Menuju konten utama

NFT: Antara Menolong Seniman atau Pendongkrak Bitcoin Semata

NFT dianggap menolong seniman dengan mencatatkan rekor penjualan. Namun, ada pula anggapan lain bahwa itu sekadar memopulerkan Bitcoin semata.

NFT: Antara Menolong Seniman atau Pendongkrak Bitcoin Semata
Ilustrasi NFT. foto/IStockphoto

tirto.id - "Sebagai seorang jurnalis, saya tentu memiliki pengalaman aneh," tutur Kevin Roose, kolumnis teknologi The New York Times dan penulis buku Futureproof: 9 Rules for Humans in the Age of Automation (2021). "Tapi," lanjut Roose, "segala pengalaman aneh yang saya alami sebagai jurnalis tak ada apa-apanya dibandingkan pengalaman saya menonton orang asing yang bersaing menghabiskan ratusan ribu dolar untuk gambar dari kata-kata yang saya tulis."

Gambar yang dia maksud adalah NFT atau Non-Fungible Token dari artikel berjudul "Buy This Column on the Blockchain!" yang terbit di The Times pada 24 Maret 2021. Dilelang dengan harga pembuka sebesar 0,5 ether atau setara Rp11 juta (kini setara Rp20,3 juta), gambar tersebut akhirnya terjual dengan harga 350 ether atau setara dengan Rp618 juta (kini setara Rp14,2 miliar) usai ditawar 30 kali. Pemenangnya adalah sosok misterius asal Dubai, Uni Emirat Arab, pemilik akun Twitter dan Instagram @3fmusic.

"Ini aneh tapi nyata," Roose kebingungan. "Ngapain, sih, orang-orang ngeluarin duit seharga Lamborghini kelas atas untuk membeli gambar dari kata-kata saya?"

Jiannan Ouyan, kolektor NFT yang gagal membeli "Buy This Column on the Blockchain!" karena hanya menawar 290 ether (kini setara dengan Rp11,8 miliar) punya jawaban atas pertanyaan tersebut. Gambar dari kata-kata Roose itu, katanya, "merefleksikan pemikiran kami tentang bagaimana teknologi NFT akan mengubah masa depan industri media."

Benarkah?

Bitcoin

Negara telah berusaha mengumpulkan segala catatan tentang rakyatnya jauh sebelum internet lahir. Masalahnya, laku hidup orang-orang dan infrastruktur yang ada tidak memungkinkan otoritas menjaring informasi sebanyak mungkin. Upaya ini baru mungkin terjadi ketika internet akhirnya muncul di tengah masyarakat, ditandai dengan kemunculan World Wide Web (WWW) pada 1993.

Cypherpunks, kelompok yang menggaungkan penggunaan kriptografi, mendeteksi sinyal berbahaya dari tren terbaru ini. Menurut mereka WWW mengancam privasi. Maka, dipelopori oleh ahli Matematika University of California Berkeley bernama Eric Hughes, Cypherpunks merilis The Cypherpunk Manifesto pada 1993. Isinya tegas belaka, yaitu menyatakan bahwa "privasi sangat diperlukan bagi masyarakat di era elektronik."

Sejak Manifesto diikrarkan, selain bermunculan upaya mengedukasi masyarakat tentang pentingnya privasi di dunia digital, juga banyak usaha "menghilangkan" jejak publik agar tak terdeteksi negara. Salah satunya datang dari pegiat teknologi asal California Institute of Technology dan Florida Atlantic University.

Mereka berinisiatif membuat DigiCash alias CRASH. Ini adalah uang digital pertama yang memiliki visi menihilkan catatan transaksi keuangan masyarakat di perbankan/institusi keuangan.

Nahas, karena CRASH bertindak selayaknya dompet digital (seperti Gopay, OVO, dan sejenisnya), mereka tahu betul transaksi penggunanya. Karenanya, CRASH akhirnya benar-benar crash 'hancur', tak diminati masyarakat.

Sepuluh tahun usai CRASH bangkrut, sosok (atau kelompok?) misterius yang menamakan diri Satoshi Nakamoto melahirkan uang digital Bitcoin disertai white paper bertajuk Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System. Ini adalah upaya untuk merespons kekecewaan terhadap krisis ekonomi global 2007-2008 serta mengantisipasi kian masifnya upaya negara memata-matai masyarakat (termasuk transaksi keuangan mereka) menggunakan teknologi.

Bitcoin hadir dengan Blockchain sebagai teknologi penopangnya. Blockchain benar-benar dapat menihilkan ketergantungan terhadap pihak ketiga dalam bertransaksi. Ini dapat terjadi karena, alih-alih menggunakan peladen terpusat, Blockchain mendelegasikan pemrosesan transaksi ke banyak komputer--milik pengguna--alias terdesentralisasi. Sementara untuk memvalidasi bitcoin milik seseorang, Blockchain memanfaatkan public dan private key.

Semenjak Bitcoin (dan Blockchain) lahir, banyak mata uang digital lain lahir.

Kelahiran Bitcoin dan terutama Blockchain tak hanya berhasil menihilkan ketergantungan terhadap pihak ketiga (bank/institusi keuangan) dalam bertransaksi. Melalui Blockchain, sebagaimana dipaparkan Antony Lewis dalam buku The Basics of Bitcoins and Blockchains: An Introduction to Cryptocurrencies and The Technology That Powers Them (2018), masalah paling klasik di dunia digital, yakni penentuan orisinalitas dokumen, dalam kadar tertentu dapat diatasi.

(Satu contoh kasus soal orisinalitas dalam dunia digital: Ketika Anda membuat dokumen berekstensi docx dan mengirimnya pada seseorang, maka file tersebut berlipat ganda, satu di komputer Anda dan satu lagi di komputer penerima. Pihak di luar pengirim dan penerima akan sulit menentukan mana yang asli).

NFT

Mampu mengatasi soal orisinalitas membuat seorang seniman asal New York bernama Kevin McCoy yakin Blockchain dapat dimanfaatkan untuk menjual konten-konten digital (karya seni digital) tanpa melalui perantara seperti iTunes. Bekerja sama dengan ahli kriptografi bernama Anil Dash, McCoy kemudian menciptakan "Monetized Graphic", suatu sertifikat digital (token) di alam Blockchain yang dimanfaatkan untuk menyatakan bahwa, misalnya, gambar "Buy This Column on the Blockchain!" dari artikel yang di-screenshot pada laman The New York Times tertanggal 24 Maret 2021 memang milik seseorang di balik akun @3fmusic.

Tapi bukan Monetized Graphic yang memopulerkan pemanfaatan Blockchain sebagai medium jual-beli karya seni digital (atau benda digital apa pun). Itu dilakukan oleh dua programmer asal Brooklyn, Matt Hall dan John Watkinson, lewat NFT yang diciptakan pada 2017. Mereka awalnya menjual CryptoPunk atau gambar yang dibuat secara otomatis memanfaatkan token.

Setelah itu NFT menggeliat tak karuan. Dibuktikan dengan terjualnya "Buy This Column on the Blockchain!" seharga Rp14,2 miliar. Lalu ada pula gambar berjudul "The Merge" yang terjual seharga Rp1,3 triliun; "Everydays – The First 5000 Days" seharga Rp992 miliar; "Human One" seharga Rp416,4 miliar; hingga "Ghozali Everyday" seharga lebih dari Rp14 miliar.

Banyaknya karya seni digital yang terjual dengan harga "wah" membuat para seniman kegirangan dan juga menggiring masyarakat berbondong-bondong turut serta.

Namun keraguan pun menggeliat. Ini terjadi karena, meskipun dinarasikan menjual barang digital, NFT sesungguhnya hanya memperjualbelikan dokumen digital yang memuat, misalnya, gambar A yang berada di link B dibuat oleh C kini dimiliki oleh D. Melalui NFT, sebagaimana ditegaskan Donnie Dinch, Chief Executive Officer (CEO) Bitski, salah satu marketplace NFT, "pembeli sesungguhnya tidak memiliki apa pun dari benda yang dibeli."

Ini berbeda, misalnya, dengan pemilik lukisan fisik Monalisa yang dapat melakukan apa pun terhadap karya tersebut (bahkan menghancurkannya).

Terlebih, dipaparkan Logan Kugler dalam studi berjudul "Non-Fungible Tokens and the Future of Art" (Communications of the ACM Vol. 64 2021) serta "Fertile LAND: Pricing non-fungible tokens" (Finance Research Letters 2021) yang ditulis Michael Dowling, ada hubungan yang manis antara menggeliatnya NFT dengan pelbagai mata uang digital. Diduga, gairah NFT sengaja diciptakan untuk membuat masyarakat melirik dan akhirnya menggunakan mata uang digital. Ia bukan untuk benar-benar menolong para seniman yang tidak memiliki tempat memperjualbelikan karya mereka.

Baca juga artikel terkait NFT atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Rio Apinino