tirto.id - Dahulu, ketika medium komunikasi masih begitu terbatas, cara berkomunikasi pun amat sederhana. Ketika seorang raja, misalnya, membutuhkan patihnya, dia akan mengutus seseorang untuk memanggil sang patih, lalu patih dan raja itu bakal berbicara empat mata.
Dengan surat pun begitu. Jika ada surat yang dikirimkan seseorang, otomatis langkah yang benar adalah menulis surat balasan. Di zaman telepon juga demikian. Manakala seseorang meninggalkan pesan lewat telepon karena kita tidak menjawabnya, yang harus kita lakukan adalah menelepon balik.
Lantas, bagaimana jika perangkat komunikasi yang ada sekarang memungkinkan kita melakukan segalanya? Tak cuma menulis pesan, kita juga bisa menelepon, bertatap muka lewat panggilan video, mengirim rekaman suara, mengirim surat elektronik, bahkan mengirim media berupa gambar, video, dan gif.
Dengan banyaknya kemungkinan seperti ini, terkadang, kita justru harus berpikir dua kali. Apa langkah yang tepat jika seseorang, misalnya, menelepon berulang kali tanpa kita jawab? Haruskah kita langsung meneleponnya balik atau menjelaskan terlebih dahulu lewat pesan teks mengapa kita tidak menjawab panggilannya?
Faktor-faktor Penentu Secara Umum
Bicara soal gaya komunikasi berarti bicara soal latar belakang seseorang. Berapa usianya, dari mana dia berasal, dan seperti apa sifatnya.
Dari segi usia, mungkin Anda sudah bisa menebak seperti apa preferensinya. Anak-anak muda cenderung lebih suka mengirim pesan teks, sementara generasi yang lebih dulu ada memilih telepon atau berbicara langsung. Ini semua bisa dibuktikan lewat hasil riset yang telah dilakukan berbagai lembaga.
Berdasarkan riset Webex, lebih dari 70 persen Gen Z dan Milenial lebih suka mengirim pesan teks daripada telepon. Salah satu alasannya adalah karena komunikasi via pesan teks memungkinkan mereka untuk mengontrol kapan dan bagaimana merespons sebuah pesan.
Sementara itu, menurut survei internasional YouGov pada 2023, ditemukan hanya 19 persen orang dewasa berumur 18-24 yang memilih telepon ketika berkomunikasi dengan orang tercintanya. Sebagai perbandingan, di kelompok usia 55 tahun ke atas, persentasenya mencapai 35 persen.
Survei tersebut memang tidak menyertakan alasan di balik preferensi yang ada. Akan tetapi, beberapa sumber lain menyebut bahwa orang yang lebih tua lebih suka menelepon karena kebiasaan lama, rasa nyaman ketika mendengarkan suara orang tercinta, serta keinginan untuk menghindari salah paham. Untuk faktor ketiga, ini terbukti pula dari bagaimana orang yang lebih tua memilih customer service berbasis telepon dibanding digital atau chatbot.
Selain faktor usia, budaya juga berpengaruh. Antropolog Edward T. Hal, pada 1959, membagi masyarakat dunia ke dalam dua spektrum besar: masyarakat konteks tinggi (high-context) dan konteks rendah (low-context). Masyarakat konteks tinggi, yang biasanya ditemukan di Asia dan Afrika, menggunakan banyak komunikasi nonverbal dan tidak langsung. Sebaliknya, masyarakat konteks rendah seperti orang-orang Amerika dan Eropa sangat mengandalkan komunikasi verbal.
Hasilnya, ketika berkomunikasi, orang-orang Asia dan Afrika cenderung lebih suka berkomunikasi via telepon atau tatap muka. Pasalnya, dari sana kita bisa mendengar nada bicara, gerak-gerik tubuh, dan hal-hal subtil lain yang mengisyaratkan intensi tertentu. Di sisi lain, orang-orang Eropa dan Amerika cenderung lebih lugas dalam menyampaikan pesan sehingga acap kali semua cukup dilakukan dengan teks, baik lewat surat, SMS, email, maupun aplikasi. Inilah yang kemudian berkembang menjadi media richness theory.
Media richness theory diperkenalkan pada 1986 oleh Richard L. Daft dan Robert H. Engel. Menurut mereka, semakin banyak informasi yang tersampaikan, semakin kaya sebuah media. Dengan kata lain, cara berkomunikasi seperti bertemu langsung atau video call adalah media komunikasi yang "kaya". Hal sebaliknya berlaku pada cara berkomunikasi via teks yang mereka anggap lebih "ramping" dan "kurang efektif".
Faktor terakhir yang memengaruhi preferensi komunikasi adalah peran dari teknologi. Inilah yang acap kali membuat dua faktor di atas jadi tidak berlaku. Keberadaan aplikasi seperti WhatsApp, misalnya, membuat seseorang bisa berkomunikasi dengan lebih dari satu cara. Semakin terbiasa seseorang menggunakan WhatsApp, semakin fasih pula dia menggunakannya untuk berbagai kepentingan.
Inilah mengapa, meskipun ada orang tua yang bahkan tidak tahu caranya mengetik pesan teks di WhatsApp, di saat bersamaan ada orang tua lain yang bahkan sudah terbiasa membalas pesan dengan stiker maupun gif. Di saat ada orang tua yang sama sekali tidak tahu cara membuka WhatsApp meski memiliki ponsel pintar, ada orang tua lain yang sama sekali tidak canggung melakukan video call.
Konteks Indonesia
Secara umum, apa yang terjadi di Indonesia tidak berbeda jauh dengan yang terjadi di seluruh dunia. Di sini, sejak 2011, berkomunikasi via pesan teks sudah dianggap lumrah dan jamak ditemukan. Menurut temuan Pew Research Center 14 tahun lalu, 96 persen pengguna ponsel di Indonesia sudah terbiasa mengirim pesan teks.
Namun, di saat yang bersamaan, menurut temuan YouGov pada 2023, orang Indonesia termasuk yang paling doyan melakukan video call. Artinya, kendati komunikasi yang ramping dan berkonteks rendah sudah menjadi primadona, media komunikasi yang kaya dan berkonteks tinggi masih sangat dihargai. Ini, tentunya, tidak bisa dilepaskan dari sifat masyarakat Indonesia yang kolektivis dan biasa berkomunikasi dengan cara nonverbal.
Kemudian, ketika kita bicara soal usia, hal ini sebenarnya tidak terlalu berpengaruh. Tidak sedikit Milenial yang lebih suka menelepon ketimbang mengirim pesan teks. Di sisi lain, tak jarang kita temukan Baby Boomers yang tidak cuma mampu menggunakan WhatsApp, tetapi juga bisa melakukan video call dan membalas pesan teks dengan fitur stiker serta gif. Lagi-lagi, ini menegaskan klaim di atas.
Di Indonesia penetrasi smartphone pada 2023 sudah mencapai 68,1 persen dan, diperkirakan, pada 2029, penetrasi bakal mencapai 97 persen. Artinya, mayoritas orang Indonesia kini telah terpapar teknologi dan mereka mampu memanfaatkan itu untuk berkomunikasi dengan cara yang mengombinasikan budaya tradisional dengan sentuhan modern.
Semua Tergantung Orangnya
Pada akhirnya, tidak ada satu faktor tertentu yang menentukan preferensi komunikasi seseorang. Sebuah preferensi bisa dibentuk oleh berbagai hal yang ada dalam kehidupan orang tersebut. Tua bukan berarti lebih suka menelepon dan muda bukan berarti tidak suka menelepon. Semua tergantung orangnya.
Preferensi komunikasi, meski bisa dijelaskan, bukanlah ilmu pasti karena itu semua berkaitan dengan sisi kemanusiaan seseorang. Bagaimana dia dibesarkan, bagaimana kondisinya sekarang, apakah dia merasa aman dan nyaman atau tidak, semua bisa terlihat dari preferensi komunikasi.
Dan menariknya lagi, semua itu bisa berubah kapan saja. Seseorang yang tadinya cenderung menutup diri dan memilih komunikasi via teks karena dia membutuhkan kontrol lebih, bisa tiba-tiba menjadi lebih terbuka dan memilih telepon atau panggilan video.
Maka, hal terpenting dari memahami preferensi komunikasi seseorang sebenarnya adalah memahami orang tersebut. Oleh karena itu, kendati kita pasti punya preferensi sendiri-sendiri juga, langkah terbaik untuk berkomunikasi adalah menyesuaikan diri pada situasi yang ada dan memilih opsi yang sekiranya bakal membuat lawan bicara kita nyaman. Toh, teknologi sudah memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan berbagai metode. Jadi, tidak ada yang sulit, bukan?
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi