Menuju konten utama

Pilkada saat Pandemi Corona Tidak "Biasa-Biasa Saja", Pak Mahfud

Menteri Koordinator Polhukam Mahfud MD mengklaim Pilkada tak akan memperburuk pandemi COVID-19 di Indonesia, benarkah demikian?

Pilkada saat Pandemi Corona Tidak
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD saat memberikan keterangan pers terkait rencana kepulangan Habib Rizieq Shihab ke Tanah Air di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (9/11/2020). ANTARA/HO-Humas Kemenko Polhukam.

tirto.id - Hari pencoblosan mestinya membuat politikus sibuk, tapi grup WhatsApp Golkar Sulawesi Selatan pukul 12.00 WITA justru hening. Politikus Golkar Malkan Amin diinformasikan meninggal dunia pada usia 72 tahun. Anggota DPRD Sulawesi Selatan Rahman Pina yang masih tak percaya langsung menelepon Ketua DPRD Sulawesi Selatan Ina Kartika Sari, dan tanpa seucap kata, kabar duka itu terkonfirmasi.

"Belum sempat bicara, suara tangis Bu Ina sudah pecah. Pertanda kedukaan itu benar-benar sudah datang," kata Rahman pada Rabu (9/12/2020).

Direktur RSUP Wahidin Sudirohusodo Dr dr Khalik Saleh mengatakan, Malkan meninggal karena COVID-19 dan sempat menjalani perawatan intensif.

Malkan bukanlah calon kepala daerah pertama yang meninggal karena Corona. Pada 22 September, calon Bupati Kabupaten Berau, Muharram meninggal dunia setelah dinyatakan positif COVID-19 dua minggu sebelumnya. Calon Wali Kota Bontang, Adi Darma juga meninggal pada Kamis, 1 Oktober.

Calon Bupati Bangka Tengah petahana Ibnu Soleh meninggal pada Minggu, 4 Oktober setelah dirawat seminggu di rumah sakit. Ada pula calon Wali Kota Dumai, Eko Suharjo meninggal Rabu, 25 November.

Terkahir, hari ini, Ketua KPU Kota Tangerang Selatan Bambang Dwitoro meninggal dunia setelah mendapatkan perawatan intensif usai dinyatakan positif COVID-19.

Pilkada serentak memang dikhawatirkan menjadi sarang penularan baru atau klaster COVID-19. Walau begitu, pemerintah bergeming dan pemungutan suara tetap dilaksanakan 9 Desember di 269 wilayah pada Rabu (9/12/2020).

Di tengah naiknya angka positif COVID-19, Menteri Koordinator Polhukam Mahfud MD sesumbar Pilkada tak akan memperburuk pandemi di Indonesia.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu pun mengatakan situasi pandemi di wilayah yang menggelar pilkada dan daerah yang tidak menggelar Pilkada tidak terpaut jauh. Bahkan, menurutnya, ada daerah yang tidak menggelar pilkada tetapi angka penularannya tinggi.

"Tidak ada kaitan sebenarnya antara besarnya terinfeksi COVID-19 dengan penyelenggaraan pilkada," kata Mahfud dalam rapat monitoring pelaksanaan pilkada yang diunggah BNPB Indonesia, Rabu (9/12/2020). "Kami sudah buktikan bahwa ini biasa-biasa saja, gitu."

Klaim itu langsung dibantah oleh pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga Surabaya Laura Navika Yamani. Menurutnya, masih terlalu terburu-buru menyimpulkan dampak Pilkada terhadap pandemi COVID-19, sebab baru akan terlihat efeknya pada 7-10 hari ke depan sesuai dengan masa inkubasi virus Sars Cov-2 di dalam tubuh.

"Jadi kita tidak bisa menilai sekarang, kita harus melihat 7 hari sampai 10 hari ke depan apakah terjadi peningkatan kasus," kata Laura kepada Tirto pada Kamis (10/12/2020).

Laura menyarankan, karena kecurigaan akan terjadinya klaster baru, otoritas kesehatan di masing-masing wilayah harus memantau petugas pemilihan yang bekerja kemarin. Salah satunya dengan melakukan tes skala masif agar bisa terdeteksi secara dini jika benar ada yang tertular dan rantai penularan bisa diputus.

Merujuk pada data Satgas Penanganan COVID-19 terdapat 47 daerah yang berisiko penularan tinggi alias zona merah dan 24 daerah di antaranya menggelar Pilkada. Beberapa daerah di antaranya ialah Minahasa Utara, Tomohon, Solok, Manado, Pakpak Bharat, Konawe Utara, Sumbawa, Bandar Lampung, Kotawaringin Timur, Blitar, Jember, Magelang, Purworejo, Rembang, Kendal, Tasikmalaya, Karawang, Kota Depok, Batanghari, Sungai Penuh, dan Tangerang Selatan.

Kota Bengkulu dan Kota Jambi yang melaksanakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, sebenarnya masuk juga dalam zona merah.

Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Mochammad Afifuddin pun menemukan ada banyak petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang hasil tesnya reaktif COVID-19. Namun, tak semuanya langsung menjalani tes PCR atau hasilnya keluar ketika hari pemungutan tiba. Bawaslu menemukan ada petugas bernasib demikian tersebar di 1.172 TPS.

"[Tidak diketahui] Apakah mereka datang atau enggak. Intinya, itu jumlah TPS-nya," kata Afifuddin kepada Tirto pada Kamis (10/12/2020).

Afifuddin mengaku sudah mengirim saran perbaikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara atas masalah itu. Namun, Komisioner KPU I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengaku belum menerima laporan resmi atas masalah itu kepada Bawaslu, termasuk data mengenai lokasi dan jumlah rinci dari petugas yang reaktif tersebut.

"Saya sendiri di KPU belum menerima laporan itu secara tertulis sehingga saya belum bisa merespons di TPS mana saja itu. Apakah itu sudah direkomendasikan ke jajaran kami ke daerah atau hanya sekadar dicatat saja?" ujarnya kepada Tirto pada Kamis (10/12/2020).

Masalahnya bukan cuma itu.

Bawaslu juga menemukan sejumlah pelanggaran protokol kesehatan dalam pelaksanaan pemungutan suara. Sebanyak 1.454 TPS tidak memiliki fasilitas cuci tangan. Selain itu, ada TPS yang tidak membuat bilik khusus bagi pemilih yang bersuhu di atas 37,3 derajat Celcius.

“Sebenarnya harapan kita memang bilik khusus itu tidak digunakan. Artinya tidak ada orang yang punya suhu tubuh 37,3. Tapi ini kan kejadian yang bisa kita langsung berikan saran perbaikan, secara langsung bisa langsung disiapkan bilik khusus di luar TPS tersebut,” kata Afifuddin melalui saluran Youtube Bawaslu, Rabu (9/12/2020).

Satgas Penanganan Covid-19 menemukan hanya 65 persen TPS yang menyediakan alat pelindung diri (APD) untuk petugas yang menghadapi pemilih bersuhu tinggi. Kemudian masih ada TPS yang tidak memberikan sarung tangan, baik plastik maupun medis. Selain itu, tak semua TPS menerapkan masker maupun face shield.

"95 persen lebih TPS sudah menerapkan [masker], face shield di angka 93 persen,” Dewi menambahkan.

Kebiasaan Pejabat Klaim Menyesatkan

Koordinator LaporCovid Irma Hidayana menyayangkan ulah para pejabat publik yang terus menyebar pernyataan menyesatkan terkait COVID-19, kendati pandemi sudah memasuki bulan kesembilan di Indonesia. Menurutnya, Mahfud harus melihat banyaknya pelanggaran protokol kesehatan selama pemungutan suara berlangsung.

"Sebagai Menkopolkam sekaligus profesor, seharusnya beliau bisa lebih berhati-hati dan obyektif melontarkan pendapat. Jangan sampai menyesatkan publik," kata Irma kepada Tirto pada Kamis (10/12/2020).

Co-founder KawalCovid Elina Ciptadi juga mengatakan merujuk pada data, peningkatan jumlah kasus harian terjadi di daerah-daerah yang menyelenggarakan Pilkada. Karenanya, ia mengingatkan komentar pejabat publik yang menyesatkan dan cenderung mengentengkan pandemi justru membuat masyarakat makin abai pada protokol kesehatan.

Kendati begitu, merujuk pada pengalaman negara lain seperti Swedia yang mengakui kesalahan strateginya dalam menghadapi pandemi dan mulai memberlakukan pembatasan sosial, atau Jerman yang kembali memberlakukan pembatasan sosial setelah pelonggaran, pemerintah Indonesia belum terlambat untuk mengakui kesalahan dan "membanting setir".

"Nah, kita menunggu kapan nih Indonesia? Kami berharap ada perubahan yang drastis dari sisi keseriusan untuk membenahi data dan melakukan langkah-langkah epidemiologi yang benar dan mendengarkan apa kata ahli kesehatan," kata Elina kepada Tirto pada Kamis (10/12/2020).

Baca juga artikel terkait PILKADA 2020 atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Politik
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri