Menuju konten utama

Perpres Ekstremisme Jokowi Rentan Memicu Aksi Kekerasan Baru

Perpres Jokowi dapat melahirkan konflik dan berbuah kekerasan baru. Padahal peraturan dibuat untuk menanggulangi kekerasan yang mengarah ke terorisme.

Perpres Ekstremisme Jokowi Rentan Memicu Aksi Kekerasan Baru
Presiden Joko Widodo menjawab pertanyaan terkait Abu Bakar Ba'asyir di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (22/1/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) pada 6 Januari lalu. Berbagai pihak langsung memberikan kritik sebab menilai peraturan ini justru memicu masalah baru alih-alih menanggulangi kekerasan yang mengarah pada terorisme.

Perpres itu terbit berdasarkan beberapa pertimbangan. Salah satunya: “Semakin meningkatnya ancaman ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.” Situasi ini “telah menciptakan kondisi rawan yang mengancam hak atas rasa aman dan stabilitas keamanan nasional.”

Pertimbangan lain yang tercantum dalam dalam perpres adalah: “Bahwa dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, diperlukan suatu strategi komprehensif, untuk memastikan langkah yang sistematis, terencana, dan terpadu dengan melibatkan peran aktif seluruh pemangku kepentingan.”

Berdasarkan perpres itu, pemerintah akan membuat sebuah lembaga bernama Sekretariat Bersama RAN PE, yang terdiri dari Kemenkopolhukam, Kemenko PMK, Bappenas, Kemendagri, Kemlu, dan BNPT. Lembaga itu akan dipimpin oleh seorang kepala badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme. Sekretariat RAN PE ini dapat menerima laporan dari berbagai pihak yang mendeteksi dan menduga adanya tindakan-tindakan yang mengarah pada terorisme.

Perpres juga memberikan kesempatan bagi masyarakat sipil untuk bisa melakukan pemolisian atas dugaan tindakan-tindakan yang mengarah pada terorisme. Hal tersebut tercantum dalam pasal 8: “Dalam melaksanakan RAN PE, kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dapat bekerja sama dan melibatkan peran serta masyarakat.” Lebih detail lagi, dalam lampiran perpres tertulis: “Pelatihan pemolisian masyarakat yang mendukung upaya pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah ke terorisme.”

Program pelatihan dibuat untuk merespons keperluan peran kepolisian masyarakat dalam mencegah ekstremisme. Pelatihan itu diharapkan dapat meningkatkan kesadaran, pemahaman, dan keterampilan polisi serta masyarakat dalam upaya pencegahan ekstremisme.

Program ini akan menjadi tanggung jawab Polri dan akan dibantu oleh BNPT.

Diskriminatif dan Rentan Memicu Konflik

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai aturan ini dapat menjadi legitimasi diskriminasi terhadap warga yang dianggap memiliki cara beragama dan kepercayaan yang berbeda dengan mayoritas. Padahal minoritas pun memiliki hak yang sama dalam beragama dan berkeyakinan.

“Kami menilai bahwa ada kecenderungan untuk membuat peraturan yang sangat luas sehingga rentan disalahgunakan dalam upaya-upaya kontra terorisme yang dilakukan negara. Jangan sampai perpres ini menjadi salah satunya,” kata Usman dalam keterangan tertulis, Senin (18/1/2021) malam.

“Pihak berwenang harus memastikan bahwa pelibatan masyarakat tidak menimbulkan kecurigaan dan konflik horizontal baru antar warga. Melibatkan masyarakat dalam pendekatan kultural melalui cara-cara dialog kebudayaan lebih tepat ketimbang pendekatan hukum kriminal melalui cara-cara pelaporan.”

Usman mengingatkan agar setiap kebijakan penanggulangan terorisme didasari prinsip kehati-hatian dan HAM. Tujuannya agara kebijakan tetap menghormati kebebasan berkeyakinan, beragama, dan berkepercayaan.

“Jangan sampai perpres ini melahirkan peraturan yang sifatnya diskriminatif, seperti peraturan terhadap Ahmadiyah yang dikeluarkan di beberapa provinsi, kabupaten, dan kota yang membatasi kegiatan dan ibadah mereka,” kata dia.

Hasil dari itu terlihat jelas: Ahmadiyah terus-menerus menjadi korban intoleransi dan diskriminasi.

Bukan tanpa alasan Usman mengutip kasus Ahmadiyah. Perda tersebut mengutip Surat Keputusan Bersama Menteri No. 3/2008 yang melarang Ahmadiyah mempromosikan kegiatan dan menyebarkan ajaran mereka.

Usman mengingatkan kembali bahwa seluruh individu berhak memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya. Ia dijamin dalam Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR)—yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Hak atas kebebasan berpikir, berhati nurani, beragama, dan berkeyakinan juga telah dijamin dalam Konstitusi khususnya pasal 29 (2) tentang kebebasan beragama dan beribadah dan pasal 28E (2) UUD 1945 tentang kebebasan berkeyakinan.

Khairul Fahmi, pengamat keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), juga mengkritik perpres tersebut karena seolah ingin mendorong dan memberikan kesempatan kepada individu untuk bisa melakukan pemolisian ke sesama warga. Menurutnya, jika rambu-rambunya tak disiapkan dan disosialisasikan dengan baik, potensi konflik horizontal dan pelanggaran HAM akan meningkat.

“Melalui praktik-praktik intoleransi baru, persekusi, bahkan kekerasan berbasis penistaan, apalagi dengan telah diakomodirnya berbagai bentuk sistem pengamanan lingkungan swakarsa,” kata dia saat dihubungi wartawan Tirto, Senin malam.

Fahmi juga menyoroti bagaimana media dan pers juga dilibatkan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme. Kata dia, pelibatan itu juga harus dilakukan dengan hati-hati dan tetap bersandar pada prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan pers.

“Tak perlu secara ambisius mengendalikan informasi, karena itu akan kontraproduktif di tengah upaya meningkatkan kepercayaan dan dukungan publik atas kerja-kerja penegakan hukum dan demokratisasi,” kata dia.

“Saya kira kita semua sepakat bahwa kekerasan ekstrem dan teror harus dapat dihilangkan dari tanah air, namun tentunya kita tak ingin melihat aksi-aksi pemberantasan yang lebih menakutkan dan eksesif ketimbang aksi teror itu sendiri,” tambahnya.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menjelaskan lebih lanjut apa alasan pemerintah mengajak publik dapat terlibat dalam pemolisian--yang rentan memicu dampak negatif sebagaimana dikhawatirkan banyak pihak. Salah satu alasannya adalah keterbatasan aparat. Semua, katanya, tak bisa diserahkan ke polisi langsung.

“Kita mesti rasional. Jumlah polisi kita itu sekitar 470.000, jumlah penduduk kita anggaplah 270 juta. Jadi kalau dihitung satu polisi itu harus mengelola 500, padahal di Jepang itu hanya 1 banding 50,” kata Moeldoko di Jakarta, Rabu (20/1/2021).

Baca juga artikel terkait EKSTREMISME atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - News
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino