tirto.id - TTP, anggota polisi berpangkat brigadir kehilangan pekerjaannya di Direktorat Pengamanan Obyek Vital (Ditpamobvit) Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Oleh institusinya ia dinilai telah melanggar kode etik Polri lantaran terbukti memiliki orientasi seksual terhadap sesama jenis.
Menurut Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo menjadi seorang homo melanggar Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002: “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.”
Dedi mengatakan masih menjadi hal yang dinilai tabu oleh agama dan tidak diakui secara yuridis oleh negara. “Sehingga hal tersebut tersirat bahwa anggota Polri tidak boleh LGBT dan memiliki 'kelainan' atau 'disorientasi seksual',” ujar Dedi.
Selain itu, dia melanjutkan, anggota Polri terikat dan wajib menaati Kode Etik Profesi Kepolisian seperti diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011, Pasal 7 ayat (1) poin b yang berbunyi: “anggota Polri wajib menjaga dan meningkatkan citra, soliditas, kredibilitas, reputasi dan kehormatan Polri.”
Pada Pasal 11, kata Dedi, juga disebutkan bahwa anggota Polri wajib menaati, menghormati norma kesusilaan, norma agama, nilai-nilai kearifan lokal dan norma hukum.
“Sesuai ketentuan pada Pasal 20 dan 21, perihal sanksi hukuman dan tindakan, bagi anggota Polri yang melanggar [ketentuan di Perkapolri 14/2011] dapat diberikan sanksi dan hukuman berupa rekomendasi PTDH,” ujar Dedi.
Dikecam
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengecam pemecatan terhadap TTP jika yang dijadikan dasar keputusan adalah perbedaan orientasi seksual. Asfinawati menekankan bahwa dasar tindakan kepolisian adalah hukum, bukan norma keagamaan ataupun norma kesusilaan.
“Kita bukan negara agama, jadi polisi tidak menegakkan norma keagamaan. Karena kalau begitu, orang yang tidak sholat bisa dipecat dong, atau orang yang tidak ke gereja pada hari Minggu bisa dipecat. Karena itu melanggar norma agama, betul gak?” tanya Asfinawati retoris kepada reporter Tirto saat dihubungi pada Sabtu (18/5/2019).
Asfinawati juga melihat apa yang dilakukan polisi merupakan bentuk homofobia dan diskriminasi. Pasalnya, perbedaan orientasi seksual tidaklah melanggar hukum, ataupun menimbulkan kerugian.
Selain itu, dalam pasal yang sama sebagaimana yang dijadikan argumen oleh polisi untuk memecat, juga mengatur polisi untuk, “menjunjung tinggi hak asasi manusia”. “Pertanyaannya, mengapa banyak polisi yang melakukan penyiksaan dan itu bertentangan dengan norma HAM tidak dipecat? Kan berarti alasan ini mengada-ngada dan double standard,” tegas Asfinawati.
Asfinawati memaparkan bagaimana terkait YLBHI yang menunjukan banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan kepolisian, khususnya terhadap tahanan penjara, hingga yang berakhir pada kematian.
“Kami memiliki data-data di mana kepolisian melakukan tindak kekerasan hingga kematian dan dibiarkan, tidak dipecat. Ini tindakan diskriminasi dan homofobia dan menurut saya, kemudian polisi mengacaukan negara hukum dengan alasan-alasan itu,” ungkap Asfinawati.
Potensi Diskriminasi Meluas
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara menilai alasan pemecatan polisi karena orientasi seksualnya bisa memiliki sejumlah dampak. Dampak paling dekat, adalah apa yang dirasakan oleh TTP. Ia didiskriminasi dengan orientasi seksualnya sehingga ia kehilangan haknya sebagai masyarakat untuk memiliki pekerjaan.
“Setiap orang berhak mendapatkan pekerjaan. Sepanjang dia tidak melakukan hal-hal yang merendahkan martabat Kepolisian, seharusnya nggak ada masalah sama orientasi seksual” kata Anggara kepada reporter Tirto pada Sabtu (18/5/2019).
Anggara juga meilhat sebenarnya apa yang dilakukan oleh kepolisian menjadi kontradiksi terhadap citra yang justru dibangunnya. Citra yang terus diungkapkan oleh kepolisian adalah tugasnya untuk “melindungi dan melayani”.
“Kalau semisal kasus seperti ini dia mau pecat seseorang karena perbedaan orientasi seksual, nah, bagaimana dia mau melindungi masyarakat, sementara di dalam saja dia tidak mampu untuk melindungi orang-orang yang punya perbedaan orientasi seksual terhadap hak paling dasar karena hak atas pekerjaan kan juga hak paling dasar,” jelas Anggara.
“Dan itu tidak boleh diperlakukan diskriminasi, tidak ada urusannya dengan warna kulit, agama, ras, orientasi seksual, itu kan tidak ada,” tambahnya.
Anggara juga mengatakan kasus pemecatan karena alasan orientasi seksual yang bertentangan dengan norma justru melahirkan tekanan baru bagi polisi lain yang memiliki perbedaan orientasi seksual. Lebih jauh lagi, jelas Anggara, moral-moral yang berujung pada diskriminasi, sebagaimana yang dibangun dalam kasus pemecatan tersebut, dapat berdampak ke ranah yang lebih luas, yakni kasus tersebut malah dijadikan rujukan oleh instansi lainnya.
“Di luar sana, mungkin akan terjadi alienasi juga terhadap teman-teman dengan orientasi seksual yang berbeda. Jadi punya alasan untuk [pemecatan],” ujarnya.
Namun di sisi lain, Anggara menilai bahwa kasus ini juga bisa berdampak positif, jika respons dari pimpinan lembaganya pun akan terbuka pandangannya dalam melihat masalah ini.
“Misalnya, pimpinan terbuka dia akan bilang bahwa yang seperti ini tidak akan didiamkan begitu saja. Artinya, ia mengatakan orientasi seksual tidak menghalangi orang untuk mendapatkan pekerjaan,” pungkasnya.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Jay Akbar