tirto.id - Majalah TIME telah mengadopsi aset kripto sebagai salah satu cara untuk mengembangkan bisnis. Mereka menyimpan aset bernama ether (ETH) sejak pertengahan November lalu dan ke depan akan menjalankan sejumlah program terkait lain.
Perusahaan media yang berbasis di New York City Amerika Serikat ini tampaknya tidak main-main dalam mengulik ekosistem cryptocurrency. Jauh sebelum mengumumkan mengadopsi aset kripto, TIME terlebih dulu tes ombak dengan mencetak ulang sejumlah sampul legendaris dalam bentuk Non Fungible Token (NFT). Majalah berita terkemuka ini juga menjadikan aset kripto sebagai salah satu alat pembayaran untuk berlangganan sejak April.
Dengan semua langkah ini, TIME menyusul AFP sebagai perusahaan media mainstream yang masuk dalam ruang kripto.
Terlepas dari bagaimana hasilnya, kebijakan media massa berusia 98 tahun ini patut menjadi perhatian bagi perusahaan media lain dan juga para peneliti. Manuver TIME menjadi sebuah alarm bahwa perusahaan media saat ini harus memutar otak untuk menemukan pola bisnis baru. Pola bisnis baru penting sebab saat ini banyak yang terjebak dengan skema atau algoritma platform digital yang tentunya tidak baik bagi jurnalisme dan demokrasi sebab mengutamakan kuantitas alih-alih kualitas konten.
Lalu, bagaimana bisnis media dapat terkoneksi dengan ruang cryptocurrency yang pada prinsipnya menawarkan sistem nilai dan ekonomi yang terdesentralisasi?
Jurnalisme dalam Bingkai Desentralisasi
Kasus TIME sebetulnya masih sangat abstrak. Mereka belum secara jelas memberi contoh bagaimana media bisa berjalan di dalam ekosistem cryptocurrency; belum tampak sebagai pola bisnis yang bisa diadopsi. TIME pun belum secara radikal mengubah infrastruktur digitalnya untuk benar-benar terkoneksi dengan blockchain.
Namun apa yang mereka lakukan setidaknya memberikan wawasan dan bisa jadi jalan alternatif bagi pengembangan pola bisnis media ke depan.
Permasalahan bisnis media saat ini adalah bahwa perusahaan tidak bisa bersaing secara sehat dengan platform digital yang menguasai jagat internet--memonopoli pendistribusian nilai ekonomi di dunia digital: Facebook dan Google. Wakil Ketua I Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Suwarjono pernah mengatakan dalam sebuah forum Oktober lalu bahwa 80% kue iklan masuk pada dua platform tersebut. Sisanya baru masuk ke media daring, yang jumlahnya sangat banyak itu.
Masalah ini juga dikeluhkan oleh sejumlah pengusaha media online di negara lain. Pemerintah Australia dan Prancis bahkan sampai merasa perlu untuk merancang undang-undang dan juga menggugat Facebook dan Google karena dianggap telah memonopoli pasar digital, yang menjadikan media-media lokal semakin terhimpit.
Monopoli ini lantas memicu sejumlah pemerhati blockchain dan peneliti media di kampus-kampus dan komunitas untuk mencari bentuk model bisnis yang bisa digunakan dengan konsep desentralisasi.
Sudah ada beberapa jurnal atau penelitian yang terbit membahas masalah ini, salah satunya adalah artikel Bernat Ivancsics berjudul "Blockchain in Journalism". Peneliti The Data Science Institute Columbia University ini menyebut tiga fungsi blockchain bagi industri media: (1) Solusi bagi penyimpanan database yang bisa diverifikasi serta diaudit; (2) Model bisnis memanfaatkan cryptocurrency; (3) Solusi untuk penyimpanan data agar tidak mudah dikuasai pihak lain yang bertujuan menyensor.
Tiga fungsi ini bukan konsep yang hanya tercetak di kertas. Fungsi antisensor telah dicoba dan berhasil.
Aktivis prodemokrasi Hong Kong sempat melokalisasi lebih dari 4.000 artikel dari koran Apple Daily yang diberedel pemerintah ke jaringan blockchain, platform terdesentralisasi ARweave. Saat media tersebut ditutup dan seluruh asetnya dibekukan, arsip sudah berada di tempat aman dan masih bisa dipublikasikan menggunakan jaringan blockchain.
Karena mendistribusikan aset menggunakan konsep peer to peer, sifat jaringan ini tak memerlukan otoritas atau pihak terpusat. Semua berjalan secara mandiri di atas protokol komputer sehingga muskil untuk mengubah atau mengintervensi setiap data tanpa adanya konsensus yang telah terjalin dalam jaringan. Inilah salah satu keunggulan blockchain dalam mengamankan data (aset digital).
Model Bisnis Media dalam Cryptocurrency
Hal yang tak kalah penting dari teknologi blockchain bagi jurnalisme adalah manfaat ekonomi.
Tujuan blockchain sebagai antitesis sistem keuangan atau ekonomi terpusat nampaknya bukan isapan jempol belaka. Di semua jaringan blockchain publik yang berada di seluruh dunia telah terjadi perputaran ekonomi sebesar 2,3 triliun dolar AS per 9 Desember. Angka ini telah melonjak drastis. Di awal 2020, total kapitalisasi pasar kripto masih berada di angka 250 miliar dolar AS. Hal ini membuktikan ekosistem blockchain telah menghadirkan lanskap baru perekonomian.
Memang, tak bisa dinafikan banyak yang menjadikan ekosistem ini untuk tujuan jahat: dari mulai pencucian uang, transaksi pasar gelap, hingga perjudian. Namun pemanfaatan untuk tujuan positif pun tak semestinya dipandang sebelah mata.
Dalam sektor industri media, blockchain sangat memungkinkan menciptakan sebuah model bisnis baru. Hal yang paling sederhana adalah apa yang sedang dilakukan TIME saat ini: menggunakan aset kripto sebagai alat untuk berlangganan produk atau menjual arsip sampul yang mengandung nilai sejarah ke pasar NFT.
Untuk model pertama tampaknya sulit untuk diterapkan di semua negara, termasuk Indonesia. Pemerintah Indonesia tidak mengenal istilah cryptocurrency (mata uang kripto) melainkan aset kripto. Pengistilahan ini berimplikasi pada pelarangan aset digital sebagai alat tukar. Itu juga mengapa keberadaanya diawasi oleh Kementerian Perdagangan melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
Ada cara lain bagi perusahaan media menjalankan bisnis di jaringan blockchain. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan cryptocurrency sebagai bukti kepemilikan perusahaan. Pola ini bisa melibatkan seluruh stakeholder, baik itu karyawan, pekerja lepas, hingga pembaca atau komunitas. Konsepnya mirip seperti koperasi.
Pola ini telah dilakukan oleh startup media bernama Civil. Mereka menyewa jaringan blockchain Ethereum untuk menciptakan token atau cryptocurrency yang ditujukan pada tata kelola media tersebut. Token tersebut bisa digunakan oleh pembaca sebagai bukti bahwa mereka berlangganan produk media tersebut sekaligus sebagai bukti kepemilikan saham. Bahkan bisa menjadi alat apresiasi pembaca pada jurnalis yang membuat laporan yang dinilai bermanfaat.
Pola tersebut pun sangat mungkin memunculkan praktik kolaborasi antarmedia. Jadi, sejumlah media berkonsolidasi untuk menciptakan platform bersama dan menciptakan token atau cryptocurrency. Di tahap awal sekutu perusahaan media tersebut menjual token perdana ke publik--atau Initial Public Offering (IPO) dalam istilah pasar saham. Dengan penjualan tersebut sekutu media bisa mengumpulkan modal untuk menjalankan bisnis ke depan.
Cara ini dilakukan oleh hampir seluruh proyek atau platform yang membutuhkan modal awal untuk menjalankan bisnis di atas jaringan blockchain. Sebagai contoh, sebuah perusahaan real estat di Miami AS menggunakan sistem ini untuk membangun apartemen. Dengan pola ini perusahaan berhasil mengumpulkan pembelian atau modal dengan cara yang lebih praktis karena semua pembelian tercatat di jaringan blockchain secara otomatis dan akuntabel.
Model seperti ini sekarang kian menjadi pola investasi yang jauh memikat dan tentunya lebih adil juga transparan. Dan yang lebih penting, bagi komunitas media, cara ini bisa membentuk kemandirian ekonomi yang melibatkan seluruh karyawan hingga ke pembaca dan pendukung jurnalisme bermutu.
Selain bisa menghidupi media, model ini pun memberi kesempatan kepada siapa pun pemegang token untuk mengakumulasikan modalnya (manfaat investasi).
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.