tirto.id - Salah satu lini bisnis tertua di dunia itu sampai juga di Ibu Kota Nusantara (IKN): prostitusi. Desas-desus terkait menjamurnya “bisnis lendir” di kawasan sekitar bakal ibu kota Indonesia tersebut memang tengah ramai dibicarakan sepekan belakangan. Bahkan, ia sudah menarik atensi menteri dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta.
Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar, salah satunya. Cak Imin menyatakan bahwa pihaknya akan segera mengecek langsung lokasi IKN yang terletak di wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan sebagian kecil wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, itu.
"Waduh gawat-gawat. Kok bisa gawat begitu. Wah, ini harus dicek," kata Cak Imin di Kompleks MPR/DPR RI, Senin (7/7/2025) lalu.
Imbas isu prostitusi ini, Kepala Otorita IKN (OIKN), Basuki Hadimuljono, ikut kena getahnya karena dipanggil menghadap DPR di Senayan. Mantan Menteri PUPR itu dicecar duduk persoalan menjamurnya praktik prostitusi di wilayah kelolaannya.
Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, misalnya, menekankan kepada Basuki bahwa isu terkait “pramusaji kenikmatan” di sekitar IKN penting dibahas agar para istri aparatur negara yang tinggal di sana tidak khawatir.
“Kalau sudah bermasalah sama istri, sempit dunia itu, Pak. Pengaruhnya apa? Terhadap produktivitas kinerja. Nah, ini tidak hanya urusan masalah degradasi moral dan sosial saja, Pak. Tapi, ini berdampak kepada produktivitas kerja,” ucap Khozin saat rapat bersama OIKN di Ruang Rapat Komisi II DPR RI, Jakarta, Selasa (8/7/2025).
Melihat OIKN belum memiliki kewenangan dalam penertiban, Khozin meminta Basuki untuk berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) soal kewenangan tersebut. Tujuannya agar pihak OIKN dapat melakukan pemantauan tak hanya pada siang hari, tetapi juga di malam hari.
Merespons Khozin, Basuki meluruskan bahwa informasi terkait maraknya prostitusi di IKN adalah berita lama yang kembali diramaikan. Dia mengklaim saat ini, sudah tidak ada fenomena tersebut dan mengaku sudah menyelesaikan masalahnya.

Basuki menyatakan bahwa pihaknya bersama aparat penegak hukum (APH) telah merobohkan delapan warung remang-remang di kawasan IKN saat bulan Ramadan lalu.
“Itu sekarang sudah sama sekali tidak ada. Bukan sama sekali tidak ada, tapi sudah tidak ada,” kata Basuki menanggapi DPR.
Ditemui usai rapat, Basuki menjelaskan bahwa banyaknya praktik prostitusi tersebut bukan di IKN, melainkan di beberapa daerah seperti di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara. Basuki mengatakan jarak dari Sepaku ke IKN sekitar 3 kilometer.
Basuki memastikan, sejauh yang dia tahu, pekerja atau ASN OIKN tidak ada yang terlibat dalam aktivitas itu. Hanya saja, eks Menteri PUPR era Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, ini tetap tidak dapat memastikan seluruh pekerjanya betul-betul bersih dari kegiatan itu.
“Itu di Sepaku, 3 kilometer di Sepaku [dari IKN]. Pernah ke sana belum? Nah, jadi memang bukan di IKN-nya bos. Kalau di IKN-nya enggak ada,” ujar Basuki.
Sebagaimana dilansir Antara, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Penajam Paser Utara menertibkan puluhan perempuan yang diduga sebagai pramunikmat di sekitar wilayah IKN dalam operasi penertiban hingga Juni 2025.
Dari keterangan yang didapat dari mereka, praktik prostitusi kebanyakan dilakukan secara daring menggunakan aplikasi media sosial. Pelaku prostitusi tersebut menyewa kamar penginapan dengan tarif Rp300 ribu per malam dan harga “bermain” mulai dari Rp300 ribu-Rp700 ribu.
Para pekerja seks komersial di sekitar IKN itu diidentifikasi berasal dari Samarinda, Balikpapan, Bandung, Makassar, dan Yogyakarta. Setelah dilakukan pembinaan, pelaku prostitusi yang berasal dari luar daerah diminta meninggalkan wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dalam waktu dua hingga tiga hari.
Sinyal Awal Persoalan Sosial
Pengamat Tata Kota, M. Azis Muslim, menilai fenomena ini adalah sinyal awal dari persoalan sosial yang dapat berkembang jika tidak segera ditangani secara serius. Menurut Azis, pertumbuhan IKN sebagai calon pusat pemerintahan diiringi pesatnya pembangunan telah menarik gelombang pendatang dari berbagai daerah.
Banyak di antara mereka datang dengan harapan mengubah nasib dengan memanfaatkan peluang ekonomi yang terbuka. Namun, lonjakan populasi tanpa pengelolaan sosial yang memadai justru berpotensi menciptakan ketidakseimbangan, termasuk munculnya aktivitas-aktivitas menyimpang.
“Sekarang mungkin baru dihuni sebagian ASN, tapi ketika nanti fungsinya mencapai 50 hingga 100 persen, bayangkan seberapa besar potensi masalah sosial yang akan muncul,” ujar Azis kepada wartawan Tirto, Rabu (9/7/2025).
Azis menjelaskan bahwa prostitusi bukan hanya persoalan moral, tetapi juga terkait dengan dinamika ekonomi dan ketimpangan sosial. Bahkan, ada potensi masyarakat lokal yang tak ikut diberdayakan seiring pembangunan IKN turut terdorong untuk mengambil jalan pintas demi bertahan hidup atau mengejar keuntungan cepat dari kehadiran IKN.

Selain penegakan hukum, Azis menekankan pentingnya pemberdayaan melalui pendidikan, pelatihan keterampilan, serta rekayasa sosial. Masyarakat lokal dan adat pun diharapkan tidak cuma dijadikan penonton pembangunan IKN, tetapi aktif menjadi bagian dari perubahan.
Azis juga mengingatkan pemerintah dan Otorita IKN harus segera membangun sistem pengawasan yang efektif agar dinamika sosial di wilayah baru ini tidak berkembang tanpa arah. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kesiapan masyarakat menghadapi transformasi sosial yang masif di calon ibu kota baru.
“Partisipasi dan pemberdayaan menjadi mutlak. Kalau tidak, mereka bisa saja menjadi korban perubahan itu sendiri,” terang Azis.
Sementara itu, peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, memandang prostitusi di IKN tumbuh subur sebab beberapa faktor struktural dan sosial yang berkelindan. Pertama, pembangunan IKN membawa masuk ribuan pekerja, kontraktor, dan aparat dari luar daerah dalam waktu yang singkat. Arus migrasi besar ini, terutama dari kelompok pekerja laki-laki usia produktif tanpa jaringan sosial yang mapan, menciptakan permintaan terhadap layanan hiburan dan seksual.
Selanjutnya, sebagian perantau atau transmigran yang datang tanpa bekal ekonomi kuat atau pekerjaan tetap rentan terdorong masuk ke sektor informal yang eksploitatif, termasuk prostitusi. Dalam kondisi ketidakpastian ekonomi disertai ketiadaan perlindungan sosial, praktik ini menjadi semacam “mekanisme bertahan hidup”.
“Fenomena ini bukan unik di IKN. Banyak kota baru atau kawasan industri besar di berbagai negara juga mengalami hal serupa ketika pembangunan fisik tidak dibarengi dengan perencanaan sosial dan pengawasan moral serta hukum yang memadai,” terang Wawan kepada wartawan Tirto, Rabu (9/7/2025).
Respons dengan Pendekatan HAM
Menurut Wawan, transmigrasi tanpa regulasi sosial yang kuat memang menjadi salah satu pemicu suburnya praktik prostitusi. Namun, pemerintah mesti menghindari pendekatan semata-mata represif atau moralis dalam menangani fenomena prostitusi.
Justru, kata Wawan, pendekatan yang berbasis hak asasi manusia (HAM) dan keadilan sosial lebih tepat diterapkan. Misal, menyediakan alternatif ekonomi seperti pelatihan kerja, akses modal mikro, dan pekerjaan layak bagi perempuan dan kelompok miskin kota.
Praktik ilegal seperti prostitusi, perdagangan orang, judi ilegal, hingga narkotika amat rentan berkembang di kota-kota yang mengalami pertumbuhan cepat. Inilah yang terjadi bila pembangunan fisik tidak diiringi dengan regulasi sosial dan hukum yang tanggap. Fenomena ini disebut sebagai efek pertumbuhan tanpa kontrol sosial.
Jika tidak diantisipasi sejak awal, kota baru seperti IKN bisa mereproduksi pola kegagalan sosial yang selama ini terjadi di kota-kota besar lain, seperti Jakarta atau Surabaya.
Maka negara tak boleh mengabaikan peran masyarakat lokal dan adat dalam rencana pembangunan IKN. Integrasi mereka bukan sekadar soal representasi, tetapi bagian dari prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan pembangunan.
Masyarakat lokal menyimpan pengetahuan ekologis, nilai-nilai budaya, dan struktur sosial yang bisa menjadi fondasi kuat bagi kota yang ingin tumbuh tidak sekadar megah, tetapi juga berakar.
“Ketika masyarakat adat dan lokal dilibatkan secara aktif dalam proses perencanaan, tata ruang, hingga pengambilan keputusan, maka IKN dapat menjadi model kota masa depan yang tidak hanya modern, tetapi juga berkeadilan dan inklusif,” terang Wawan.

Sementara itu, peneliti sosial dari The Indonesian Institute (TII), Made Natasya Restu Dewi Pratiwi, menekankan bahwa ketidaksiapan akses pendidikan, lapangan kerja, pelatihan kerja, dan proteksi sosial akan membatasi pilihan perantau dan masyarakat lokal yang berusaha memperbaiki ekonominya di IKN. Dengan demikian, prostitusi tampak menjadi pilihan yang diambil untuk menghadapi tekanan ekonomi bagi kelompok rentan ini.
Senada dengan dua ahli sebelumya, Nastasya menyarankan pemerintah merespons fenomena ini dengan mengedepankan pendekatan hak asasi manusia dan berbasis kebutuhan bagi korban eksploitasi. Tujuannya agar penindakan kasus ini tidak didominasi oleh orientasi menghukum atau malah memberikan sanksi sosial bagi korban. Pasalnya, yang terpenting adalah berupaya memberikan keadilan serta rehabilitasi sosial korban industri prostitusi.
“Pembangunan IKN harus mengedepankan keadilan sosial, pemberdayaan, dan proteksi sosial yang memadai, bukan hanya semata-mata fokus pada pembangunan fisik,” tutur Natasya kepada wartawan Tirto.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id


































