tirto.id - Sejumlah warga menggugat proses seleksi anggota KPI Pusat periode 2016-2019 ke Mahkamah Konsitusi. Mereka menilai menilai proses seleksi Anggota KPI dinilai mengancam demokrasi dan kemerdekaan pers.
“Hal ini sangat membahayakan fungsi pers sebagai watchdog dan pilar ke-empat demokrasi," kata Fajar A. Isnugroho setelah menyampaikan berkas gugatannya ke Mahkamah Konstitusi, Senin (18/7/2016) siang.
Selain Fajar, warga yang menggugat antara lain Alem Febri Sonni (Warga Makassar, Sulsel), Achmad Zamzami (Aktivis Muda NU), Arie Andyka (Praktisi Hukum), dan Majelis Sinergi Kalam (MASIKA) Ikatan Cendikiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah Sulawesi Selatan, diwakili oleh Muh. Ashry Sallatu, SIP, Msi.
Fajar menyebutkan proses seleksi KPI yang diserahkan oleh DPR kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk membentuk panitia seleksi (pansel) rawan pelanggaran undang-undang. Selain itu, juga dinilai mengancam posisi KPI sebagai lembaga negara independen.
Di sisi lain, kata Fajar, dominasi pemerintah dalam seleksi anggota KPI berpotensi menghasilkan pengawas penyiaran terkooptasi oleh kepentingan kekuasaan. Apalagi saat ini ada lembaga penyiaran milik pemimpin partai yang berkoalisi dengan pemerintah.
Fajar menambahkan pansel dinilai telah melanggar Undang undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 61 (2) dengan melakukan penafsiran yang berbeda dan bertentangan dengan UUD 1945. Di dalam Pasal 61 (2) UU Penyiaran, disebutkan keterlibatan pemerintah dalam menentukan calon Anggota KPI dilakukan hanya pada saat pertama kali dibentuk.
Selain itu, tambah Fajar, dalam pasal 10 (1) UU Penyiaran, telah disebutkan mengenai persyaratan mengenai Calon Anggota KPI Pusat bahwa syarat calon anggota KPI Pusat tidak dibatasi oleh usia serta didukung oleh usulan masyarakat.
Kendati demikian, sebut Fajar, pansel KPI melakukan tafsir berbeda dengan mensyaratkan usia minimal 30 tahun dan tidak menjadikan persyaratan usulan masyarakat dalam proses seleksi.
Hal ini, kata Fajar, sangat diskriminatif terhadap warga negara karena tidak memiliki dasar hukum jelas sebagaimana yang diatur Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 bahwa pembatasan hak asasi seseorang hanya dapat dilakukan dengan undang-undang.
Melalui gugatan tersebut pemohon mengajukan permohonan kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk memberikan tafsir yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan melarang adanya tafsir berbeda terhadap Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 61 ayat (2) UU Penyiaran.
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH