tirto.id -
Hal ini disampaikan oleh Kapolda Kalimantan Tengah Brigjen Anang Revandoko ketika dikonfirmasi, Rabu (31/1/2018). Anang menjelaskan bahwa orang utan ditembak sebanyak 17 kali dan badannya dibuang ke Sungai Barito, sedangkan kepalanya dikubur.
"Ada tengkorak kepala. Kemudian kita temukan juga senapan angin, parang, peluru," jelas Anang.
Menurut Anang, tempat kejadian berada di tepi sungai Desa Tarusan perbatasan antara Kabupaten Barito Selatan dengan Barito Utara. Dua orang yang diamankan itu tinggal di sekitar sungai tersebut.
"Karena di lokasi rumahnya, pengakuan dia (pelaku), (orang utan) sering mengganggu. Sehingga ditembak lah oleh peluru angin itu kemudian dipotong," terang Anang lagi.
Penemuan mayat orang utan tanpa kepala di Sungai Barito ini sempat menuai kritik dari aktivis hewan dan lingkungan. Mereka merasa pemerintah kurang serius dalam perlindungan terhadap satwa liar.
Namun dalam Pasal 40 UU itu sanksi denda yang diberikan bagi pelanggar hanya Rp100 juta. Sedangkan sanksi penjara paling lama hanya lima tahun.
Marison mengatakan para aktivis pecinta satwa sudah berupaya meminta DPR dan pemerintah merevisi ketentuan sanksi bagi para pembunuh satwa langka, tapi hingga sekarang usulan itu belum direalisasikan.
“Perlindungan satwa liar memang masih lemah dan keberadaannya terancam. Baik untuk yang dilindungi maupun yang tidak,” tutur Direktur Investigasi LSM Scorpion Wildlife Trade Monitoring Group Marison Guciano.
Pernyataan Marison ini mengacu pada aturan sanksi hukum yang dirasa terlalu ringan bagi pelaku kejahatan terhadap satwa liar. Hal ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Pasal 40 Undang-undang 5/1990 berbunyi sanksi denda yang diberikan bagi pelanggar hanya Rp100 ribu. Sedangkan sanksi penjara paling lama hanya lima tahun.
“Saya menilai pemerintah tidak berpihak pada satwa liar," tegasnya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Maya Saputri