Menuju konten utama

Petugas PLBN Entikong: Demi Indonesia, Kami Bertaruh Nyawa

Para petugas pos perbatasan di Kalimantan Barat sudah biasa menghadapi protes warga, bahkan menerima ancaman dibunuh.

Petugas PLBN Entikong: Demi Indonesia, Kami Bertaruh Nyawa
Petugas bea cukai menjelaskan petunjuk pengisian customs declaration kepada pelintas di pintu kedatangan Pos Lintas Batas Entikong, Kalimantan Barat, Selasa (10/7/2018). Tirto.id/Aditya Putri

tirto.id - “Di sini perkara durian sama ayam saja membuat nyawa bisa melayang,” ujar Khaeruddin, Kepala Sub Seksi Pelayanan Operasional Karantina Pertanian Entikong.

Ia mengisahkan kepada saya mengenai beragam pengalamannya di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Indonesia di Entikong, kecamatan terakhir antara perbatasan Kalimantan Barat dan Serawak, Malaysia.

Saat itu Khaeruddin segera meminta ketiga anak buahnya untuk naik ke sebuah mobil. Meski berdesak-desakan, yang penting aman, pikirnya. Sebab, di depan gerbang pos perbatasan, mereka telah diadang beberapa orang bersepeda motor. Musababnya, mereka mengamankan 12 batang pohon durian yang dibawa dari Malaysia ke Indonesia.

Tak lama setelahnya, petugas Karantina Pertanian kembali harus pasang badan melawan warga yang kedapatan menyelundupkan enam ekor ayam. Si kurir membawa ayam seharga Rp6 juta per ekor itu, menerabas belasan kilometer jalanan becek di hutan. Malam hari, si kurir menuju Malaysia dan tiba kembali ke wilayah Indonesia sekitar pukul 7 pagi, lalu berpapasan dengan petugas. Tak mau usahanya sia-sia, ia memilih melawan petugas dengan menggunakan parang.

Jauh sebelum peristiwa ini, saat pos perbatasan Entikong belum serapi dan seketat sekarang, penjagaan lalu lintas darat masih berupa rantai, ditautkan pada tiang besi. Petugas lazim menghadapi para pelintas perbatasan yang nakal.

Ada yang bermodal nekat dengan menerabas palang rantai itu dengan sebuah mobil. Ada kejadian tabrakan antar-mobil karena rodanya tersangkut rantai portal. Ada kejadian warga sekitar marah-marah saat menghadapi pemeriksaan petugas pos perbatasan. Ada juga protes masyarakat menggeruduk pos perbatasan. Peristiwa-peristiwa ini terekam CCTV.

Kondisi Pos Lintas Batas Negara Indonesia di Entikong mulai rapi setelah dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada Desember 2016.

“Dulu sebelum dibangun," ujar Judi Susilo dari imigrasi, "antrean pelintas terlalu panjang dan terlihat seperti pasar, ruang kantor juga tidak layak dijadikan kantor. Sekarang sudah jauh lebih rapi."

Namun, pos perbatasan yang makin serius digarap oleh pemerintahan Jokowi ini justru bikin sulit kehidupan ekonomi sebagian warga. Mereka terbiasa mudah menuju wilayah Malaysia, menjual beragam hasil tani dengan harga tinggi. Mereka juga bisa menangguk untung ketika menjual kembali produk Malaysia ke wilayah Indonesia.

K. Tino, warga Entikong, mengaku kehidupan ekonominya lebih terasa mudah sebelum pos lintas batas dibangun. Kini ia mengeluh harus siap repot mengurus kartu pas lintas batas dan kartu identitas lintas barang untuk syarat berbelanja.

“Batas belanja yang ditetapkan juga sudah tidak relevan dengan harga sekarang. Apa guna border dibangun megah-megah? Belum ada manfaatlah,” ujarnya, ketus.

Prosedurnya memang begitu. Dalam aturan Border Trade Agreement alias Sosial Ekonomi Malaysia-Indonesia sejak 1970, warga perbatasan Entikong dan Sekayam hanya boleh berbelanja ke Malaysia maksimal 600 ringgit atau sekitar Rp2 juta per bulan per kepala. Barang yang dibeli mereka dibebaskan bea masuk dan pajak dalam rangka impor asalkan mereka memiliki kartu identitas lintas barang dari Kantor Bea Cukai setempat, dengan melampirkan kartu pas lintas batas dari imigrasi. Bila barang belanjaan mereka melebihi kuota, mereka akan dikenai cekal oleh petugas bea cukai.

Sebaliknya, warga selain Entikong dan Sekayam harus membayar bea bila membeli barang dari Malaysia. Akibat aturannya diperketat, warga melancarkan penolakan, cara-caranya sebagaimana terekam CCTV itu.

Infografik HL Indepth Perbatasan

Menerapkan Aturan Keras tapi Dilawan Warga

Selama saya di Entikong pada pertengahan Juli lalu, saya mendengar banyak cerita dari petugas pos perbatasan. Salah satunya pengalaman para pegawai Karantina Pertanian.

Mereka sempat menerapkan tindakan keras dengan menyita produk pertanian warga. Mereka berpegang pada perlindungan keanekaragaman hayati di Indonesia. Produk hewan dan tumbuhan yang masuk ke Indonesia harus bebas dari hama berbahaya. Warga yang membawa produk macam itu harus menyertai sertifikat kesehatan dari Malaysia.

Namun, tindakan ketat itu ditanggapi senewen warga. Mereka mencegat petugas di pintu gerbang pos perbatasan, mereka melempar batu ke mes pegawai karantina. Khawatir bisa berakhir ricuh, petugas karantina akhirnya melunak.

Warga kini boleh memasok produk pertanian dan hewan melebihi kuota pada waktu-waktu tertentu. Misalnya, saat pesta pernikahan atau pesta gawai dayak, dengan melampirkan surat rekomendasi dari pejabat daerah setempat seperti kepala desa, dusun, atau kecamatan.

“Pintu ekspor impor memang harus ketat. Harga produk di sebelah lebih murah dan banyak jenisnya. Jika kami tidak membatasi, habislah riwayat produk dalam negeri,” ujar Khaeruddin.

Saya juga bertemu dengan Rezky Syukron Eky, Pelaksana Pemeriksa Seksi Kepatuhan Internal dan Penyuluhan Bea Cukai Entikong. Ia yang membantu saya menunjukkan rekaman-rekaman CCTV yang menggambarkan protes dan sikap bandel warga, yang bikin petugas harus siap bertaruh nyawa.

Rezki termasuk petugas yang rajin memupuk kisah-kisah pekerjaannya di Entikong. Ia bilang kepada saya bahwa catatan ini untuk pengingat bahwa bertugas di perbatasan bukanlah perkara cari duit semata.

Di bawah ini salah satu kisahnya:

Awal tahun 2016 aku dipindahtugaskan ke Entikong, saat itu pembangunan PLBN belum lagi selesai. Rekan-rekan sejawat sedang sibuk menggalakkan aturan kepabeanan yang selama ini diabaikan masyarakat sekitar. Pelan-pelan mereka menerapkan adaptasi aturan pemeriksaan, dimulai hanya dengan memberhentikan kendaraan.

Berbulan-bulan hanya kegiatan itu yang mereka lakukan sampai masyarakat terbiasa. Baru kemudian adaptasi pemeriksaan berlanjut ke tahap membuka pintu mobil, kembali hingga berbulan-bulan lamanya. Sampai akhirnya mereka berhasil melakukan SOP pemeriksaan secara utuh hingga membongkar dan menyita barang bawaan pelintas.

Semua dilakukan bukan mulus saja, warga selalu melakukan perlawanan setiap transisi pemeriksaan. Apalagi saat percobaan sita pertama kali dilakukan, hampir terjadi bentrokan antara warga yang menganggap kami sok jagoan. Aku pun sempat mendapat giliran pengalaman buruk saat baru dua minggu bekerja di perbatasan.

Dua jam sebelum PLBN tutup, kami melakukan pengejaran pada kuli pikul bawang yang melewati jalur hutan. Barang bawaannya berhasil diamankan, tapi pemikulnya hilang di antara rimbunnya pepohonan. Tak selang berapa lama, setelah PLBN tutup pada pukul 17.00, selepas tim pertama pulang meninggalkan border, menyisakan tiga orang termasuk aku yang masih berada di perbatasan.

Kami melihat kuli-kuli pikul turun dari bukit, keluar hutan. Jumlahnya sampai 20-an orang, masing-masing membawa balok kayu atau parang yang diacung-acungkan pada kami. Rasanya saat itu aku sudah pasrah. Mereka semua mengelilingi kami sambil mengeluarkan segala makian dan umpatan.

“Jangan mentang-mentang kami rakyat kecil, kalian jadi semena-mena!”

“Berani macam-macam, nyawa kalian hilang!”

Untungnya saat itu kepolisian border lewat, aku sedikit tenang.

“Satu hari lagi bisa dilalui dengan selamat,” pikirku.

Kami pulang dikawal petugas kepolisian, diiringi tatapan benci dan umpatan yang tak sudah-sudah dari para kuli pikul.

Baca juga artikel terkait KONFLIK PERBATASAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fahri Salam