tirto.id - Kasus COVID-19 di Indonesia semakin tidak terkendali, rumah sakit penuh, dan semakin banyak tenaga kesehatan berguguran ketika pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 di 270 daerah tinggal menghitung hari. Desakan agar hari pencoblosan ditunda pun semakin mengemuka.
“Dari awal sikap kami firm (tunda pilkada). Kalau bisa kebijakan itu selaras semuanya, termasuk kalau jangan mengundang kerumunan, ya, pilkada itu mengundang kerumunan,” kata Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhilah kepada reporter Tirto, Kamis (3/12/2020).
Pandemi COVID-19 memang menggila pekan ini. Tercatat ada 5.828 kasus baru pada 27 November. Itu merupakan yang tertinggi sejak pandemi melanda Indonesia pada awal Maret lalu. Rekor itu hanya bertahan dua hari dengan penambahan 6.267 kasus baru pada 29 November. Tanggal 3 Desember, rekor pecah lagi dengan 8.369 kasus baru. Total, kasus COVID-19 di Indonesia sudah mencapai 557.877, padahal baru 10 hari lalu kasus di Indonesia mencapai setengah juta.
Penambahan kasus itu berbanding lurus dengan positivity rate atau persentase jumlah orang yang positif dibanding jumlah orang yang tes. Pada 25 November positivity rate mencapai 12,6 persen dan terus menanjak hingga 20,2 persen pada 29 November. Kamis, (3/12/2020), ketika naskah ini ditulis, positivity rate berada di angka 18,4 persen. Angka itu masih jauh dari standar ideal yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 5 persen.
Dengan situasi seperti ini, Harif mengatakan perawat di banyak rumah sakit sudah mengalami kelelahan. Jika kemudian dibebankan lagi oleh dengan lonjakan pasien akibat Pilkada 2020, maka tak banyak yang bisa perawat lakukan. “Apa mau seperti di Italia awal-awal itu? Mereka hanya bisa menolong yang mungkin hidup saja, yang tidak mungkin hidup dibiarkan. Kami tidak mau seperti itu.”
Bagi Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera, pada saat ini memang tidak lagi mudah untuk menunda hari pemungutan karena banyak proses sudah berjalan. Selain itu, anggaran tambahan untuk pembelian APD dan logistik lainnya pun telah digelontorkan. “Pada saat yang sama angka COVID-19 kian naik. Perlu kajian dan keputusan berbasis data dan analisis yang kuat,” katanya kepada reporter Tirto, Kamis.
Sejauh ini memang nampaknya tak ada tanda-tanda pilkada bakal ditunda. Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi memastikan itu dengan bilang sampai sekarang tak ada regulasi susulan. “Pada prinsipnya, sebelum ada keputusan baru sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk peraturan KPU tentang tahapan, maka tahapan tetap dilanjutkan,” kata Dewa kepada reporter Tirto, Kamis.
Saat ini dia bilang KPU sedang sibuk-sibuknya memenuhi segala perlengkapan protokol kesehatan. KPU juga telah membuat buku pedoman cara pemungutan dan penghitungan suara yang aman dan telah berkoordinasi dengan otoritas kesehatan untuk menjaga penerapan protokol di hari pemungutan.
Penerapan protokol kesehatan memang tertera di atas kertas. Masalahnya adalah penerapannya di lapangan. Berkaca pada pengalaman pra-pemilihan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan sepanjang 15-24 November saja terdapat 373 pelanggaran dari 18.025 kegiatan kampanye tatap muka. Dari jumlah itu, Bawaslu hanya membubarkan 39 kegiatan dan 328 lainnya diberi surat peringatan.
Jika diakumulasikan sepanjang dua bulan masa kampanye, terdapat 2.126 pelanggaran protokol kesehatan dari 91.640 kegiatan kampanye tatap muka.
Di samping itu, 70 calon kepala daerah/wakil kepala daerah terinfeksi virus COVID-19 dan empat di antaranya meninggal dunia. Pertama, H. Muharram, petahana Kabupaten Berau yang meninggal pada Selasa 22 September. Kedua, calon Wali Kota Bontang Adi Darma pada Kamis 1 Oktober--enam hari setelah dinyatakan positif COVID-19. Ketiga, Bupati Bangka Tengah petahana Ibnu Soleh pada Minggu 4 Oktober. Terakhir, calon Wali Kota Dumai asal Partai Demokrat, Eko Suharjo, yang meninggal Rabu 25 November kemarin pukul 03.00 WIB
Selain potensi tetap ada pelanggaran, kesiapannya pun masih jauh dari 100 persen. Investigasi Ombudsman RI menemukan dari 31 KPU kabupaten/kota yang menyelenggarakan pilkada, baru sembilan yang telah mendistribusikan alat pelindung diri (APD). Ada 22 KPU kabupaten/kota (72%) yang belum mendistribusikannya.
Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala mendesak KPU mempercepat ini semua. “Saran untuk ketua KPU kabupaten/kota adalah memastikan dan mengupayakan pendistribusian kekurangan kelengkapan APD yang belum tersalurkan kepada unsur PPK (panitia pemilihan kecamatan) hingga PPS (panitia pemungutan suara). Hal ini dilakukan agar APD dapat tersalurkan setidaknya tiga hari sebelum pelaksanaan pilkada serentak,” katanya.
Namun, I Dewa Kade mengatakan ketentuannya APD—dan juga logistik TPS lain—paling lambat didistribusikan H-1 pemungutan.
Desakan agar pilkada ditunda juga dikemukakan lagi oleh Kode Inisiatif. Peneliti dari Kode Inisiatif Ikhsan Maulana mengatakan setidak-tidaknya pemerintah mulai melihat lagi daerah-daerah yang mengalami tren peningkatan kasus COVID-19. Jika ada daerah yang perkembangannya mengkhawatirkan, bukalah kemungkinan menunda hari pemungutan. Toh itu dimungkinkan lewat Pasal 120 ayat (1) Undang Udang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada yang menyebutkan apabila terjadi bencana non alam yang mengakibatkan sebagian tahapan pemilihan tidak dapat dilaksanakan, maka dilakukan pemilihan lanjutan.
“Sayangnya penundaan pilkada harus dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, pemerintah, dan DPR. Sepertinya tendensi untuk menunda pilkada tidak terlihat dari ketiga lembaga tersebut,” kata Ikhsan kepada reporter Tirto, Kamis.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino