tirto.id - Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menyerahkan persoalan kenaikan harga BBM jenis Premium kepada pemerintah. Menurut Nicke, Pertamina sebagai korporasi hanya mengikuti apa yang ditetapkan regulator.
“Ketika keputusannya tidak naik, ya kami jalankan. Jadi ini bukan masalah siap tidak siap,” kata Nicke saat ditemui di Inaya Hotel Nusa Dua, Bali pada Kamis (11/10/2018).
Nicke menyebut penyesuaian harga Premium memang membutuhkan sejumlah persiapan dan pertimbangan. Ia mengatakan bahwa sebagai BBM khusus penugasan, ada prosedur tertentu yang dilakukan sebelum akhirnya menetapkan kenaikan harga, misalnya melalui rapat koordinasi antara sejumlah menteri di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Salah satu variabel yang dipertimbangkan dalam menaikkan harga Premium ialah terkait dengan kemampuan daya beli masyarakat. Nicke mengklaim Pertamina telah melakukan survei dan menemukan fakta bahwa pelanggan Premium mayoritas adalah konsumen dengan daya beli terbatas.
“Saat rapat terbatas sekalipun, kami menyampaikan hasil kajian berdasarkan data BPS [Badan Pusat Statistik] dan penjualan kami. Kami turut menyampaikan pandangan dari Pertamina,” ungkap Nicke.
Saat disinggung mengenai batalnya kenaikan harga Premium, Nicke tidak secara tegas membantah apabila sebelum pengumuman Pertamina tak diberitahu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan.
Nicke berdalih bahwa sebelum pengumuman, ia sempat bertemu Jonan dan menyampaikan perlu adanya pengaturan sebelum harga resmi dinaikkan.
“Memang kami perlu waktu. Tidak bisa begitu diumumkan langsung efektif, semua itu harus ada mekanismenya,” ucap Nicke.
“Sehingga memang ditetapkan naik, tapi pemberlakuannya disesuaikan dengan kesiapan Pertamina. Ketika ada keputusan lain dengan beberapa pertimbangan, tentu itu adalah kewenangan regulator,” tambahnya.
Saat disinggung mengenai kondisi keuangan Pertamina saat harga Premium batal naik, Nicke enggan menjawabnya. Ia juga tidak menyebutkan angka saat ditanya mengenai harga keekonomian Premium saat ini.
“Yang pasti hari ini Premium tidak naik, dan itu yang terpenting. Kita tidak perlu lagi bahas ke sana kemari,” ujar Nicke.
Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan harga bensin saat dolar terus menguat dan minyak dunia menunjukkan tren naik, memang cukup berisiko. Ini mengingat kebutuhan konsumsi bensin dalam negeri lebih dari separuhnya dipenuhi dari impor yang berpengaruh pada defisit neraca perdagangan migas.
Berdasarkan data BP Statistical Review of World Energy 2018, konsumsi minyakdalam negeri meningkat tajam, dari 1,56 juta barel per hari (bph) pada 2015 menjadi 1,65 juta bph pada 2017. Sementara produksi minyak dalam negeri berdasarkan data SKK Migas, tercatat hanya 786 ribu bph pada 2015 menjadi 801 rubu bph di tahun 2017.
Artinya, saat rupiah terdepresiasi (melemah) di tengah harga minyak mentah dunia yang tinggi, maka keuangan Pertamina akan terbebani. Hal ini pernah diakui Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada 6 September 2018.
"Di semester I/2018 enggak sampai Rp5 triliun [laba bersih], jadi jauhlah dengan prognosanya. Ini kan berubah terus ICP [acuan harga minyak mentah Indonesia], kursnya juga berubah," kata Fajar.
Harga minyak mentah dunia yang tinggi, kata Fajar, menjadi salah satu faktor penyebab laba Pertamina sangat tipis di semester I/2018. Akan tetapi, kata Fajar, ada kemungkinan perubahan laba Pertamina dalam RKAP 2018 dengan memasukkan tambahan subsidi BBM jenis Solar kepada Pertamina maksimal Rp2 ribu per liter.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Dipna Videlia Putsanra