tirto.id - Hari pemungutan suara Pilkada 2020 tinggal menghitung hari, tetapi masalah netralitas aparatur sipil negara (ASN) masih belum teratasi. Rekomendasi sanksi terhadap ratusan PNS yang dinilai tidak netral belum dieksekusi.
Berdasarkan data Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), hingga 31 Juli lalu terdapat 456 ASN dilaporkan karena tidak netral dalam pemilu. 27,6 persen teradu adalah pejabat pimpinan tinggi, 25,4 persen pejabat fungsional, dan 14,3 persen pejabat administrator.
Pelanggarannya bermacam-macam. Sebanyak 21,5 persen melakukan pendekatan ke partai politik terkait pencalonan diri sendiri atau orang lain sebagai bakal calon kepala/wakil kepala daerah; lalu 21,3 persen melakukan kampanye di media sosial; kemudian 13,6 persen mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan ke salah satu pasangan calon.
KASN mendalami laporan itu dan menemukan ada 344 ASN yang melanggar netralitas. Mereka lantas merekomendasikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) agar ASN tersebut dijatuhi sanksi.
"Rekomendasi KASN tentang pelanggaran netralitas ASN adalah sanksi hukuman disiplin tingkat sedang dan sanksi moral," kata Asisten Komisioner Wilayah III KASN Pangihutan Marpaung kepada reporter Tirto, Kamis (6/8/2020).
Namun, dari 344 ASN yang direkomendasikan untuk disanksi, baru 189 yang ditindaklanjuti oleh PPK, alias baru 54,9 persen. KASN berharap agar Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) serta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dapat menindak tegas PPK yang enggan menjatuhkan sanksi kepada ASN pelanggar.
Masalah Klasik
Komisioner Ombudsman RI Laode Ida mengatakan lemahnya PPK adalah masalah klasik. Penyebabnya adalah konflik kepentingan antara ASN yang tidak netral itu dengan PPK-nya. Bagaimana mungkin, kata Laode, kepala daerah yang juga PPK menjatuhkan sanksi terhadap ASN yang telah membantunya memperoleh jabatan politik. Di sisi lain, ASN tersebut berharap mendapat timbal balik, contohnya jabatan.
Kondisi ini pula yang membuat loyalitas ASN cenderung kepada figur atasan alih-alih pada aturan.
Ini diperparah dengan sanksi yang relatif ringan. Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang disiplin pegawai menjelaskan ASN yang tidak netral dalam pemilu hanya dijatuhi sanksi disiplin. Sanksi paling berat berupa penurunan pangkat lebih rendah satu tingkat selama tiga tahun, pembebasan dari jabatan, dan pemberhentian dengan hormat. Sanksi itu diberikan bagi ASN yang menggunakan fasilitas yang ada terkait jabatannya untuk mendukung pasangan calon tertentu, dan/atau membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan pasangan calon tertentu selama masa kampanye.
Selain itu, tidak ada sanksi bagi PPK yang tidak melaksanakan rekomendasi KASN.
"Jadi sebenarnya Indonesia ini memang dikelola dengan tidak jujur, dengan penuh muslihat dari penyelenggara negaranya," simpul Laode kepada reporter Tirto, Kamis (6/8/2020).
Pernyataan itu diperkuat dengan temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang pilkada tahun 2015, 2017, dan 2018. Mereka menemukan sebagian besar calon kepala daerah, terutama petahana, mengandalkan sponsor untuk berlaga. Untuk itu, ASN, khususnya kepala dinas atau kepala badan yang berpotensi mengumpulkan dana misalnya pekerjaan umum, kesehatan, dan pendidikan dikerahkan menjadi tim sukses pasangan petahana. Nantinya, ASN tersebut akan bergerak memobilisasi dana dan donatur melalui proyek-proyek pengadaan.
ASN yang membantu berharap dipertahankan di jabatannya atau bahkan naik jabatan dan pindah ke dinas yang lebih strategis atau ke Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
"Yang kami baca dari data ini dan interview lanjutan, adalah netralitas ASN itu susah. Terbukti 80 persen dari mereka sebenarnya bukan hanya tidak netral tetapi secara khusus memobilisasi dukungan dalam bentuk dana dan dalam bentuk donasi ke calon yang dipilih," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan dalam diskusi online, Rabu (5/8/2020) pekan lalu.
Karena itu semua Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo berharap ada revisi aturan terkait penegakan masalah etik di kalangan ASN. Salah satunya dengan mencopot kewenangan kepala daerah sebagai PPK, mengingat mereka adalah aktor politik yang memiliki konflik kepentingan.
Selain itu, masalah lain yang membuat ini lestari adalah nihilnya merit system alias pemilihan berdasarkan kapabilitas dalam birokrasi di Indonesia. Akibatnya, ASN berlomba-lomba "menjilat" atasannya demi melanggengkan jabatan. Tidak ada pula sistem pengawasan dalam proses pemilihan pejabat.
Di satu sisi, inspektorat selaku Aparatur Pengawas Internal Pemerintah (APIP) terlampau lemah dari sisi kewenangan. Selain, itu APIP pun bertanggung jawab kepada pimpinan lembaga/kepala daerah yang dalam hal ini adalah pihak yang bermasalah.
"Dia di bawah kepala daerah sehingga kepala inspektorat di daerah itu kalau mau dicopot sama kepala daerahnya sangat bisa. Karena itu kalau diminta untuk mengawasi keputusan dan kebijakan kepala daerah dia enggak bisa," kata Adnan kepada reporter Tirto, Kamis (6/8/2020).
Di sisi lain, KASN yang bertugas melakukan pengawasan pelaksanaan merit system juga terlampau kecil secara organisasi. Padahal lembaga ini bertugas mengawasi ratusan pemerintah daerah di seluruh Indonesia.
"Semestinya KASN ini memiliki posisi yang lebih powerful, organisasi yang lebih solid dan besar sehingga bisa melakukan fungsi pengawasan secara lebih representatif," katanya menegaskan.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino