Menuju konten utama
Byte

Popularitas NFT Meredup, tapi Ia Tetap Hidup

NFT lahir sebagai inovasi paling mutakhir di era teknologi. Popularitasnya melonjak drastis saat pandemi. Tapi, ia juga dengan cepat meredup, hingga kini.

Popularitas NFT Meredup, tapi Ia Tetap Hidup
Ilustrasi NFT (non-fungible token). FOTO/iStockphoto

tirto.id - Tahunnya adalah 2021 dan ketika itu pandemi COVID-19 melanda. Orang-orang memang sudah mulai bisa bepergian dan beraktivitas, tetapi pergerakan masih begitu dibatasi. Tak jarang ada verboden yang diterapkan secara swakarsa. Belum lagi jika kita bicara razia yang senantiasa muncul di perbatasan antarkota.

Di tengah keterbatasan gerak di dunia nyata itu, dunia maya begitu menggeliat. Konsumsi digital meningkat pesat, mulai dari film sampai gim video. Percakapan paling banyak terjadi di media sosial. Belanja dilakukan lewat lokapasar digital. Sampai akhirnya, investasi mata uang dan token digital pun turut memuncak.

Di tengah ketidakpastian ekonomi kala itu, berinvestasi di koin kripto seperti Bitcoin, Ethereum, bahkan koin meme seperti Dogecoin sempat memberi harapan karena nilainya yang meroket cepat dan bisa memberi keuntungan besar secara instan. Pesatnya pertumbuhan transaksi kripto, yang berarti meningkatnya pengetahuan publik tentang hal itu, pada akhirnya juga berimbas pada melejitnya popularitas Non-Fungible Token alias NFT.

Kelahiran NFT dan Tumbuh Kembangnya

NFT bukan koin kripto. Koin kripto pada dasarnya adalah uang yang hanya tersedia secara digital. Fungsinya sama persis dengan uang konvensional yang kita gunakan sehari-hari, yaitu sebagai alat tukar. Sementara itu, NFT adalah sertifikat digital yang memvalidasi kepemilikan seseorang atas suatu benda. Kira-kira seperti itu.

Sejarah NFT bermula pada 2014 ketika Kevin McCoy dan Anil Dash menciptakan Quantum, karya seni digital pertama yang direkam di blockchain Namecoin sebagai eksperimen atas sertifikat kepemilikan digital. Konsep ini kemudian berkembang seiring eksperimen-eksperimen lain, seperti Colored Coins dan Counterparty, di jaringan Bitcoin, yang mencoba memperluas fungsi blockchain lebih dari sekadar alat tukar mata uang.

ilustrasi NFT

ilustrasi NFT. publik domain picture/mohamed mahmoud hassan

Namun, batu loncatan NFT baru benar-benar muncul ketika Ethereum memperkenalkan ERC-721 pada 2017. Ini adalah sebuah protokol yang memungkinkan pembuatan dan pengelolaan aset digital unik di atas blockchain. Dari sinilah NFT menemukan bentuknya yang paling dikenal sekarang.

Pada tahun sama, ada satu gim video bernama CryptoKitties yang, saking populernya, sempat membuat jaringan Ethereum macet. Dalam gim tersebut, pemain bisa membeli, memelihara, serta memperjualbelikan kucing digital yang masing-masing sudah ditandai dengan identitas unik.

Meski begitu, setelah kemunculan CryptoKitties yang sempat meledak, pasar NFT sempat mengalami kelesuan. Menurut riset yang dipimpin pakar blockchain Matthieu Nadini, sejak 2018 hingga pertengahan 2020, nilai transaksi NFT relatif stagnan di kisaran 60 ribu dolar AS per hari. Angka ini terbilang kecil jika dibandingkan aktivitas di pasar koin kripto. Bitcoin saja ketika itu nilai transaksinya bisa mencapai 3 miliar dolar AS per hari.

Baru ketika pandemi melanda, NFT mengalami kebangkitan. Menurut laporan NonFungible.com dan L’Atelier BNP Paribas, nilai transaksi NFT melonjak hampir 300 persen dalam setahun, dari sekitar 62,9 juta dolar AS (2019) menjadi lebih dari 250 juta dolar AS (2020). Jumlah dompet digital aktif, pembeli, dan penjual, meningkat pesat.

Tren tersebut segera berubah menjadi fenomena budaya. Di Indonesia, sempat ada NFT bernama Ghozali Everyday yang laku hingga Rp1,5 miliar. Sementara itu, di level global, muncul karya seperti Everydays: The First 5000 Days karya Beeple yang terjual hingga 69 juta dolar AS di Balai Lelang Christie’s, serta koleksi-koleksi lain, seperti CryptoPunks dan Bored Ape Yacht Club.

Platform OpenSea dan Rarible menjadi pasar utama bagi para seniman digital yang ingin menjual karya langsung kepada kolektor, tanpa perantara galeri atau kurator. Popularitas ini turut dikipasi oleh sejumlah selebritas papan atas, mulai dari Snoop Dogg hingga Tom Brady, yang ikut-ikutan bermain NFT. Mereka tak cuma membeli dan mengoleksi, tetapi juga merilis karya sendiri.

Perpaduan segala faktor itu membuat NFT mencapai puncak popularitas pada 2021. Bahkan, kala itu banyak seniman digital yang kaya mendadak. Salah satunya Monica Rizzolli dengan harta kekayaan pernah bertambah 5,4 juta dolar AS hanya dalam waktu 48 menit. Ini terjadi setelah dia berhasil menjual 1.024 hasil karyanya di platform bernama Art Blocks.

Selain seniman-seniman kecil seperti Rizzolli, entitas raksasa macam NBA juga berhasil mengumpulkan banyak uang dari hasil menjual NFT berupa trading card. Kala itu, koleksi NBA Top Shot berhasil menghasilkan uang hingga 720 juta dolar AS. Hasil karya NFT pun pada akhirnya turut dipamerkan di ruang pameran dunia nyata. Salah satunya Balai Lelang Christie's, tempat NFT milik Beeple terjual dengan harga fantastis.

Pameran NFT digital art di Jakarta

Pengunjung mengamati karya dalam pameran bertajuk Non-Fungible Token (NFT) digital art di NFTone Gallery, Jakarta, Rabu (24/5/2023). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/nym.

Lenyap dengan Cepat

Namun, kehebohan NFT pun dengan cepat memudar pada 2022. Menurut laporan Newsweek, penjualan NFT anjlok tajam, dari lebih dari 117 ribu penjualan pada Agustus 2021 menjadi sekitar 23 ribu per bulan setahun kemudian. Profesor Amy Whitaker mengatakan, penurunan drastis penjualan NFT itu, salah satunya, disebabkan oleh kemunculan tren baru bernama artificial intelligence alias AI.

Kolumnis The Guardian, Joel Golby, berpendapat berbeda. Menurutnya, pembelian NFT secara masif, ketika tiap pembeli kemudian masuk ke sebuah server Discord, merupakan upaya menjalin kontak di tengah isolasi. Pada 2022, seiring melandainya pandemi, kebutuhan akan interaksi sosial itu pun sudah bisa dipenuhi dengan, well, kembali beraktivitas secara normal seperti sediakala.

Adapun, menurut Nicolai Sondergaard dari Nansen Research, dalam wawancara dengan Yahoo Finance UK, yang membuat NFT jatuh sebenarnya adalah perilaku pasar itu sendiri. Alih-alih dimanfaatkan untuk kemajuan atau pengembangan seni atau inovasi kreatif, NFT diperlakukan layaknya lotre digital. Banyak orang membeli NFT bukan karena memahami teknologinya, melainkan karena takut tertinggal alias FoMO (Fear Of Missing Out).

Ketika euforia itu mereda, pasar yang sebelumnya begitu ramai pun tiba-tiba melompong. Sebagai gambaran, 96 persen koleksi NFT kini sudah dinyatakan "mati". Artinya, koleksi-koleksi tersebut tidak lagi menunjukkan aktivitas jual beli maupun interaksi komunitas. Padahal, dua tahun (sekitar 2023), yang dinyatakan mati baru sekitar 30 persen.

Tak cuma itu, jumlah volume perdagangan mingguan saat ini hanya menyentuh angka 90 juta dolar AS, berbeda jauh dibandingkan nilai miliaran pada masa jayanya.

Lantas, apakah saat ini NFT sudah benar-benar tidak berguna?

Tunggu dulu. Meskipun hype-nya sudah lama berakhir, teknologi ini masih eksis. Bahkan, bisa dikatakan NFT kini telah kembali ke fungsi aslinya, yakni sebagai bukti otentik kepemilikan seseorang terhadap sesuatu, mulai dari barang mewah, karya seni, keanggotaan di komunitas, sampai layanan eksklusif. Kini, nilai NFT tidak lagi terletak pada gambarnya, tetapi pada hak dan manfaat yang melekat di dalamnya.

Di industri gaming, NFT juga berperan krusial. Gim seperti Illuvium, Star Atlas, dan Shrapnel, sangat bergantung pada NFT. Tokennya berfungsi sebagai karakter, perlengkapan, atau lahan yang dapat diperjualbelikan di pasar digital. Fungsi lain yang kini juga dipegang NFT adalah pengganti barcode dalam sistem ticketing acara, bahkan sebagai identitas digital.

Dengan kata lain, NFT kini sedang mengalami evolusi. Fase euforia telah ditinggalkan dan kini ia memasuki fase utilitas, ketika fungsi lebih penting dibandingkan popularitas sekilas dan prestise. Boleh jadi, dengan perannya yang sekarang, NFT bisa jauh lebih berkembang tanpa direcoki kehebohan yang, bisa dikatakan, justru kontraproduktif terhadap perkembangannya.

Baca juga artikel terkait INOVASI TEKNOLOGI atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Byte
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin