Menuju konten utama

Pidato Prabowo dan Ujian Moralitas Diplomasi Indonesia

Bagaimana mungkin Indonesia, yang sejak awal berdiri mengutuk segala bentuk penjajahan, justru memberi ruang bagi pelaku genosida di Palestina?

Pidato Prabowo dan Ujian Moralitas Diplomasi Indonesia
Musa Maliki. Foto/ Istimewa

tirto.id - Pidato Presiden Prabowo di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tampaknya belum melalui proses penyuntingan yang matang dari sisi diplomatik maupun kajian hubungan internasional. Pidato tersebut memang mendapat sambutan positif dari sejumlah pihak, termasuk Israel, tapi sekaligus menimbulkan keheranan di kalangan negara-negara yang selama ini konsisten mendukung Palestina.

Media The Times of Israel menurunkan laporan berjudul “Israel was surprised by Indonesian president’s call to respect Israel’s right to security, official says” (25/9/2025). Sejak Indonesia merdeka, ini pertama kalinya sebuah pidato presiden Indonesia mendapat sanjungan terbuka dari Israel. Dalam konteks diplomasi, hal tersebut merupakan anomali.

Pidato yang Membingungkan

Pidato Prabowo dinilai sangat menonjol dalam memberikan tekanan pada eksistensi Israel. South China Morning Post bahkan menulis, “What Prabowo’s ‘bold’ UN speech means for Indonesia’s stance on Israel-Gaza war” (24/9/2025).

Pertanyaannya: apakah pidato itu wujud keberanian berpikir di luar kebiasaan, atau justru bentuk kecerobohan diplomatik? Pernyataan Prabowo yang menekankan pentingnya “menghormati dan menjamin keamanan Israel” menimbulkan kebingungan, terutama ketika diucapkan di tengah situasi genosida di Gaza.

Bagaimana mungkin Indonesia, yang sejak awal berdiri mengutuk segala bentuk penjajahan, justru memberi ruang penghormatan bagi pihak yang secara nyata melakukan tindakan kolonial terhadap Palestina?

Dalam pidatonya, Prabowo menyatakan:

“We must have an independent Palestine, but we must also recognize and guarantee the safety and security of Israel. Only then can we have real peace: peace without hate, peace without suspicion.”

Secara semantik, pernyataan ini tampak seimbang. Namun diksi yang digunakan memberi tekanan lebih besar pada perlindungan terhadap Israel ketimbang pembelaan terhadap Palestina. Tidak heran jika sejumlah media Israel menafsirkan pidato tersebut sebagai dukungan moral terhadap negara mereka.

The Jerusalem Post bahkan menulis bahwa Prabowo siap mengirim 20.000 pasukan ke Gaza untuk “menjaga perdamaian”. Media itu menggambarkan Prabowo sebagai pemimpin yang “memastikan keamanan Israel”, bahkan menyoroti penutup pidatonya yang menggunakan kata “Shalom".

Harus Lantang Menyerukan Spirit Bandung!

Mengapa Presiden Prabowo mengambil posisi tegas bahwa perdamaian hanya dapat terwujud jika dunia menghormati dan menjamin keamanan Israel? Dalam pandangannya, pengakuan dan perlindungan terhadap Israel diyakini sebagai jalan menuju perdamaian antara Israel dan Palestina. Namun, benarkah demikian?

Saya masih sulit memahami arah berpikir tersebut. Seolah-olah Israel harus terlebih dahulu diperlakukan secara terhormat dan merasa aman agar kemudian mengakui kemerdekaan Palestina. Pandangan ini --jika dibaca dari perspektif teori hubungan internasional-- lebih mencerminkan logika realisme ketimbang semangat kemanusiaan universal.

Dalam kerangka realisme, negara kuatlah yang menentukan apa yang dianggap pantas dan benar. Aforisme klasiknya berbunyi: “Might makes right”—kekuatan menentukan kepantasan, moralitas, dan kebaikan. Dengan logika ini, Indonesia berpotensi terjebak sebagai pengikut (follower) dari kekuatan besar, yakni Amerika Serikat.

Padahal, bahkan Amerika Serikat sendiri kerap tersandera oleh kepentingan politik Israel melalui lobi yang kuat di berbagai institusi politiknya. Jika mengikuti alur tersebut, maka Indonesia, secara tidak langsung, menjadi pengikut dari Israel.

Sebaliknya, perspektif pasca-kolonial menolak keras pandangan semacam itu. Dari sudut pandang ini, Israel bukanlah penentu moralitas global. Karena itu, penyebutan Israel secara berlebihan dan bernada penghormatan dalam forum internasional seperti PBB terasa kurang elok dan tidak sejalan dengan semangat diplomasi Indonesia.

Kerangka pasca-kolonial justru sejalan dengan amanat UUD 1945, yang menegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan bahwa penjajahan di dunia harus dihapuskan karena bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Maka, sulit dipahami jika Indonesia justru memilih menghormati Israel dengan asumsi bahwa tindakan itu akan membuka jalan bagi pengakuan terhadap kemerdekaan Palestina.

Dalam logika imperialisme, penjajah tidak mungkin dengan sukarela mengakui hak kemerdekaan pihak yang dijajah. Prinsip klasik dalam Melian Dialogue --“the strong do what they can and the weak suffer what they must”-- masih berlaku hingga hari ini.

Pertanyaannya, apakah logika Presiden Prabowo kini sejalan dengan logika Presiden Donald Trump yang pernah menyombongkan bahwa “negara-negara lain datang dan 'menjilat' saya untuk bernegosiasi”? Apakah kepentingan nasional harus dicapai dengan meniru gaya politik kekuasaan seperti itu?

Lebih jauh, dunia kini tengah mengalami proses dehumanisasi akibat agresi Israel yang berkepanjangan. Di tengah pembantaian warga Gaza, masyarakat internasional tampak tak berdaya. Mereka hanya mampu mengeluarkan pernyataan kutukan tanpa langkah konkret. Ketidakberdayaan ini menandakan krisis moral global: kolonialisme dibiarkan hidup kembali dalam bentuk baru.

Banyak negara Barat yang mendukung Israel juga terbukti gagal menghentikan tindakan brutal dan arogansi negara tersebut. Hegemoni Amerika Serikat di panggung global masih begitu dominan, seolah menjadi penentu moralitas dunia. Dalam situasi ini, seruan reformasi terhadap struktur PBB semakin relevan, terutama penghapusan hak veto di Dewan Keamanan.

Selama hak veto masih ada, sistem internasional akan tetap timpang, dan perdamaian sejati sulit terwujud. Dengan reformasi yang menghapuskan hak veto ini, semua negara akan lebih setara dan sistem PBB lebih demokratis lagi, bukan seperti sekarang: sistem berlangsung sebagai tatanan oligarkhi veto. Penghapusan veto akan memberikan kemudahan pencapaian perdamaian dunia, termasuk penyelesaian Israel-Palestina.

Pak Presiden, mari kita kembali ke akar diplomasi Indonesia: memperjuangkan kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan. Mari terus menyuarakan kelantangan semangat pasca kolonial dari Spirit Bandung! []

Musa Maliki adalah dosen Hubungan Internasional, UPN "Veteran" Jakarta. Ia memperoleh gelar PhD dari Charles Darwin University, Australia. Ia pernah mengajar di UI, UIN Syarif Hidayatullah, Paramadina, al Azhar Indonesia dan sekitar Jakarta. Selain itu, Ia juga pernah menjadi dosen tamu di UIN Ar-Raniry, UNHAS, UMY, UNSOED, Brawijaya dan lainnya. Ia reviewer di beberapa jurnal, penulis artikel jurnal nasional dan internasional, dan kolumnis di beberapa media nasional. Buku terbarunya, "Ilmu Hubungan Internasional Indonesia". Email musamaliki@upnvj.ac.id

Baca juga artikel terkait OPINI atau tulisan lainnya dari Musa Maliki

tirto.id - Kolumnis
Penulis: Musa Maliki
Editor: Redaksi