tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan sejumlah langkah untuk menangkap Ketua DPR RI Setya Novanto. Ini dilakukan lantaran Novanto tak kunjung menampakkan batang hidungnya ke Kuningan Mulya. Salah satu langkah yang diambil adalah dengan menerbitkan surat perintah penangkapan.
"Karena ada kebutuhan penyidikan, KPK menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap saudara SN," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Mulya, Jakarta Selatan, Kamis, 16 November 2017.
Menurut Febri, penerbitan itu dikarenakan Novanto sudah tiga kali mangkir sebagai saksi, dan sekali mangkir sebagai tersangka. Terlebih, Febri menilai, alasan yang digunakan Novanto tak bisa digunakan untuk lari dari proses hukum.
Sebelum menerbitkan surat ini, KPK telah menelaah sejumlah alasan yang dikemukakan Novanto. Seperti hak impunitas dan izin dari presiden untuk memanggil dirinya. Menurut Febri, kedua alasan tersebut tidak relevan.
Berdasar pertimbangan ini, KPK kemudian mencoba menjemput Novanto di kediamannya, Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu malam, 15 November. Sepuluh penyidik dengan bantuan 30 brigade mobil diutus pimpinan KPK ke rumah Novanto.
Baca juga: Setya Novanto Dicekal Sampai April 2018
Saat datang ke rumah Novanto, penyidik sempat berdialog dengan pengacara dan keluarga. Tapi, dialog tersebut tak menghasilkan apa-apa. Lantaran, Novanto ternyata sudah tak berada di kediamannya.
“Jadi kami pandang segala upaya secara persuasif untuk proses penegakan hukum ini sudah kami lakukan,” kata Febri.
Kondisi ini, kata Febri, yang membuat KPK akhirnya memutuskan menerbitkan surat perintah penangkapan Ketua Umum Partai Golkar itu. Surat perintah penangkapan ini diketahui hanya berlaku 1x24 jam, sesuai dengan Pasal 19 Ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Jika Setya Novanto belum juga ditemukan dalam kurun 1x24 jam, Febri menyebut, KPK tak segan mendaftarkan Ketua DPR ini ke dalam daftar pencarian orang (DPO). Ini berarti, Novanto menjadi Ketua DPR pertama yang menjadi buronan KPK.
“Karena proses pemberantasan korupsi harus dilakukan semaksimal mungkin dan prinsip semua orang sama di mata hukum,” kata Febri menegaskan.
Baca juga: Berbagai Skandal yang Membelit Setya Novanto
Meski begitu, KPK tak menutup peluang jika ancaman ini bisa saja tak dilakukan. Asalkan, Novanto mau kooperatif dengan menyerahkan diri. “Ini akan jauh lebih baik. Jika memang ada bantahan yang mau disampaikan, silakan disampaikan langsung kepada tim penyidik,” ujar Febri.
Sejauh ini, tim kuasa hukum Setya Novanto belum memberikan klarifikasi terkait langkah KPK. Pada kesempatan sebelumnya, Fredrich Yunadi sempat mengatakan, hukum tidak boleh hanya dimiliki KPK.
Bahkan, saat disinggung kemungkinan Novanto ditangkap atau ditahan dengan alasan tidak kooperatif, Fredrich justru menanyakan dasar hukum KPK menangkap dan menahan Ketua Umum Partai Golkar itu. "Coba belajar hukum ke saya aja," kata Fredrich, Selasa, 14 November.
Sejauh ini, Setya Novanto tak diketahui rimbanya. Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar, Mahyudin, menyebut, Novanto tak ada di rumahnya. Mahyudin diketahui berada di rumah Novanto saat 10 penyidik menyambangi rumah mantan Ketua Fraksi Partai Golkar itu.
Menurut Mahyudin, hanya ada istri, pengacara, dan pembantu di rumah Novanto. Sedangkan Novanto sendiri, tak diketahui rimbanya.
"Dihubungin enggak nyambung," ucap Mahyudin saat keluar rumah Novanto, Rabu malam, pukul 23.16 WIB.
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih