama ini, dalam konteks pemilu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah memberikan kewenangan kepada Bawaslu untuk memutus pelanggaran administrasi secara langsung. Putusan tersebut bersifat mengikat dan wajib ditindaklanjuti oleh KPU di semua tingkatan.
Namun, dalam konteks pilkada, Bawaslu hanya menghasilkan rekomendasi atas pelanggaran administrasi yang ditemukan. Rekomendasi itu selanjutnya ditindaklanjuti oleh KPU provinsi atau kabupaten/kota, tetapi bukan dalam bentuk pelaksanaan langsung, melainkan melalui mekanisme “memeriksa dan memutus ulang”.
Hal ini merujuk pada Peraturan KPU (PKPU) Nomor 15 Tahun 2024 yang memberikan ruang bagi KPU untuk melakukan telaah ulang terhadap rekomendasi Bawaslu.
Lalu, MK dalam amar Putusan Nomor 104/PUU-XXIII/2025 mengubah kata "rekomendasi" pada Pasal 139 UU Pilkada menjadi "putusan".
MK menyatakan KPU juga harus menindaklanjuti putusan Bawaslu tersebut. Dalam hal ini, MK mengubah frasa "memeriksa dan memutus" pada Pasal 140 Ayat (1) UU Pilkada menjadi "menindaklanjuti".
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK, Suhartoyo, mengucapkan putusan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, dikutip Antara, Rabu (30/7/2025).
Hakim Konstitusi, Ridwan Mansyur, mengatakan bahwa perbedaan kewenangan Bawaslu dalam menangani pelanggaran administrasi antara pemilu dan pilkada menimbulkan ketimpangan dalam pelaksanaan fungsi pengawasan.
"Perbedaan demikian menyebabkan dalam menangani pelanggaran administrasi pemilu, kewenangan Bawaslu menjadi lebih pasti karena putusan Bawaslu mengikat dan KPU wajib menindaklanjuti. Sementara itu, dalam menangani pelanggaran administrasi pilkada, karena hanya berupa rekomendasi, kewenangan Bawaslu menjadi sangat tergantung pada tindak lanjut yang dilakukan oleh KPU," kata Ridwan.
Menurut MK, perbedaan tersebut menyebabkan kekeliruan dalam memaknai kewenangan masing-masing lembaga penyelenggara pemilu. Padahal, secara struktur kelembagaan, KPU dan Bawaslu nyatanya sama-sama penyelenggara pemilu.
Di sisi lain, penyelesaian pelanggaran administrasi pilkada dengan hanya berupa rekomendasi dinilai memosisikan penanganan pelanggaran administrasi hanya bersifat formalitas. Sebab, muara proses hukum yang dilakukan Bawaslu menjadi tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Padahal dalam rangka mewujudkan pilkada yang berintegritas, diperlukan dasar hukum yang pasti sehingga dapat ditegakkan oleh penyelenggara pemilu, termasuk ditegakkan oleh Bawaslu, sehingga dapat dicegah dan diselesaikan segala bentuk pelanggaran, termasuk pelanggaran administratif," ujar Ridwan.
Angin Segar Penyelarasan Aturan Pemilu
Pengajar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai Putusan MK tersebut tidak mengagetkan jika dilihat dari perspektif hukum pemilu. Pasalnya, permohonan dalam perkara tersebut memang bertujuan untuk menyelaraskan pengaturan pilkada dan pemilu, khususnya dalam hal kewenangan Bawaslu.
Titi memaparkan bahwa hasil penanganan pelanggaran administratif oleh Bawaslu dalam konteks pemilu bersifat mengikat sebagai putusan. Oleh karena itu, dalam pilkada pun seharusnya berlaku hal yang sama.
“Apalagi MK sejak lama sudah memasukkan pilkada sebagai bagian dari pemilu yang diselenggarakan sesuai asas luber dan jurdil. Sebagaimana ditegaskan MK dalam Putusan No. 55/PUU-XVII/2019, Putusan MK No. 85/PUU-XX/2022, maupun Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (31/7/2025).
Lebih lanjut, Titi juga menilai putusan terbaru MK ini merupakan bentuk penegasan ulang bahwa pilkada adalah bagian dari pemilu yang harus dilaksanakan secara langsung oleh rakyat. Sehingga, pembentuk undang-undang seharusnya konsisten dalam menyusun regulasi yang menyelaraskan tata kelola dan penegakan hukum antara pemilu legislatif, pemilihan presiden, dan pilkada.
“Oleh karena itu, pembahasan RUU Pemilu harus disegerakan mengingat MK juga menekankan hal tersebut dalam putusannya. Bahwa harus segera dilakukan sinkronisasi hukum pemilu untuk pilpres, pileg, dan pilkada,” ujarnya.
Senada, peneliti kepemiluan dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Haykal, menilai Putusan MK ini menunjukan keinginan MK untuk menyamakan pengaturan antara UU Pemilu dan UU Pilkada. Pasalnya, selama ini masih ada segelintir perbedaan di antara dua UU tersebut.
Menurutnya, melalui putusan ini, MK menegaskan tidak ada lagi pemisahan antara rezim pemilu dan rezim pilkada. Keduanya kini dipahami sebagai bagian dari satu kesatuan sistem pemilu yang tunduk pada prinsip-prinsip dasar yang sama.
“Oleh karena itu mekanisme teknis yg berlaku di dalam pemilu juga berlaku di pilkada. Dalam konteks lain, ini juga menjadi pelengkap dari putusan-putusan MK yg berkaitan sebelumnya, dan tentu semakin menguatkan alasan untuk melakukan kodifikasi UU Pemilu dan UU Pilkada untuk selanjutnya,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (31/7/2025).
Lalu, apa implikasi dan tantangan putusan ini terhadap penyelenggaraan pemilu?

Beri Kepastian Hukum Pelanggaran Pemilu
Haykal dari Perludem menilai bahwa dari sisi kepastian hukum, Putusan MK ini merupakan langkah positif. Menurutnya, kejelasan kewenangan yang dihasilkan melalui putusan tersebut dapat mengurangi potensi terjadinya ego sektoral di antara penyelenggara pemilu di lapangan, khususnya antara Bawaslu dan KPU dalam menangani pelanggaran administrasi.
“Implikasi hukumnya akan cukup besar karena menutup ruang bagi KPU untuk memiliki pandangan berbeda atas sebuah putusan pelanggaran adm pemilu yang sudah di keluarkan oleh Bawaslu. Yang sebenarnya sudah berjalan di dalam pelaksanaan pemilu,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam konteks pilkada, Bawaslu hanya bisa mengeluarkan rekomendasi yang tidak bersifat mengikat sehingga KPU tetap memiliki kewenangan untuk memeriksa kembali dan mengambil keputusan sendiri. Situasi inilah yang selama ini sering menimbulkan ketidaksinkronan di antara penyelenggara pemilu.
Harus Diiringi Peningkatan SDM Bawaslu
Titi dari FH UI menggarisbawahi bahwa Putusan MK ini sekaligus membawa tantangan baru, khususnya terkait beban kerja dan kapasitas kelembagaan Bawaslu. Dengan bertambahnya kewenangan Bawaslu untuk memutus pelanggaran administratif dalam pilkada, maka ke depan harus dipastikan bahwa keanggotaan Bawaslu harus diisi oleh individu-individu yang benar-benar memahami pemilu secara mendalam.
“Keanggotaan Bawaslu di provinsi dan kabupaten/kota benar-benar diisi oleh personel yang paham hukum pemilu dengan baik. Seleksi anggota Bawaslu yang kental aroma kolutif berbasis kelompok atau organisasi, apalagi kecenderungan partisan, harus disudahi dan dihentikan total,” ujarnya.
Menurut Titi, jika aspek ini tidak dibenahi, Putusan MK justru berpotensi menimbulkan risiko baru, yakni menciptakan “monster elektoral” baru yang bisa saja menggunakan kewenangannya untuk menjustifikasi kecurangan dan menjadi sumberkesewenang-wenangan baru dalam penyelenggaraan pemilu.
Titi juga menegaskan bahwa Putusan MK tersebut harus dijadikan momentum untuk melakukan pembenahan serius, baik dalam aspek regulasi yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang maupun dalam aspek kelembagaan internal Bawaslu.
“Putusan itu harus direspon dengan keseriusan pembenahan, baik pada level pengaturan UU Pemilu oleh pembentuk undang-undang, khususnya terkait mekanisme pengisian keanggotaan Bawaslu. Juga pembenahan internal dari kelembagaan Bawaslu,” pungkasnya.
Sementara itu, MK mengingatkan pembentuk undang-undang untuk menyelaraskan semua dasar pengaturan pemilu karena tidak ada lagi perbedaan antara rezim pemilu dan rezim pilkada.
DPR dan pemerintah diminta segera merevisi undang-undang yang berkenaan dengan pemilu, khususnya harmonisasi substansi hukum pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden dengan substansi hukum pilkada, termasuk juga pengaturan penguatan kelembagaan penyelenggara pemilu.
"Upaya penyelarasan tidak hanya mencegah dualisme pengaturan yang berpotensi tumpang tindih, tetapi juga memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan setara bagi seluruh warga negara dalam menggunakan hak politiknya terutama dalam mewujudkan asas pemilu dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945," kata Ridwan.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id


































