Menuju konten utama

Poin-Poin Masalah RUU Cilaka atau Cipta Kerja Menurut PSHK

PSHK menilai RUU Cilaka jauh dari maksud pemerintah menjadikan momentum pembenahan regulasi karena yang muncul adalah penambahan beban penyusunan regulasi.

Poin-Poin Masalah RUU Cilaka atau Cipta Kerja Menurut PSHK
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto didampingi Menteri BPN Sofyan Djalil, Menkum HAM Yasonna Laoly, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyerahkan surat presiden (surpres) tentang RUU Cipta Kerja kepada pimpinan DPR Puan Maharani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (12/2/2020). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/ama.

tirto.id - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia mengkritik banyaknya aturan pelaksana RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) atau Cipta Kerja yang dibuat dengan skema omnibus law. PSHK mencatat setidaknya akan ada 493 peraturan pemerintah, 19 peraturan presiden, dan 4 peraturan daerah baru demi regulasi ini bisa berjalan. Totalnya berarti ada 516 peraturan pelaksana.

Banyaknya aturan ini menjadi ironi saat pemerintah sendiri mengklaim RUU Cipta Kerja sanggup memangkas regulasi demi kemudahan perizinan usaha. PSHK menilai kondisi ini jauh dari maksud pemerintah menjadikan momentum pembenahan regulasi karena yang muncul adalah penambahan beban penyusunan regulasi.

“Jumlah peraturan pelaksana itu seolah mengabaikan fakta bahwa saat ini Indonesia mengalami hiper-regulasi,” ucap Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK Fajri Nursyamsi dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Sabtu (15/2/2020).

“Kontraproduktif dengan agenda reformasi regulasi yang sedang dilaksanakan presiden dalam menyederhanakan jumlah peraturan perundang-undangan,” kata dia.

Fajri menambahkan RUU ini juga bermasalah secara hierarki peraturan perundang-undangan dan putusan Mahkamah Konstitusi, padahal seharusnya mengikuti ketentuan UU No. 12 Tahun 2011.

Dalam RUU Cilaka, kata dia, terdapat pasal 170 yang menyatakan Peraturan Pemerintah dapat digunakan untuk mengubah undang-undang padahal bertentangan dengan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 12 tahun 2011.

“Peraturan Pemerintah memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan undang-undang sehingga tidak bisa membatalkan maupun mengubah undang-undang,” ucap Fajri.

Ia juga mengingatkan Pasal 166 RUU Cilaka yang menyebutkan peraturan presiden bisa membatalkan perda juga bermasalah. Ketentuan itu bertentangan konstitusi sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-XIV.

Terakhir, kata Fajri, penyusunan RUU Cilaka juga melanggar setidaknya dua asas dalam penyusunan perundang-undangan. Salah satunya “asas kejelasan” rumusan karena pencantuman pasal perubahan dalam RUU Cilaka langsung digabungkan dengan pasal lama sehingga menyulitkan siapapun yang membacanya.

Asas kedua yang dilanggar adalah “dapat dilaksanakan” karena peraturan pelaksana UU ini wajib dibuat sebulan setelah ditetapkan seperti pada Pasal 173 RUU Cilaka. Sementara itu, setidaknya ada lebih dari 500 peraturan pelaksana yang mesti diubah dan dibuat.

“Melakukan perubahan peraturan pelaksana dari 79 UU dalam kurun waktu 1 bulan merupakan sebuah mandat yang sama sekali tidak realistis,” ucap Fajri.

Baca juga artikel terkait RUU CILAKA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Hukum
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz