tirto.id - Seorang polisi berinisial TTP mengugat Polda Jawa Tengah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang. Gugatan itu mempermasalahkan keputusan pemberian sanksi Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH) kepada TTP yang didasari alasan karena ia melakukan 'perbuatan tercela'.
Kuasa hukum TTP, Maruf Bajammal menyatakan gugatan ke PTUN diajukan karena pemecatan itu berkaitan dengan orientasi seksual kliennya.
“[Sanksi] PTDH itu akan menjadi preseden buruk, karena telah mengingkari hak bebas diskriminasi dan hak atas perlindungan dari perlakuan diskriminatif,” kata Maruf saat dihubungi reporter Tirto pada Jumat (17/5/2019).
Secara konstitusional, menurut dia, mandat yang diberikan ke Polri ialah mengayomi masyarakat dan bukan menghakimi orientasi seksual.
“Bagaimana dengan masyarakat yang butuh perlindungan hukum? Kami khawatir jika masyarakat mengadukan persoalan hukumnya lalu timbul diskriminasi atas orientasi seksual seseorang,” ujar Maruf.
Dia menambahkan gugatan ini juga upaya mengoreksi keputusan kepolisian agar di kemudian hari instansi tersebut lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya.
Maruf mengatakan gugatan kliennya diajukan ke PTUN pada 26 Maret 2019. Gugatan itu menuntut pembatalan Surat Keputusan Kapolda Jateng tentang pemecatan TTP bertanggal 27 Desember 2018.
“Sudah sidang beberapa kali dan masuk ke agenda pokok perkara terakhir,” kata dia.
Agenda sidang perkara ini telah memasuki tahap penyampaian replik dari penggugat pada 16 Mei kemarin. PTUN Semarang mengagendakan sidang berikutnya pada 23 Mei mendatang.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Pol Agus Triatmadja membenarkan sanksi untuk TTP ialah Pemecatan Tidak dengan Hormat (PTDH) sebagai anggota Polri.
“Kami menjatuhkan sanksi [karena] perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela,” kata Agus ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis kemarin.
Menurut dia, kasus TTP ditangani oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Jateng. Polisi itu dinilai melanggar Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Pasal 11 huruf c Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri.
“Berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan unit Propam, yang bersangkutan melakukan banding atas putusan yang diberikan, namun ditolak pada saat proses sidang banding,” ucap Agus.
Sedangkan Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengklaim sanksi PTDH kepada TTP dijatuhkan karena ia melakukan tindakan desersi sekaligus 'pelecehan seksual'.
“Desersi dahulu baru tambahan pelanggaran 'pelecehan seksual' terhadap 2 orang. [Sanksi] Polda setempat [diputuskan] melalui mekanisme sidang secara transparan, adil dan sesuai ketentuan secara komprehensif,” kata Dedi.
Dia menegaskan setiap anggota Polri wajib patuh dan taat terhadap Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002.
Ketentuan itu berbunyi: “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.”
Terkait dengan norma agama dan kesopanan, kata Dedi, LGBT masih menjadi hal yang dinilai tabu oleh agama dan tidak diakui secara yuridis oleh negara.
“Sehingga hal tersebut tersirat bahwa anggota Polri tidak boleh LGBT dan memiliki 'kelainan' atau 'disorientasi seksual',” ujar Dedi.
Selain itu, dia melanjutkan, anggota Polri terikat dan wajib menaati Kode Etik Profesi Kepolisian seperti diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011, Pasal 7 ayat (1) poin b yang berbunyi: “anggota Polri wajib menjaga dan meningkatkan citra, soliditas, kredibilitas, reputasi dan kehormatan Polri.”
Pada Pasal 11, kata Dedi, juga disebutkan bahwa anggota Polri wajib menaati, menghormati norma kesusilaan, norma agama, nilai-nilai kearifan lokal dan norma hukum.
“Sesuai ketentuan pada Pasal 20 dan 21, perihal sanksi hukuman dan tindakan, bagi anggota Polri yang melanggar [ketentuan di Perkapolri 14/2011] dapat diberikan sanksi dan hukuman berupa rekomendasi PTDH,” ujar Dedi.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Addi M Idhom