Menuju konten utama

Pleidoi Novanto: Dimulai dengan Ayat Suci, Diakhiri dengan Puisi

Novanto mencoba meyakinkan hakim bahwa kesepakatan anggaran proyek e-KTP tidak diatur oleh dirinya.

Pleidoi Novanto: Dimulai dengan Ayat Suci, Diakhiri dengan Puisi
Terdakwa Kasus Korupsi Pengadaan KTP elektronik Setya Novanto mebaca nota pembelaan pada sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (13/4/2018). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Sambil bergetar dan menangis Setya Novanto menyampaikan nota pembelaan (pleidoi) dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat (13/4/2018). Pleidoi setebal 31 halaman ia baca demi mendapat vonis ringan dari Majelis Hakim.

Novanto mulai membacakan pleidoi tersebut pada pukul 10.00 WIB. Dengan mengenakan batik lengan panjang berwarna dasar merah, ia membuka satu demi satu lembar pembelaannya.

Pleidoi dibuka dengan ucapan terima kasih untuk Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan kutipan Alquran Surat An-Nisa ayat 58.

“Keadilan adalah segala-galanya dan tidak dapat diabaikan sedikit pun. Berlaku adil merupakan perintah Allah SWT,” kata Novanto. mengutip ayat tersebut.

Selepas menyitir ayat suci, politikus Partai Golkar itu kemudian mengungkit segenap prestasi yang didapatnya. Novanto mengutip kata mutiara milik Presiden Amerika Serikat ke-35 John F. Kennedy, yang disebutnya menjadi inspirasi untuk mengabdi pada negara.

Ia mengungkap berbagai prestasi yang sempat diraih pada periode 1990-an seperti gelar Indonesia Culture Award on ASEAN Program (1993), Indonesian Best Dressed Award (1993), ASEAN Entrepreneur Award (1993), dan Indonesian Culture Award on ASEAN Program (1994).

Penyebutan prestasi itu, kata Novanto, terpaksa dilakukan agar masyarakat tidak selalu memandang dirinya dari sisi negatif.

“Saya hanya ingin masyarakat melihat secercah cahaya dalam gelapnya pemberitaan tentang diri saya selama ini, hingga sudilah kiranya mengurangi celaan dan cacian yang kejam itu,” ujar Novanto.

Bersikukuh Tak Mengintervensi dan Tak Punya Kuasa

Usai mengungkit masa lalu, bekas Ketua Umum Partai Golkar itu mulai menanggapi pokok materi tuntutan yang dilayangkan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Novanto bersikukuh tak pernah mengintervensi proses penganggaran proyek e-KTP demi keuntungannya sendiri. Menurutnya, pembahasan awal anggaran mega proyek itu justru terjadi karena usul Kementerian Dalam Negeri.

Ia juga menyebut pemberian fee untuk sejumlah anggota Komisi II DPR RI merupakan kesepakatan eks-Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman, pengusaha Andi Agustinus, dan mantan Ketua Komisi II DPR Burhanuddin Napitupulu.

“Dengan demikian sangat jelas bahwa kesepakatan pemberian fee kepada sejumlah anggota Komisi II DPR terjadi tanpa sepengetahuan saya,” tutur Novanto.

Mantan Bendahara Umum Partai Golkar ini mengatakan baru ikut terlibat dalam pusaran kasus e-KTP setelah bertemu Andi, Irman, dan mantan Sekretaris Jenderal Kemendagri Diah Anggraini di Hotel Gran Melia, Kuningan, Jakarta Selatan, pada 2010 silam.

Dengan lantang Novanto berkata menyesal bertemu dengan Irman, Andi, dan Diah. Ia yakin jika pertemuan tak jadi digelar, dirinya akan terlepas dari keterkaitan dengan kasus e-KTP.

“Apalagi dengan melihat fakta persidangan bahwa sejak awal Johanes Marliem dengan maksud tertentu telah dengan sengaja menjebak saya, dengan merekam pembicaraan pada setiap pertemuan,” ujarnya.

Saat membacakan pleidoi, tangan Novanto sesekali bergetar kala membuka lembar demi lembar halaman naskah pleidoi. Lelaki yang di masa awal persidangan sempat mengklaim sakit itu kemudian mengatakan dirinya hanya punya pengaruh kecil di DPR, saat proyek dibahas, meski saat itu menjabat Ketua Fraksi Golkar di DPR RI.

Ia mencoba meyakinkan hakim bahwa kesepakatan anggaran proyek e-KTP tidak diatur dirinya, melainkan semua partai memiliki peran dalam pembahasan anggaran proyek itu.

“Saya juga tidak menyalahgunakan kewenangan yang saya miliki karena memang sebagai ketua fraksi tidaklah mempunyai kewenangan dalam penganggaran, apalagi pelaksanaan pengadaan e-KTP,” tutur Novanto mengemukakan argumennya.

Punya Jasa untuk Negeri

Selain membela diri, politikus kelahiran Bandung, Jawa Barat itu juga menuding KPK tidak adil. Penilaian itu diberikan karena Novanto merasa menjadi satu-satunya terdakwa yang mendapat tuntutan hukuman penjara paling lama dibanding pesakitan lain.

“Tuntutan JPU setebal 2.415 halaman… Selama 16 tahun penjara bagi saya jelas tidak adil... Sepanjang persidangan saya sudah mencoba untuk bersikap kooperatif,” ucap Novanto.

Setelah menyebut ketidakadilan yang diberikan lembaga antirasuah, pria kelahiran 12 November 1955 ini mengungkit klaim hasil kerja yang sudah ia berikan untuk negeri ini selama menjadi wakil rakyat di Senayan.

Salah satu klaim yang ia sebutkan adalah dirinya sempat melobi Raja Salman terkait penambahan kuota jemaah haji Indonesia, saat Raja Salman bertandang ke Indonesia pada 2017.

“Saya pun meminta Raja Salman agar bisa mencari solusi terbaik mengenai masalah TKI, yang mana dalam hal ini sering terjadi kekerasan yang dialami TKI di Arab Saudi,” kata Novanto.

Kemudian, Novanto yang punya daerah pemilihan di NTT ini mengatakan dirinya merupakan pendukung pembangunan gedung baru buat KPK. “Pada 2015, saya selaku Ketua DPR RI melalui Badan anggaran mendukung peningkatan pagu anggaran operasional KPK untuk tahun anggaran 2016,” katanya.

Infografik HL Bisnis Papa Nova di NTT

Penyesalan Berbalut Tangis

Setelah beres membacakan bagian ‘membanggakan diri’, Novanto mulai meminta maaf. Ia menyuarakan rasa bersalah kepada warga, khususnya masyarakat di Daerah Pemilihan II Nusa Tenggara Timur.

Alumnus Universitas Trisakti itu memohon ampun karena gagal menuntaskan tugas sebagai Ketua DPR RI. Ia juga meminta maaf kepada seluruh pengurus dan kader Partai Golkar dan mengaku terpukul karena harus menyandang status pesakitan kala menjabat sebagai Ketua Umum Golkar.

“Sungguh suatu pukulan yang sangat berat ketika harus meninggalkan partai dan lembaga dalam kondisi ini,” ujarnya.

Usai mengungkap penyesalannya, Novanto menangis. Suara tangisannya terdengar saat ia meminta keluarganya tidak bersedih atas kasus yang menimpa dirinya. Isakan Novanto sempat membuatnya kesulitan membaca pleidoi. Ia terbata-bata menyebut nama istri dan anaknya: Deisty Astriani, Rheza Herwindo, Dwina Michaella, Gavriel Putranto, dan Giovanno Farrel Novanto.

Hal itu membuat kuasa hukum sampai meminta izin kepada hakim untuk memberikan tisu dan air mineral.

“Kita adalah keluarga yang kuat. Kita adalah insan pilihan Allah SWT. Sungguh pertolongan Allah SWT adalah dekat. Bukankah Allah SWT menyiapkan medan pertempuran tersulit hanya untuk prajurit-Nya yang terbaik. Dan insya Allah, kita termasuk prajurit-prajurit terbaik itu,” pesan Novanto kepada keluarganya.

Minta Hakim Pertimbangan Usia dan Baca Puisi

Menutup pembelaan, Novanto meminta Majelis Hakim mempertimbangkan usia dan kesehatannya dalam menjatuhkan vonis.

Ia mengaku sangat terpukul ketika ditetapkan sebagai tersangka, hingga duduk di kursi pesakitan sepanjang sidang kasus e-KTP. Novanto meminta hakim menjadikan kontribusinya selama menjadi wakil rakyat sebagai faktor peringan dalam vonis nanti.

Tak hanya minta keringanan, ia juga berharap hakim mencabut blokir rekening atas nama dirinya. Ia menjadikan keberadaan anak-anak asuhnya di dua pesantren sebagai alasan meminta pembukaan rekening.

“Saya juga masih memiliki tanggungan anak-anak tidak mampu pada Yayasan Pesantren al-Hidayah di Sukabumi dan Yayasan Yatim Mulia Nurbuwah di Sawangan, Depok,” ujar Novanto.

Sebelum menutup pleidoinya, Novanto membaca sebuah puisi berjudul "Di Kolong Meja" karya Linda Djalil.

Saat membaca puisi, suara Novanto terdengar sedikit serak. Di bangku penonton sidang, Deisty terpantau terus mengelap mata dengan tisu. Air mata Deisty kian menetes saat suaminya membacakan puisi.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih & Maulida Sri Handayani