Menuju konten utama

Punya Fitur Status, WhatsApp Akhirnya Mengekor Snapchat

Pengguna aplikasi percakapan WhatsApp bisa menggunakan menu baru: status. Aplikasi ini semakin mirip dengan media sosial.

Punya Fitur Status, WhatsApp Akhirnya Mengekor Snapchat
Ilustrasi. Pada medio februari 2017 WhatsApp merilis fitur baru, WhatsApp Status. Foto/Reuters

tirto.id - Senin 20 Februari lalu, WhatsApp menghadirkan fitur baru di aplikasinya yakni WhatsApp Status atau ada pula yang menyebutkan sebagai WhatsApp Stories.

WhatsApp, diwartakan Forbes, tengah mengubah jalannya aplikasi mereka selama ini dari sebuah aplikasi pesan instan, menjadi aplikasi yang mengharapkan penggunanya mengkonsumsi banyak konten dan juga ikut menciptakan konten di dalamnya, baik berupa foto, video, maupun konten-konten lain.

Fitur WhatsApp Status memungkinkan penggunanya memperbarui status mereka menggunakan foto, video, animasi GIF, emoji, dan lainnya yang bisa dilihat oleh teman-teman terpilih dan akan bertahan selama 24 jam. Setelahnya, status yang telah dibuat tersebut akan terhapus dengan sendirinya.

Pembaruan pada layanan pesan instan bikinan Jan Koum tersebut mirip dengan kekhasan Snapchat, yakni "status yang bisa hilang dalam 24 jam." WhatsApp Status juga mirip dengan apa yang tersedia di Instagram yakni “Instagram Stories” yang diluncurkan pada musim panas tahun lalu. Baik WhatsApp dan Instagram memiliki kemiripan memang bukanlah hal yang mengejutkan, mengingat mereka sama-sama dimiliki oleh raksasa media sosial, Facebook.

Instagram maupun WhatsApp juga bisa dikatakan mirip dengan apa yang terdapat pada Facebook, yakni “Newsfeed.”

Dalam keterangan pers yang disampaikan, juru bicara WhatsApp mengatakan bahwa, “dari waktu ke waktu, kami melihat peningkatan dari pengguna yang membagi konten multimedia seperti foto, video, [animasi] GIF di WhatsApp. Kami ingin menawarkan kemudahan, keamanan, dan langkah terpercaya bagi orang-orang untuk membagikan konten seperti ini kepada semua kontak dalam sekali [tekan].”

Sesungguhnya, apa yang dilakukan WhatsApp sekarang adalah apa yang dilakukan mereka di awal kehadiran WhatsApp. Di tahun 2009, Jan Koum memulai dengan membuat aplikasi status. Alex Fishman, rekan dari Jan Koum sang pendiri WhatsApp mengungkapkan sebagaimana dikutip Forbes, “Dia [Jan Koum] berpikir bahwa akan sangat keren memiliki status di samping nama individu [pengguna].” Dari pemikiran tersebutlah, tercetus nama “WhatsApp” yang merujuk pada “What’s up”.

Status tersebut memberi tahu teman-teman si pengguna, sedang apa ia. Namun, fungsi status dinilai mengganggu karena jika pengguna sering mengganti status, akan banyak “ping” yang dibunyikan di gajet teman si pengguna. Akibatnya, dalam versi awal WhatsApp, mereka membatasi status dengan frasa-frasa yang telah mereka tentukan serta lebih fokus pada layanan pesan instan.

Di awal kehadirannya, WhatsApp bisa dikatakan “membenci iklan.” Aplikasi WhatsApp merupakan sebuah aplikasi yang mudah, sederhana, dan sangat berbeda dengan lainnya. Guna menghidupi WhatsApp yang kurang bersahabat dengan iklan, Jan Koum menggunakan cara berlangganan per tahun bagi pengguna WhatsApp.

Pengguna hanya diwajibkan membayar $1 per tahun setelah ia menggunakan layanan WhatsApp satu tahun gratis di awal pemakaiannya. Namun, pada 19 Januari 2016, seperti diwartakan Antara, WhatsApp menghapus biaya tahunan tersebut dan menggratiskan penggunanya untuk menggunakan WhatsApp. Aksi tersebut merupakan buntuk dari diakuisisinya WhatsApp oleh Facebook pada akhir tahun 2014 dengan mahar sebesar $22 milyar.

Data yang dipacak Statista menyebutkan terdapat 1,2 milyar pengguna aktif bulanan WhatsApp di seluruh dunia di bulan Januari 2017. Hal ini menjadikan WhatsApp sebagai pemimpin pasar dalam dunia layanan pesan singkat.

Namun, meskipun mereka memimpin pasar, WhatsApp masih terseok-seok dalam meraih pendapatan, apalagi sejak dihapuskannya sistem berlangganan. Sebagai perbandingan, laporan Forbes menyebutkan WeChat diestimasi memperoleh pendapatan hingga $7 per pengguna di tahun 2014. Sedangkan WhatsApp diestimasi memperoleh pendapatan $4 per pengguna di tahun 2020.

Padahal, di tahun 2017, menurut catatan Statista, WeChat berada di posisi ke 4 sebagai layanan pesan instan terpopuler. WeChat sukses memperoleh pendapatan karena mereka berhasil menggabungkan layanan pesan instannya dengan beragam konten yang bisa dengan cukup mudah dimonetisasi seperti permainan, pembayaran online, dan in-app purchase, dan tentu saja iklan.

Infografik Whatsapp

Selain WeChat, ada pula aplikasi pesan instan Line yang sukses meraup pendapatan jauh lebih sukses daripada WhatsApp. Di bulan Januari 2017, Line memiliki pengguna aktif bulanan hanya 217 juta pengguna. Namun, tahun lalu, menurut QZ.com mereka memperoleh pendapatan hingga $268 juta hanya dengan berjualan stiker di aplikasi pesan instan tersebut.

Aksi WhatsApp menghadirkan fitur status yang mirip dengan apa yang ada di SnapChat ditengarai merupakan salah satu strategi mereka untuk memperoleh pendapatan. Selayaknya Newsfeed di Facebook, timeline WhatsApp Status juga kemungkinan akan menghadirkan iklan di dalamnya. Menurut laporan Techcruch, WhatsApp sebelum meluncurkan WhatsApp Status memiliki 60 milyar pesan yang dikirim yang termasuk di dalamnya 3,3 milyar foto, 760 juta video, dan 80 juta animasi GIF.

WhatsApp tinggal mengalihkan lalu-lintas konten tersebut dari pesan ke pesan secara personal, menjadi konten yang dikirmkan dalam lingkaran pertemanan di WhatsApp Status. Jika hal demikian bisa dilakukan, bukanlah perkara yang terlalu rumit untuk mendatangkan pengiklan di layanan pesan instan tersebut. WhatsApp pun bisa mengekor apa yang dilakukan Line dengan berjualan stiker dan aplikasi-aplikasi pesan instan lainnya yang berjualan beragam konten dalam aplikasi mereka.

Whatsapp akhirnya tak seperti yang dibayangkan Jan Koum sebagai pendirinya.

Baca juga artikel terkait WHATSAPP atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani