tirto.id - Setya Novanto (Setnov) menyebut mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi memegang peran penting dalam penentuan sumber biaya proyek pengadaan e-KTP di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menurutnya, Gamawan berperan sebagai pemberi usul perubahan sumber pembiayaan proyek e-KTP. Tanpa usul Gamawan, proyek itu akan tetap dibiayai melalui mekanisme Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN).
"Pada akhir November 2009, pemerintah usulkan perubahan pembiayaan yang tadinya bersumber dari PHLN menjadi APBN murni. Usulan dilakukan pemerintah melalui Mendagri Gamawan Fauzi dengan cara mengirim surat ke Menteri Keuangan melalui Kepala Bappenas," ujar Setnov dalam pleidoinya di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Jumat (13/4/2018).
Setelah usul diberikan Kemendagri, lobi terhadap DPR mulai dilakukan. Menurut Setnov, kesepakatan dengan parlemen dilakukan pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong dan eks Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman.
Lobi dilakukan Andi dan Irman kepada Ketua Komisi II DPR saat itu, Burhanuddin Napitupulu. Menurut Setnov, pertemuan saat itu menyepakati pemberian fee kepada anggota DPR untuk memperlancar perubahan pembiayaan proyek.
"Fakta di atas menunjukkan bagaimana peranan pemerintah dalam hal mengubah penganggaran. DPR RI melalui Komisi II hanya sebatas memberi persetujuan. Kesepakatan Andi dan Burhanuddin di luar tanggung jawab saya, apalagi kesepakatan tersebut dilakukan sebelum Andi memperkenalkan saya dengan saudara Irman," ujar Setnov.
Setya Novanto dituntut mendapat hukuman penjara 16 tahun dan denda Rp1 miliar oleh Jaksa KPK. Selain meminta hukuman penjara belasan tahun, jaksa juga menuntut Setnov membayar uang pengganti senilai $7,435 juta.
Pembayaran uang pengganti kerugian itu dikurangi Rp5 miliar yang sudah diserahkan sang pesakitan ke KPK.
Politikus Golkar itu mendapat tuntutan tinggi karena dianggap terbukti terlibat korupsi proyek e-KTP yang merugikan negara Rp2,3 triliun. Ia diduga menerima jatah uang korupsi $7,3 juta dan jam mewah merek Richard Mille 011.
Setnov harus membayar uang itu selambat-lambatnya sebulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Apabila Setnov tidak bisa membayar uang pengganti itu tepat waktu, Jaksa KPK akan merampas dan melelang hartanya.
Mantan Ketua DPR RI itu juga terancam tak bisa menggunakan hak politiknya hingga lima tahun usai dipenjara. Peluang tersebut muncul lantaran Jaksa KPK menuntut pencabutan hak politik Setnov selama 5 tahun.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Maya Saputri