tirto.id - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah merancang Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait pengenaan tarif bea keluar sebesar sebesar 7,5-15 persen terhadap sejumlah jenis komoditas emas, seperti dore, granules, emas termasuk ingot atau cast bar, serta jenis minted bars.
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (SEF) Kemenkeu, Febrio Kacaribu, menjelaskan, tarif bea keluar tersebut berbeda tergantung harga emas dunia atau harga mineral acuan (HMA).
“Untuk memberikan konteks, bahwa (kalau) ada windfall harga yang tinggi, itu kita berikan tarif yang lebih tinggi. Jadi, kalau dia tarifnya kolom pertama itu adalah ketika harganya di bawah 3.200 (dolar Amerika Serikat/AS) per troy ounce, dore itu boleh diekspor, maka kita berikan tarifnya," jelas dia, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, di Komplek Parlemen, Jakarta Pusat, Senin (17/11/2025).
"Lalu, yang granules juga ada tarifnya lebih tinggi, dibandingkan kalau makin hilir ketika dia sudah dibentuk dalam bentuk ingot,” imbuhnya.
Sebaliknya, tarif bea keluar yang dikenakan akan lebih murah jika emas sudah berbentuk cast bar, apalagi kalau sudah berbentuk minted bar.
Menurut Febrio, saat ini proses pembuatan Rancangan PMK (RPMK) sudah masuk pada tahap akhir, bahkan telah melalui proses harmonisasi di Kementerian Hukum. Dus, RPMK terkait bea keluar atas sejumlah jenis komoditas emas ini bisa segera diterapkan pada awal 2026.
“Ini sesuai dengan usulan dari Kementerian ESDM, kementerian teknisnya. Nah, ini sudah melalui tahap harmonisasi dan ini akan segera kita undangkan, untuk kemudian kita pastikan nanti di 2026 ini memberikan sumbangan bagi pendapatan negara,” tambah Febrio.
Ketika aturan ini diterapkan, setidaknya Indonesia akan mendapatkan tambahan penerimaan dari bea keluar hingga Rp2 triliun per tahun. Lebih penting dari itu, penerapan bea keluar terhadap sejumlah jenis komoditas emas diharapkan memeberikan dampak positif pada hilirisasi emas di dalam negeri.
Sebab, untuk mendapatkan tarif bea keluar yang lebih rendah, produsen emas seperti PT Freeport Indonesia (Persero) harus melalui proses produksi yang lebih panjang.
“Ini tentunya akan membutuhkan tambahan proses untuk penciptaannya, sehingga tarifnya juga lebih rendah. Lagi-lagi hilirisasi sangat kuat dalam konteks usulan dari Kementerian ESDM. Agar semakin hilir produknya, semakin rendah bea keluarnya. Sehingga, kita meng-incentivise terjadinya hilirisasi penciptaan nilai tambah lebih banyak di Indonesia,” jelas Febrio.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































