tirto.id - "Harga sabu cukup tinggi di Indonesia, satu gram bisa mencapai Rp1,4-1,6 juta. Sementara upah kurir sekali angkut dengan berat 1 kg diduga mencapai Rp60-180 juta,” ujar Baginda Rahmad Siregar, Pelaksana Pemeriksa Bea Cukai Entikong di Pos Lintas Batas Negara (PLBN).
Sambil bercerita tentang praktik penyelundupan narkoba yang marak terjadi di Etikong, ia memperagakan cara mengidentifikasi narkoba menggunakan alat deteksi narkoba kimiawi.
Alat itu terbuat dari plastik, memiliki klip penutup. Di dalamnya ada tiga tabung kecil berfungsi sebagai pendeteksi. Tabung-tabung itu akan berubah warna begitu sampel suatu zat diteteskan. Di PLBN Entikong, dibanding menggunakan alat tersebut, petugas lebih dituntut jeli mengamati barang yang diduga narkoba. Perkaranya, alat baru bisa digunakan saat barang bukti telah ditemukan.
Jalur penyelundupan narkoba di perbatasan terluar Indonesia ini masih serupa jalur-jalur lain untuk memasok barang atau buruh migran ilegal. Tapi, ada satu perbedaan mencolok pada jalur peredaran narkoba: masih ada kurir yang nekat membawa narkoba lewat jalur resmi dengan beragam taktik mengecoh.
Bahkan, menurut pengakuan Siregar, kewaspadaan mereka harus sampai pada tingkat mendeteksi obat-obatan, yang jika dipecah mengandung metamfetamina (sabu-sabu). Beberapa modusnya menyelipkan narkoba di kursi bus, di dalam guling, kemasan makanan/minuman ringan, kolong mobil, dan knalpot kendaraan.
Pada pertengahan 2017, Rezky Syukron Eky, petugas bea cukai, pernah membongkar modus penyelundupan sabu yang dikemas dalam bungkus teh. Kecurigaannya muncul saat barang milik pelintas dari Malaysia itu masuk ke mesin pemindai sinar-X.
Mesin pemindai sinar-X hanya akan mengelompokkan barang menjadi tiga warna: hijau untuk bahan non-organik seperti plastik; oranye untuk bahan organik laiknya baju atau kertas; dan biru sebagai penanda logam. Rezky dan rekannya saat itu melihat gumpalan berwarna hijau di sela-sela tumpukan berwarna oranye.
“Gumpalan sintetis apa yang disembunyikan di dalam baju?” katanya kala itu.
Setelah dibongkar, Rezky menemukan 4 kg sabu yang masih saja diklaim sebagai obat herbal oleh pemiliknya.
Data Bea Cukai Entikong terkait penangkapan narkoba menggambarkan selama 2016 ada tujuh kasus yang berhasil mereka ungkap. Ia menurun menjadi 5 kasus pada 2017, dan baru satu kasus ditemukan hingga pertengahan 2018.
Jenis narkoba yang paling sering ditemui adalah sabu karena harganya tinggi dan tidak diproduksi di Indonesia. Jenis kedua adalah ekstasi.
Penyelundupan narkoba memang jadi salah satu masalah besar bagi bea cukai dan kepolisian Entikong. Sebabnya, Entikong menjadi jalur favorit para penyelundup melewati Malaysia-Indonesia. Ada ratusan jalur tikus yang bisa dilalui, termasuk di kedua wilayah sayap pos perbatasan. Sementara jalur laut di wilayah pantai timur Sumatera dijaga petugas lebih ketat.
Saking serius dan menyita perhatian, pernah suatu ketika Rezky dan rekan-rekannya menindak pelintas yang mengakui sabu di mobilnya. Saat itu petugas bea cukai segera meminta pemilik mempreteli setiap bagian mobil dan memindainya satu per satu. Karena kesal dan capek, si pemilik mengakui pernyataannya guyon belaka.
“Dia anggap remeh dengan bilang ada sabu di belakang mobil, kita kerjain balik, suruh dia scan sampai bagian terkecil mobil,” ujar Rezky.
Penyelundupan Narkoba ke Balik Penjara
Selama setahun terakhir, jajaran Polsek Entikong telah berhasil menggagalkan tiga aksi besar penyelundupan narkoba dengan berat total mencapai 90 kg; selain kasus-kasus kecil dengan jumlah sabu di bawah 1 kg.
Beberapa kasus yang berhasil digagalkan di antaranya penyelundupan narkoba pada 10 Desember 2017. Anggota Polsek menangkap dua orang bersepeda motor Ninja melintasi Jalan Baru Patoka, Entikong. Mereka menemukan barang bukti sabu tiga kantong plastik besar dan 14 kantong plastik berisi pil ekstasi, yang disimpan dalam tas warna hitam.
“Kasus penyelundupan narkoba di Entikong memiliki periode tertentu. Jamak ditemukan di waktu-waktu perputaran uang besar di masyarakat, seperti tahun baru atau Lebaran,” kata Eeng Suwendi, Wakil Kepala Polsek Entikong kepada saya.
Sebulan kemudian, 30 Januari 2018, Polsek Entikong menggerebek penginapan Libas kamar nomor 29. Hasilnya, petugas menemukan modus penyembunyian narkoba dalam kepala charger di bawah ranjang. Setelah dibuka, ada empat paket plastik berisi sabu.
Pada Maret 2018, Polsek Entikong melakukan serangkaian penangkapan satu komplotan. Personel Polsek Entikong mendapati laporan tindak pidana narkotika di sebuah gang. Mereka mencegat seorang warga yang melintas, memeriksa badan, dan menemukan satu paket sabu diikat di pinggang.
“Penyelundup sering memanfaatkan waktu ketika anggota tidak patroli. Mereka juga punya sindikat dan mata-mata yang terorganisir,” jelas Suwendi.
Masih pada hari yang sama, Polsek Entikong menggerebek rumah di belakang terminal. Seorang penghuninya sempat membuang barang bukti 16 plastik kecil berisi sabu, tetapi kemudian ditemukan petugas.
Kepolisian Sektor Entikong pada Juni 2018 kembali berhasil menggagalkan usaha penyelundupan narkoba dari Malaysia ke Indonesia, dengan bantuan satuan pengaman pos perbatasan yang memeriksa tiga orang dari Malaysia.
Para penyelundup ini muncul dari jalan tikus, dibantu oleh warga setempat. Namun, mereka dipergoki petugas perbatasan saat melewati pos satuan pengaman Entikong. Hasilnya, polisi menemukan narkoba dibungkus plastik dan dilakban dalam tas ransel. Setelah bungkusan dibuka, ada sepuluh kantong plastik, masing-masing berisi seratus butir pil ekstasi merah muda.
Ada juga sepuluh kantong plastik masing-masing berisi seratus butir pil ekstasi oranye. Tiga kantong plastik sabu, 10 ribu butir obat merk Eremin 5, yang terdiri 40 ikat. Masing-masing ikat berisi 25 keping, dan masing-masing keping berisi sepuluh butir obat. Ketiga pelaku itu mengantar pesanan seorang di Lapas Kelas II Pontianak.
Mereka mendapatkan pasokan dari bandar di Malaysia, yang telah berjejaring dengan pemesan. Rencananya, narkoba kitu akan diantar ke kurir lain di Batulayang, Pontianak. Baru kemudian kurir menyerahkan kepada pemesan. Setelah ditelusuri, ternyata bandar di Malaysia memang memiliki pasar dari jaringan narkoba pemesan di lapas.
“Barang-barang itu banyak diambil dari Kuching," ujar Suwendi, "kerja kurir Kuching sampai Tebedu akan digantikan kurir Indonesia menuju Pontianak. Dari Pontianak, barang balik lagi ke sini dalam paket-paket kecil ukuran 10-15 gr."
Pada akhirnya, seberapa sering kurir-kurir penyeludup narkoba di Entikong ditangkap, alur peredaran narkoba di sana akan tetap ramai selagi Indonesia masih menjadi pasar potensial; ditambah upaya pengusutan sindikat yang selalu terbentur hukum dua negara. Suwendi mengakui kepolisian Indonesia hanya memiliki peluang sedikit untuk menangkap bandar dari Malaysia.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fahri Salam