tirto.id - Kenaikan harga Pertamax Series membuat disparitas nilai jual BBM jenis ini dengan Premium semakin lebar. Setelah naik, harga Pertamax kini terpaut sekitar Rp4000-an dari nilai jual Premium.
Menteri ESDM Ignasius Jonan sempat mengumumkan harga Premium akan naik menjadi Rp6.900-Rp7000. Namun, kenaikan itu batal. Pertamina maupun Kementerian BUMN mengklaim pembatalan dilakukan karena mempertimbangkan daya beli masyarakat dan risiko dampaknya ke inflasi.
Harga bensin termurah itu pun masih Rp6.550 per liter untuk wilayah Jawa, Madura, dan Bali (Jamali). Untuk luar Jamali, harga Premium Rp6.450 per liter. Sementara Pertalite, yang merupakan "jembatan" antara Premium dan Pertamax, harganya tetap Rp7.800-Rp8.150.
Sedangkan harga baru Pertamax, yang mengalami kenaikan selain di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Sulawesi Tengah, saat ini berada pada kisaran Rp10.400 sampai Rp10.800 per liter. Harga baru Pertamax Turbo: Rp12.250 hingga Rp15.750 per liter.
Disparitas harga seperti ini memunculkan kemungkinan semakin banyak konsumen memilih Premium. Akan tetapi, berdasar info yang dikumpulkan Tirto dari sejumlah konsumen, bensin RON 88 itu selama ini susah ditemui di banyak SPBU pada sejumlah kota di Pulau Jawa, termasuk Jakarta.
Setelah Perpres Nomor 43 tahun 2018 terbit, pemerintah sebenarnya sudah menugaskan PT Pertamina (Persero) mendistribusikan Premium di Jawa, Madura dan Bali (Jamali) sejak Juni lalu. Sebelumnya, Pertamina cuma mendapat penugasan penyaluran Premium di luar wilayah Jamali.
Turunan Perpres 43/2018 adalah Kepmen ESDM Nomor 1851 K/15/MEM/2018 dan Surat Keputusan Kepala BPH Migas Nomor 18/P3JBKP/BPH MIGAS/KOM/2018.
Beleid terakhir memberi tugas kepada Pertamina untuk menyalurkan Premium pada 2.090 SPBU di wilayah Jamali. BPH Migas meminta penyaluran Premium di 2.090 SPBU terealisasi paling lambat 15 Juni 2018. Dari 2.090 SPBU itu, 571 di antaranya semula tidak lagi menjual Premium. Setelah ada penugasan dari BPH Migas, 571 SPBU itu harus kembali menjual Premium mulai Juni lalu.
Keluhan Konsumen dan Dalih Pertamina
Sejumlah konsumen mengeluh sulit mencari Premium di daerahnya. Keluhan itu datang dari berbagai kota, padahal di daerah-daerah itu banyak beroperasi SPBU yang menyalurkan bensin dari Pertamina.
Misalnya, warga Kota Semarang, Jawa Tengah, Kukuh (25) mengaku masih sesekali mencari Premium meski susah didapatkan. Belakangan, ia tahu ada SPBU menjual Premium, tapi di hari tertentu saja.
"Di SPBU Pucang Gading [Kota Semarang] masih ada Premium, tapi sekarang dikuotain [dibatasi], seminggu sekali, Senin kalau enggak Selasa [dijual]," ujar Kukuh saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (11/10/2018).
Berdasar data Kementerian ESDM (PDF), ada 63 SPBU di Kota Semarang yang menjual BBM dari Pertamina. Empat SPBU di antaranya milik PT Pertamina Retail atau SPBU COCO. Sisanya dimiliki swasta. Data resmi lainnya (PDF) mencatat, ada 13 SPBU yang harus kembali menjual Premium di Kota Semarang sejak Juni lalu.
Konsumen lain di Kota Salatiga, Jawa Tengah, Asty (25) mengaku menemukan SPBU yang melakukan pembatasan serupa. "Di Salatiga susah dapat Premium, cuma ada di beberapa SPBU. Ayah saya pernah tanya di salah satu SPBU, ternyata Premium hanya ada pada Senin atau Kamis," ujar Asty.
Jika melihat data Kementerian ESDM, tercatat ada delapan SPBU penyalur bensin dari Pertamina di Salatiga dan merupakan milik swasta.
Seorang warga di Kota Depok, Jawa Barat, Osa (25) juga kesulitan saat berusaha mencari Premium di sejumlah SPBU. Ia mencari Premium sebab tempatnya bekerja hanya menerima klaim pengeluaran untuk bensin murah ini. "Hampir semua sepanjang [jalan] Margonda susah. Awal tahun [2018] masih agak gampang, 3 bulan terakhir sudah langka [di Depok]," ujar Osa.
Di Kota Depok, sebenarnya terdapat 43 SPBU penyalur BBM dari Pertamina, sesuai data Kementerian ESDM. Dua unit di antaranya adalah SPBU milik Pertamina Retail.
Kesulitan mencari Premium juga dialami konsumen di Jakarta. Nico (25), misalnya, mengaku sering susah mendapatkan bensin RON 88 itu karena banyak SPBU tidak menjualnya. Nico kerap memilih Premium ketika antrean untuk membeli bensin jenis ini tidak terlalu panjang di SPBU.
"Di Jakarta agak jarang saya menemukan SPBU yang jual Premium. Kayaknya SPBU di Rasuna Said, Kuningan sudah enggak ada Premium. Beberapa kali ke SPBU Rasuna Said, yang dijual Pertalite dan Pertamax doang. Mungkin stoknya dikurangi," ujar Nico.
Merujuk data Kementerian ESDM, Pertamina Retail memiliki setidaknya 25 SPBU di seluruh wilayah DKI Jakarta. Salah satunya beralamat di Jalan Rasuna Said. Sedangkan jumlah SPBU penyalur BBM dari Pertamina di ibu kota, yang sebagian besar milik swasta, totalnya 280-an unit.
Di Yogyakarta, pengelola SPBU COCO Pertamina Adisucipto mengaku memang tak lagi menjual Premium sejak 10 bulan terakhir. Hal ini disampaikan Kepala SPBU COCO Pertamina Adisucipto, Ruben Situmeang kepada reporter Tirto di Yogyakarta.
Dia beralasan SPBU itu berlokasi di kawasan strategis dan daya beli para warga di sekitarnya cukup tinggi sehingga Premium tidak lagi perlu dijual. "Memang masyarakat sendiri itu sekarang carinya Pertalite," kata Ruben, Rabu lalu.
Selain itu, kata Ruben, keputusan untuk tidak lagi menjual Premium didasari tujuan mendorong banyak konsumen beralih ke Pertalite. Dia berdalih hal ini sesuai instruksi Pertamina. Meski pemerintah sudah menugaskan penyaluran Premium, kata Ruben, penjualannya tetap perlu didasari tingkat permintaan.
"Ada beberapa skala prioritas bagi SPBU yang menjual Premium. […] Seperti daerahnya jauh atau di pesisir sehingga permintaan Premium masih tinggi. Kalau SPBU di kota, rata-rata pindah ke Pertalite. Tapi, pada dasarnya kami mengikuti pusat. Kalau harus menjual Premium, kami siap," kata Ruben.
Saat dikonfirmasi oleh Tirto soal keluhan konsumen, External Communication Manager PT Pertamina, Arya Dwi Paramita membantah stok maupun waktu penjualan Premium di SPBU-SPBU penyalurnya dibatasi. Dia pun mengklaim mayoritas konsumen di beberapa daerah sudah beralih ke Pertalite.
"Pada umumnya, konsumen sudah mulai cerdas memilih bahan bakar untuk kendaraannya, karena menyesuaikan dengan rekomendasi pabrikan mesin. Sehingga kami tentu lebih banyak menyediakan produk yang diminati," kata Arya pada Kamis (11/10/2018).
Pertamina Harus Dorong Peralihan ke Pertalite Tanpa Batasi Premium
Pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Muda (UGM), Fahmy Radhi mengamati jumlah peminat Premium masih tinggi, apalagi disparitas harga Pertalite dan Premium masih jauh. "Realita yang ada seperti itu, sehingga impor Premium itu paling besar," kata Fahmy.
Dia mencatat saat Pertamina pertama kali meluncurkan Pertalite dengan harga tidak jauh dari Premium, banyak orang beralih membeli BBM RON 90 itu secara sukarela. Namun, peralihan ini terhambat saat harga Pertalite dinaikkan dan berjarak lumayan jauh dari nilai jual Premium.
Pertamina selama ini diduga terbebani oleh tugas penyaluran Premium sebab harus menanggung selisih antara nilai jual Premium dan harga keekonomiannya. Ditambah lagi, harga minyak dunia sedang menanjak dan kurs rupiah melemah terhadap dolar AS. Sedangkan, laba Pertamina pun masih di bawah Rp5 triliun pada semester I/2018. Angka itu masih jauh dari target laba bersih Rp32 triliun di 2018.
Kondisi itu tentu membuat kebutuhan mendorong konsumen beralih ke Pertalite semakin tinggi. Meski demikian, menurut Fahmy, Pertamina tetap harus menjalan tugasnya menyediakan Premium di seluruh wilayah Indonesia. "Pihak Pertamina melanggar mestinya ada sanksinya, kalau terbukti," kata Fahmy.
Dia berpendapat upaya mendorong peralihan ke Pertalite dengan membatasi penjualan Premium pada sejumlah SPBU tidak bisa dibenarkan. "Karena pada prinsipnya, peralihan dari Premium ke Pertalite atau Pertamax harus dilakukan secara sukarela oleh konsumen," kata Fahmy.
Untuk mendorong peralihan ke Pertalite dan Pertamax, Fahmy menyarankan Pertamina memakai cara-cara kreatif. "Saya apresiasi Pertamina kemarin menggunakan marketing approch dengan memberikan hadiah mobil ke konsumen BBM, seperti Pertamax. Itu mendorong konsumen [beralih]," ujarnya.
Dia juga mengakui kenaikan harga Premium bisa mendorong konsumen lebih memilih Pertalite atau Pertamax mengingat disparitas harga menjadi lebih kecil. Namun, Fahmy mengingatkan kenaikan harga Premium berisiko serius karena akan mengerek inflasi dan memperlemah daya beli masyarakat.
"Kalau harga bahan-bahan pokok naik, bebannya yang paling berat menerima adalah rakyat kecil. […] Ada risiko perubahan makro yang harus dihadapi [jika harga Premium naik]," ujar Fahmy.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Addi M Idhom