tirto.id - Kapolda Jawa Timur Inspektur Jenderal Polisi Machfud Arifin mengatakan sampai hari ini masih ada tiga jenazah pelaku teror bom di Surabaya dan Sidoarjo yang belum dimakamkan.
"Hanya tinggal tiga jenazah yang belum karena juga masih menunggu hasil [tes] DNA," ujar Machfud kepada wartawan di Surabaya, pada Minggu (20/5/2018) seperti dikutip Antara.
"Yang lain sudah klir [selesai], dan sudah dimakamkan," Machfud menambahkan.
Sejauh ini, berdasar keterangan Polda Jatim, jumlah jenazah pelaku ledakan bom di Surabaya dan Sidoarjo pada 13 dan 14 Mei 2018 lalu adalah 13. Mereka terdiri atas Dita Oepriarto dan Puji Kuswati berserta empat anak mereka.
Selain itu, jenazah pemilik bom “makan tuan” di Rusunawa Wonocolo Blok B Lantai 5, yakni Anton Ferdiantono beserta istri dan seorang anaknya. Sedangkan 4 jenazah lain ialah jasad pelaku bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya, yakni Tri Murtiono, Tri Ernawati dan 2 anak mereka.
Pada Jumat lalu (18/5/2018), tiga jenazah dimakamkan di tempat pemakaman khusus orang tak dikenal di Sidoarjo, Jawa Timur. Ketiganya merupakan jenazah Anton Ferdiantono (46), Hilia Aulia Rahman (18) dan Sari Puspitarini (47).
Pemakaman ketiga jenazah, yang mendapat pengawalan kepolisian, itu dilakukan di pemakaman orang yang tidak dikenal karena tidak ada pihak keluarga yang mengakui mereka.
Sementara pada hari ini, dilakukan penguburan 7 jenazah di pemakaman kawasan Pucang, Sidoarjo, Jawa Timur. Tujuh jenazah itu terdiri atas tiga pelaku ledakan di GKI jalan Diponegoro (Puji Kuswati dan 2 anaknya) dan empat pelaku bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya (keluarga Tri Murtiono).
Sebelumnya sempat ada penolakan warga terhadap pemakaman jenazah pelaku teror bom itu. Misalnya, warga Kelurahan Tembok Dukuh, Surabaya menolak rencana pemakaman jenazah Dita Oepriarto di kawasan itu. Dita ialah pelaku bom mobil di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya jalan Arjuno. Dita juga diduga mendalangi aksi pengeboman pada tiga gereja di Surabaya.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo memaklumi sikap warga itu. Dia menilai penolakan pemakaman jenzah pelaku teror bom tersebut adalah bentuk hukuman sosial dari masyarakat.
"Saat ini, masyarakat telah memberikan hukuman atau sanksi sosial, seperti reaksi tidak boleh dimakamkan di daerahnya," ujar dia di Gedung Negara Grahadi di Surabaya, pada hari ini.
Menurut Soekarwo, reaksi itu menunjukkan masyarakat menganggap hidup berdampingan di tengah pluralitas dengan damai adalah sesuatu yang penting. Selain itu, menurut dia, masyarakat juga telah mengetahui bahwa terorisme bukan perintah agama. “Semua agama menolak kekerasan," ujar dia.
Namun, dia menegaskan pemerintah tetap wajib mencari lokasi pemakaman bagi para pelaku teror.
Pada 13 Mei 2018 lalu, ledakan bom terjadi di tiga gereja di Surabaya. Ketiganya ialah Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela Jalan Ngagel, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jalan Diponegoro, dan Gereja Pantekosta di Jalan Arjuno.
Berdasar keterangan kepolisian, aksi bom bunuh diri pada Minggu pagi di 3 gereja itu dilakukan oleh satu keluarga, yakni Dita Oepriarto dan istrinya Puji Kuswati bersama keempat anak mereka. Pada malam harinya, ledakan juga terjadi Rusunawa Wonocolo Blok B Lantai 5 mengakibatkan tiga orang tewas, yakni pemilik bom Anton Ferdiantono, istri dan anaknya. Bom "makan tuan" itu meledak di rumah milik Anton.
Sementara pada keesokan harinya, Senin (14/5/2018) pagi, bom bunuh diri kembali terjadi. Kali ini ledakan terjadi di Mapolrestabes Surabaya. Bom bunuh diri ini melibatkan keluarga Tri Murtiono. Dari lima anggota keluarga itu, empat tewas dan satu anak selamat.
Usai insiden ledakan bom pada lima tempat itu, polisi melakukan penangkapan sejumlah terduga teroris di Surabaya, Sidoarjo, Malang, Jombang, Pasuruan hingga Probolinggo. Tercatat sudah lebih dari 20 orang yang ditangkap oleh polisi dalam keadaan hidup maupun tewas karena ditembak saat melawan aparat.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom