Menuju konten utama

Maju Mundur Kenaikan Harga BBM Premium, Mengapa Pemerintah Ragu?

Pembatalan pengumuman kenaikan harga Premium menunjukkan ada pembahasan belum tuntas, terlebih alasan batalnya tak jelas.

Maju Mundur Kenaikan Harga BBM Premium, Mengapa Pemerintah Ragu?
Sejumlah warga mengantre untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Coco Adisucipto, Yogyakarta, Rabu (10/10/2018). tirto.id/Irwan A. Syambudi

tirto.id - Kenaikan harga BBM nyaris terjadi dua kali pada Rabu, 10 Oktober 2018. Kenaikan kedua yang terkait harga premium, tiba-tiba dicabut sekitar satu jam usai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan menyampaikannya kepada media.

Semula, PT Pertamina (Persero) mengumumkan harga Pertamax Series, Dex Series dan Biosolar Non Public Service Obligation (Non PSO) dinaikkan mulai pukul 11.00 WIB, Rabu kemarin. Harga baru untuk sejumlah jenis BBM nonsubsidi tersebut berlaku di seluruh wilayah Indonesia, kecuali 2 provinsi yang belum lama ini didera bencana: Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Sulawesi Tengah.

"Penyesuaian harga BBM jenis Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite, Pertamina Dex, dan Biosolar Non PSO merupakan dampak dari harga minyak mentah dunia yang terus meningkat. Saat ini, harga minyak dunia rata-rata tembus di level 80 dolar AS per barel," kata External Communication Manager PT Pertamina (Persero), Arya Dwi Paramita dalam keterangan tertulisnya, kemarin.

Angka persis kenaikan harga bervariasi di sejumlah daerah. Sekadar contoh, di DKI Jakarta, harga Pertamax naik menjadi Rp10.400/liter (sebelumnya Rp9.500 per liter). Sementara harga Pertamax Turbo yang baru adalah Rp12.250 per liter (semula Rp10.700 per liter).

Ada pun harga Pertamina Dex berubah menjadi Rp11.850/liter (sebelumnya Rp10.500 per liter). Untuk harga Dexlite yang baru ialah Rp10.500/liter (sebelumnya Rp9.000 per liter). Harga Biosolar Non PSO juga naik menjadi Rp9.800/liter (semula Rp7.700/liter).

Pengumuman Pertamina itu memastikan untuk harga BBM nonsubsidi jenis Pertalite belum dinaikkan. Daftar lengkap rincian harga BBM terbaru berdasar data resmi Pertamina bisa dilihat di sini.

Beberapa jam usai pengumuman dari Pertamina muncul, giliran Menteri ESDM Ignasius Jonan menyatakan kepada media bahwa harga Premium juga dinaikkan. Jonan menyatakan harga Premium naik sekitar 7 persen. Kenaikan ini berlaku pada 2.500 SPBU di seluruh Indonesia.

Di wilayah Jamali (Jawa, Madura, Bali), harga Premium naik dari Rp6.550 per liter menjadi Rp7.000 per liter. Untuk luar wilayah Jamali, harga premium menjadi Rp6.900 per liter (semula Rp6.450 per liter).

"Sesuai arahan Bapak Presiden [Joko Widodo] bahwa Premium mulai hari ini, paling cepat pukul 18.00 WIB, disesuaikan harganya," kata Jonan dalam konferensi pers di Sofitel Hotel Nusa Dua, Bali pada Rabu sore (10/10/2018).

Berdasarkan evaluasi setiap tiga bulan yang dilakukan pemerintah, menurut dia, kenaikan sebesar 7 persen itu masih mempertimbangkan daya beli masyarakat. Ia pun mengaku sempat berbicara dengan Dirut Pertamina Nicke Widyawati mengenai harga baru Premium ini.

Alasan kenaikan itu juga karena harga minyak mentah dunia yang melonjak. "Kalau kita lihat kenaikan harga minyak mentah Brent dari awal tahun sampai sekarang, kira-kira 30 persen. Lalu kalau ICP [Minyak Mentah Indonesia], naiknya hampir 25 persen," ujar Jonan.

Akan tetapi, berselang sekitar sejam setelah Jonan berbicara kepada media, pengumuman tentang harga baru Premium itu diralat. Melalui pesan singkatnya kepada wartawan, Staf Khusus Menteri ESDM Hadi Juraid menyatakan rencana kenaikan harga Premium ditunda. Menurut Hadi, rencana itu akan dibahas ulang sembari menunggu kesiapan Pertamina.

"Sesuai arahan Bapak Presiden, rencana kenaikan harga Premium di Jamali menjadi Rp7.000,00 dan di luar Jamali menjadi Rp6.900,00, agar ditunda," kata Hadi.

Setelah itu, pada Rabu malam, Kementerian BUMN memastikan harga premium batal naik per 10 Oktober 2018. Pembatalan itu disampaikan Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno.

Fajar mengaku mendapat tugas dari Menteri BUMN Rini Soemarno untuk menyampaikan pembatalan itu. Ia mengklaim Menteri Rini baru mengetahui rencana kenaikan harga Premium dari pernyataan Jonan di Rabu sore.

"Kemudian Bu Menteri meng-kroscek dengan Pertamina dan menyampaikan bahwa tidak siap untuk melakukan dua kali kenaikan dalam satu hari," kata Fajar di Nusa Dua, Bali.

Menurut Fajar, kenaikan harga Premium perlu dibahas terlebih dahulu dalam rapat koordinasi yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Namun, dia tidak menjelaskan secara gamblang persoalan koordinasi antar-kementerian yang menyebabkan pengumuman itu dibatalkan.

Pilihan Sempit Pemerintah di Urusan Harga BBM

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai pembatalan pengumuman harga baru Premium mengindikasikan ada pembahasan yang belum tuntas di internal pemerintah. Apalagi, info soal penyebab pengumuman itu dibatalkan juga belum jelas.

"Apakah karena persoalan teknisnya? Atau karena pertimbangan dampaknya ke inflasi? Itu masih belum dijelaskan pemerintah," kata Komaidi saat dihubungi Tirto, Rabu malam (10/10/2018).

Pada sisi lain, dia berpendapat, pemerintah tak memiliki banyak pilihan jangka pendek untuk menyiasati penguatan dolar AS dan tren kenaikan harga minyak dunia. Kurs dolar AS sudah menembus level Rp15.200 dan harga minyak mentah di pasar dunia kini sudah di kisaran 84 dolar per barel.

Harga BBM nonsubsidi di bawah nilai keekonomian tentu akan membuat keuangan Pertamina memburuk. Komaidi menilai kenaikan harga Pertamax Series, Dex Series dan Biosolar Non PSO akan meringankan beban keuangan Pertamina. Meski begitu, berdasar hitungannya, nilai jual baru itu masih lebih rendah sekitar Rp300-an dari harga keekonomian.

"Dengan harga naik, juga akan ada penyesuaian dari konsumen, konsumsi BBM [nonsubsidi] pun bisa berkurang," ujar Komaidi.

Sebagai catatan, kebutuhan BBM sekitar 1,6 juta barel per hari selama ini hampir separuhnya dipenuhi melalui impor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor migas pada Januari-Agustus 2018 mencapai USD19,76 miliar sehingga defisit neraca perdagangan migas di periode ini sebesar $8,35 miliar. Defisit itu hampir 2 kali lipat dari surplus ekspor non-migas. Akibatnya, neraca perdagangan Indonesia Januari-Agustus 2018 mengalami defisit $4,26 miliar.

Upaya pemerintah untuk menekan laju impor migas, seperti melalui kebijakan B20, pun diprediksi tidak berdampak signifikan dalam waktu dekat.

Komaidi juga melihat ada kemungkinan kenaikan harga Pertamax memicu sebagian konsumen beralih ke Pertalite. Namun, potensi jumlahnya tidak terlampau besar sebab sebagian pengguna Pertamax adalah konsumen loyal. Selain itu, kata dia, ada potensi sebagian konsumen BBM dengan RON di atas 90 bergeser memilih produk dari kompetitor Pertamina.

Migrasi serupa berpeluang terjadi pada konsumen Premium jika harga BBM ini naik menjadi Rp6.900-7.000. Sebab, disparitas harga Premium dan Pertalite makin menipis dan ada kecenderungan sebagian konsumen memilih BBM dengan kualitas lebih baik. Ini tentu bisa meringankan Pertamina yang selama ini menanggung selisih harga keekonomian Premium dan harga jualnya.

Namun, dia pesimistis kenaikan harga premium membuka peluang penurunan drastis konsumsi BBM jenis ini dan berujung pada peluang penghapusan bensin RON 88 tersebut. Sebab, konsumsi Premium melonjak lagi setelah Perpres 43/2018 yang menugaskan Pertamina kembali menyalurkan BBM ini ke wilayah Jamali.

Dia mencatat, konsumsi premium menurun ke posisi 7 juta kilo liter pada 2017 tapi kembali membengkak hingga mendekati 12 juta kilo liter pada tahun ini. Kondisi ini menunjukkan ketergantungan konsumen terhadap Premium masih tinggi.

Sementara itu, pakar ekonomi energi UGM Fahmy Radhi berpendapat harga sejumlah BBM non-subsidi memang sudah saatnya naik agar harga jual dari Pertamina setara dengan harga keekonomian saat ini. Akan tetapi, Fahmy menilai harga Premium belum mendesak untuk dinaikkan.

"Sebaiknya harga Premium tidak naik sebelum harga minyak dunia mencapai 100 dolar AS per barel," kata dia.

Selain itu, kata Fahmy, kenaikan harga Premium pada saat ini berisiko mengerek inflasi sekaligus membuat daya beli masyarakat menengah ke bawah melemah. Menurut Fahmy, dua hal itu berpeluang terjadi karena sektor distribusi selama ini masih mengandalkan BBM jenis Premium dan Solar.

Dia pun menduga alasan tersebut membuat pemerintah menunda kenaikan harga Premium. Apalagi, pemerintah pernah menyatakan harga Premium tidak akan naik sampai tahun 2019.

Baca juga artikel terkait BBM atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Damianus Andreas & Addi M Idhom
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Mufti Sholih