Menuju konten utama

Pudarnya 'Sense of Crisis' Saat Corona Masih Tak Terkendali

Epidemiolog menilai saat ini sense of crisis sudah mulai memudar. Selain itu strategi juga tak banyak berubah untuk menangani pandemi.

Pudarnya 'Sense of Crisis' Saat Corona Masih Tak Terkendali
Petugas memproses hasil sampel tes usap antigen karyawan di laboratorium mini di kantor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Jakarta, Jumat (16/10/2020). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/pras.

tirto.id - Pandemi virus Corona belum terkendali. Jumlah kasus positif sekaligus jumlah orang meninggal dalam sepekan terakhir menunjukkan peningkatan. Situasi ini dinilai sebagai buah dari tak adanya perubahan strategi dalam penanganan dan makin pudarnya sense of crisis.

Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito, Selasa (10/11/2020), mengakui adanya “perkembangan ke arah yang kurang baik”. Terjadi peningkatan kasus sebesar 8,2 persen dibandingkan pekan sebelumnya.

Sempat terjadi penurunan dalam periode 26 Oktober sampai 1 November 2020, dengan total 23.072 kasus baru. Namun Wiku mengakui penurunan itu “semu” sebab terjadi pula penurunan jumlah orang yang dites, yakni hanya 169.183 orang. Sebagai pembanding, tiga pekan sebelumnya jumlah yang dites selalu di atas 200 ribu. Pada pekan berikutnya, periode 2-8 November, jumlah yang dites kembali naik menjadi 181.304 orang. Jumlah kasus positif pun ikut bertambah menjadi 24.932--atau jika dihitung positive rate sebesar 13,8 persen, jauh di atas standar aman yang ditetapkan WHO yakni 5 persen.

Tak hanya itu, dalam sepekan terakhir angka kematian juga meningkat 3,6 persen dibanding pekan sebelumnya. Dari 644 menjadi 667 kematian.

“Jumlah kesembuhan juga mengalami perlambatan 6,7 persen dari pekan sebelumnya. Sudah tiga minggu berturut-turut kasus sembuh mengalami penurunan dan minggu inilah terjadi perlambatan paling besar. Ini kondisi yang memprihatinkan,” ujar Wiku.

Hingga Rabu (11/11/2020), akumulasi kasus positif COVID-19 di Indonesia mencapai 448.118, sedangkan yang meninggal ada 14.836 atau 3,3 persen dari yang terkonfirmasi positif. Angka ini lebih tinggi dari persentase kematian dunia yakni 2,47 persen.

Epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman tak kaget dengan data terbaru ini sebab empat bulan terakhir ia telah melihat positive rate--yang menunjukkan tingkat laju penularan--selalu di angka 10 persen. “Tidak hanya satu dua hari, itu sudah berbulan-bulan. Dan tidak ada upaya yang signifikan untuk mengubah ini,” kata Dicky saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (11/11/2020).

Meningkatnya kasus positif baru dibarengi dengan peningkatan angka kematian menurutnya adalah konsekuensi logis dari belum optimalnya upaya pengendalian. Selain testing, tracing, dan treatment yang belum optimal, mobilitas dan interaksi masyarakat menurutnya juga semakin diabaikan.

Mobilitas dan interaksi menurutnya tak dianggap berpengaruh terhadap penambahan kasus. Buktinya jumlah tes masih minim. Pada Rabu kemarin hanya ada 39.441 spesimen yang dites, padahal hari sebelumnya tercatat 55.560 orang yang dinyatakan suspek dan 55.982 orang di hari berikutnya. Artinya, belum semua orang yang suspek dites.

Kematian Bisa Makin Banyak

Tingginya angka kematian di Indonesia menurutnya menjadi indikator utama bahwa ada kesalahan strategi dalam penanganan pandemi. Angka kematian yang tinggi menandakan laju penularan begitu cepat sehingga mereka yang terinfeksi tak tertangani hingga akhirnya meninggal. “Kita ketinggalan dengan virus ini. Kita kalah. Perlu mengubah dan mengevaluasi strategi. Kalau dibiarkan semakin jauh ya virusnya makin merajalela dan artinya terjadi potensi peningkatan angka kematian baik yang terdeteksi atau tidak makin tinggi,” katanya.

Angka kematian saat ini menurutnya sudah menjadi “sinyal sangat serius dari pengabaian, penyangkalan, dan strategi yang tak berubah. Padahal data yang disampaikan itu belumlah yang sebenarnya dan belum yang terburuk.”

Ketika di awal pejabat publik lebih banyak melakukan penyangkalan, kini menurut Dicky mereka sampai pada fase pengabaian. Buktinya sudah banyak pejabat yang melakukan rapat di luar daerah dan meminta pekerja-pekerja mulai aktif ke kantor. “Pejabat publik harusnya menyadari bahwa situasi masih belum terkendali,” katanya. “Kesannya sudah seperti normal. Sense of crisis, kepekaannya, sudah enggak ada. [Membuktikan] ketidakpahaman peran mereka dalam mengendalikan pandemi. Berbahaya kalau dibiarkan terus seperti ini.”

Satgas, dalam konteks ini, harusnya tak hanya menyampaikan pembaruan data, akan tetapi juga memberikan komunikasi risiko dengan benar. Menyampaikan data baik segi positif dan negatif sehingga semua orang dapat memahami dan memiliki kepekaan yang sama: bahwa pandemi sama sekali belum terkendali.

“[Kalau ada yang mengatakan terkendali] itu tidak ada dasar argumen yang valid. Data yang berbicara dan kalau melihat data di Indonesia harus dilihat per tiga hari atau sepekan karena memang kapasitas tesnya sedikit,” katanya.

Masih sangat buruknya situasi COVID-19 di Indonesia juga dinyatakan oleh PandemicTalks, sebuah inisiatif yang didirikan untuk mengisi gap informasi ke masyarakat terkait COVID-19. Pada pertengahan Oktober lalu mereka menyebut klaim yang menyatakan bahwa penanganan pandemi membaik hanyalah “ilusi” belaka. Muhammad Kamil, salah satu inisiator PandemicTalks, menyebut klaim itu ilusi karena salah satunya data yang disajikan ke masyarakat bias. “Ini bukan representasi dari kondisi sesungguhnya,” katanya.

Wiku Adisasmito menjelaskan ada 9 aksi strategis yang terus dilakukan pemerintah untuk menangani pandemi. Dari mulai koordinasi, perencanaan, dan pemantauan; komunikasi risiko dan pelibatan masyarakat; surveilans tim gerak cepat dan investigasi kasus; hingga memberikan dukungan operasional dan logistik ke seluruh daerah. Selain itu, ia juga menekankan agar seluruh elemen bergotong-royong dalam menangani pandemi, dari pemerintah, media, swasta, akademisi, hingga masyarakat luas.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino