tirto.id - Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Gerindra, Sodik Mudjahid, mengingatkan Presiden Joko Widodo tak boleh menabrak prinsip dan ketentuan hierarki regulasi. Salah satunya adalah Pasal 170 dalam RUU Cipta Kerja, sebelumnya RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) yang memungkinkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengubah Undang-Undang (UU). Padahal, dalam hierarkinya, PP ada di bawah UU.
"UU dibuat DPR jangan sampai tiba-tiba dibatalkan oleh Presiden, oleh pemerintah. Omnibus Law tetap levelnya UU, tidak boleh level UU memberikan peraturan yang tadi PP bisa gantikan UU. Kami akan pertanyakan dalam pembahasan nanti dengan DPR," kata Sodik di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (17/2/2020).
"Kalau selama ini UU bisa direvisi oleh MK, nanti UU yang dibuat DPR bisa dibatalkan dengan PP tentu ini tidak sehat dalam arti fungsi legislatif dan eksekutif," tambahnya.
Sodik heran dengan pasal-pasal yang disusun dalam RUU Ciptaker ini. Ia pun mempertanyakan apakah ada akademisi yang paham hukum yang dilibatkan dalam menyusun RUU Ciptaker. Ia juga menyangsikan pihak pemerintah yang dilibatkan dalam menyusun draf RUU Ciptaker ini mengerti hierarki perundang-undangan.
"Makanya adakah akademisi di sana [satgas]? Bahkan sebetulnya orang pemerintah harusnya paham hierarki regulasi. PP di bawah UU. Makanya kita mempertanyakan apakah ada ahli-ahli?" katanya.
Bahkan, kata Sodik, pengesahan pasal 170 dalam RUU Cilaka nantinya bisa membawa Indonesia menjadi negara otoriter karena kekuasaan penuh ada di pemerintah.
"Jika hal itu terjadi, dan jangan sampai terjadi. Itu akan mengubah konstitusi. Ini akan jadi perdebatan besar apakah negara kita akan diarahkan ke sana tidak dengan eksekutif, yang kuat di sisi presidensial. Akan jadi kemunduran di mana eksekutif akan jadi sangat kuat sehingga menjadi otoriter. Bertentangan dengan semangat reformasi," katanya.
Padahal, menurutnya Omnibus Law dibuat dengan prinsip simplifikasi, debirokratisasi, tapi malah berpotensi melanggar ketentuan dasar. "Ini sekali lagi agak aneh," tegasnya.
Dalam pasal 170 ayat (1) disebutkan Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam undang-undang.
Pasal 170 ayat (1) berbunyi "Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini."
Pasal 170 ayat (2) berbunyi "Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah."
Pasal 170 ayat (3) berbunyi "Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia."
Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK Fajri Nursyamsi menambahkan RUU ini juga bermasalah secara hierarki peraturan perundang-undangan dan putusan Mahkamah Konstitusi, padahal seharusnya mengikuti ketentuan UU No. 12 Tahun 2011.
“Peraturan Pemerintah memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan undang-undang sehingga tidak bisa membatalkan maupun mengubah undang-undang,” ucap Fajri.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD bahkan menegaskan bila undang-undang tidak bisa diubah ataupun diganti menggunakan Peraturan Pemerintah (PP). Mahfud justru menduga adanya kesalahan ketik di RUU Ciptaker.
"Mungkin itu keliru ketik atau mungkin kalimatnya tidak begitu. Saya tidak tahu kalau ada begitu. Oleh sebab itu kalau ada yang seperti itu nanti disampaikan ke DPR dalam proses pembahasan," ujar Mahfud di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (17/2/2020) dilansir dari Antara.
Editor: Bayu Septianto