tirto.id - Negosiasi tarif resiprokal antara perwakilan Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) belum juga membuahkan hasil.
Potensi gagalnya negosiasi tarif dagang ini pun membuat Menteri Keuangan, Sri Mulyani, was-was akan dampak yang mungkin ditimbulkan dari penerapan tarif perdagangan tinggi oleh Presiden AS Donald Trump tersebut.
Apalagi, dari sekian banyak negara yang bernegosiasi untuk meringankan penerapan tarif perdagangan, baru Inggris yang berhasil mencapai kesepakatan dengan Trump karena syarat yang ditawarkan dianggap ‘lengkap dan komprehensif’.
Padahal, batas waktu penundaan penerapan tarif resiprokal ini akan segera berakhir pada awal Juli mendatang.
“Ini yang menimbulkan ketidakpastian karena deadline mengenai 90 hari, yaitu pada bulan Juli nanti sudah makin mendekati,” kata Sri Mulyani, dalam Konferensi Pers APBN Kita Juni 2025, di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (17/6/2025).
Kemungkinan gagalnya negosiasi Indonesia dan hampir 60 negara lainnya dinilai akan menambah gejolak geopolitik, keamanan dan perdagangan antarnegara, termasuk di Amerika Serikat sendiri.
Pasalnya, kebijakan tarif dagang ini pun diperkirakan akan menambah defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) AS lebih dari 10 triliun dolar AS dalam 10 tahun ke depan.
“Ini menyebabkan sentimen terhadap kebijakan fiskal dari negara-negara maju, terutama Amerika Serikat menjadi relatif negatif. Dan ini mempengaruhi nanti persepsi terhadap risiko fiskal. Sehingga, mempengaruhi yield (obligasi) atau suku bunga yang terjadi di Amerika Serikat dari sisi US President,” tambah Ani, sapaan Sri Mulyani.
Kombinasi dari ketidakpastian perdagangan global ditambah dengan berbagai kebijakan fiskal, utamanya dari negara-negara maju, serta kondisi geopolitik dan keamanan yang semakin menegang diperkirakan akan membuat harga bermacam-macam komoditas bergejolak dan rantai pasok (supply chain) tersendat.
“Ini semuanya menghasilkan dua risiko yang immediate,” katanya was-was.
Risiko pertama, harga berbagai macam komoditas seperti minyak mentah akan cenderung mengalami kenaikan yang didorong oleh disrupsi geopolitik dan keamanan global. Namun di sisi lain, dari sisi perekonomian global akan cenderung melemah karena adanya kombinasi dari kenaikan harga komoditas dan ketidakpastian kebijakan perdagangan global.
“Kedua, hal ini menyebabkan dampak kepada seluruh dunia, termasuk Indonesia. Ini akan juga menggerakkan nilai tukar dan juga suku bunga global,” papar Ani.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana