Menuju konten utama

Di Tengah Pandemi, Perlu Totalitas Menghadang Ekstremisme

Ide tentang intoleransi dan ekstremisme kekerasan makin mudah tersebar.

Di Tengah Pandemi, Perlu Totalitas Menghadang Ekstremisme
ilustrasi setop ekstrimisme kekerasan. foto/istockphoto

tirto.id - Sejak tiga bulan terakhir, Pemerintah Indonesia jadi makin sibuk. Selain menangani pandemi yang jumlah pasien positifnya terus naik, pemerintah tetap harus menjaga negara dari ancaman ekstremisme dan intoleransi yang bisa berujung ke tindakan terorisme. Paling baru, Tim Detasemen Khusus atau Densus 88 Antiteror Mabes Polri bersama Brimob Polda Kalimantan Barat menangkap AR (21).

Pria yang tinggal di Kabupaten Mempawah ini ditangkap Polisi pada Jumat (5/6). “Awalnya aktivitas yang bersangkutan memang belum tampak. Tapi akhirnya AR berani tampil sebagai relawan ISIS yang diunggahnya di akun Facebook-nya,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen (Pol) Awi Setiyono.

AR adalah contoh bagaimana ide tentang intoleransi dan ekstremisme kekerasan makin mudah tersebar. Mereka memakai isu terkini untuk mendelegitimasi pemerintah, misalkan tentang bagaimana negara dianggap gagal menangani pandemi ini. Narasi seperti ini dimainkan untuk menyebarkan ujaran kebencian, yang sasarannya merentang dari kaum minoritas, tenaga kesehatan, bahkan pemerintah.

Persatuan Bangsa-Bangsa bahkan sudah memperingatkan betapa bahayanya, “...tsunami kebencian” yang lahir di masa pandemi ini. Di Indonesia, kasus ujaran kebencian dan hoaks terus bermunculan. Menurut data Polda Metro Jaya, selama April-Mei, ada 433 kasus hoaks dan ujaran kebencian yang masuk ke meja mereka.

Bentuk kabar bohong dan ujaran kebencian ini, salah satunya, adalah tentang pelarangan ibadah beramai-ramai di Masjid, yang kemudian dipelintir sebagai bentuk pelarangan ibadah dan penindasan umat Islam. Dari narasi itu, mudah untuk menjadikan umat Islam sebagai kaum yang “terzalimi”, dan karenanya pemerintah harus dilawan. Narasi kebencian seperti ini akan sangat mudah berujung pada ekstremisme, bahkan terorisme. Dan, negara akan semakin kerepotan, apalagi ditambah terpecahnya konsentrasi untuk menangani pandemi ini.

“Kesibukan pemerintah dalam penanganan Covid-19 bisa menjadi celah bagi datangnya ancaman-ancaman, termasuk gangguan keamanan nasional," kata Stanislaus Riyanta, pengamat intelijen dari Universitas Indonesia (UI).

Menangani aksi terorisme dan ekstremisme tidak bisa setengah-setengah. Pemerintah perlu melakukan banyak daya dan upaya untuk mencegah tindak terorisme, bukan sekadar respons yang dilakukan ketika aksi teror sudah terjadi. Banyak negara memahami betul bahwa dalam kasus terorisme, adagium lama “mencegah lebih baik daripada mengobati” masih terus dipraktikkan.

Di Eropa dan Amerika, menurut laporan European Parliament, bujet untuk melawan terorisme (counter terrorism) terus meningkat dari tahun ke tahun. Di Amerika Serikat, sejak 2001, rata-rata bujet kontra terorisme mencapai 360 miliar dolar per tahun. Sedangkan Office of Counter-Terrorism di Perserikatan Bangsa-Bangsa mendapat 4 persen dari total bujet PPB keseluruhan, dan mereka rutin mendapat dana dari para negara donor. Jumlah dana donor pada 2019 mencapai 238 juta dolar, dengan Arab Saudi sebagai negara penyumbang paling besar.

Pada 2018, bujet terbesar Office of Counter Terrorism di PBB (48 persen) digunakan untuk “...mencegah dan melawan eksteremisme”, dan pada 2019, bujet terbesar (36 persen) digunakan untuk “...melawan terorisme”, dan diikuti oleh tindakan pencegahan dan perlawanan ekstremisme (26 persen). Ini membuktikan bahwa pencegahan tindakan ekstremisme—yang bisa berujung pada tindakan terorisme—adalah hal penting.

"Terorisme itu kekerasan berbasis ekstremisme, berbasis kekerasan, itu adalah ancaman global, bukan hanya ancaman negara saja. Tentu penanganannya memerlukan penanganan yang komprehensif. Penanganan yang sifatnya bukan cuma koordinasi antarnegara tetapi juga koordinasi dengan para pemangku kepentingan, baik dengan pemerintah maupun masyarakat umum lainnya," ujar Direktur Wahid Foundation (WF), Yenny Wahid setelah bertemu Menko Polhukam di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (13/1).

Kerja Bersama

Senada dengan Yenny, Sri Yunanto, Dosen Pemikiran dan Gerakan Politik Islam, Program Sarjana dan Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Indonesia menyebut tantangan terbesar pemberantasan terorisme saat ini adalah belum adanya strategi nasional untuk menanggulangi radikalisme dan terorisme.

“Strategi yang ada dinilai masih bersifat sektoral kementerian dan lembaga, belum strategi yang bersifat lintas, dengan perincian yang jelas, siapa melakukan apa, dan tidak terpisahkan satu dengan yang lain,” kata Sri, dalam Diskusi Lintas Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait isu radikalisme dan terorisme di Kantor Staf Presiden, 3 Maret 2017 lalu.

Bertolak dari kondisi demikian maka Wahid Foundation—bersama jaringan organisasi masyarakat sipil lain dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)—mendorong lahirnya Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme Kekerasan (RAN PE).

RAN PE terdiri atas 3 pilar, yakni Pencegahan (Kesiapsiagaan, Kontra Radikalisasi, Perlindungan); Penegakan Hukum dan Penguatan Kerangka Legislasi; serta Kemitraan dan Kerjasama Internasional. Meski sudah disusun sejak 2017 lalu, dokumen tersebut belum juga disahkan pemerintah.

“Dokumen itu berisi aksi-aksi strategis bagaimana Kementerian/Lembaga mengatasi ekstremisme kekerasan, mulai pencegahan, hingga deradikalisasi,” terang Yenny.

Adapun tujuan disusunnya RAN PE adalah meningkatkan ketahanan masyarakat dari ancaman ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme; serta meningkatkan perlindungan hak atas rasa aman warga negara dari ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.

Yenny konsisten menyuarakan pentingnya RAN PE sebab menurutnya selalu ada ruang yang tak bisa dimasuki pemerintah dalam kehidupan bermasyarakat, sedangkan di saat bersamaan peran masyarakat sendiri belum maksimal.

“Kami juga menyoroti bagaimana sinergitas antara kementerian lembaga serta masyarakat sipil, juga soal data—perlu adanya big data—yang bisa lebih luas diakses banyak pihak sehingga memudahkan penanggulangan terhadap bahaya-bahaya yang berkaitan dengan ekstremisme berbasis kekerasan," sambung Yenny.Infografik Advertorial Wahid Foundation

Infografik Advertorial Cegah Ekstremisme Sebelum Membesar. tirto.id/Mojo

Sekolah Damai

Wahid Foundation (WF), lembaga yang didirikan dengan tujuan, antara lain, memajukan visi kemanusiaan dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam memajukan pengembangan toleransi dan memperluas nilai-nilai perdamaian dan non-kekerasan di Indonesia dan di seluruh dunia, memang punya perhatian besar terhadap isu-isu terorisme.

Selain terlibat dalam penyusunan dan memberi masukan bagi rancangan RAN PE, WF juga menggagas sejumlah program untuk mewujudkan visi-visinya, salah satunya adalah Sekolah Damai, yakni sebuah program dan gerakan kaderisasi untuk mencetak aktor-aktor perdamaian baru yang berbasis pada nilai dan gerakan yang diperjuangkan KH Abdurrahman Wahid. Sekolah Damai ini adalah contoh apik RAN PE di tataran pelaksanaan. Ia adalah contoh penguatan ketahanan berbasis sekolah.

Pendidikan damai di sekolah menjadi penting mengingat besarnya potensi intoleransi dan ekstremisme di dunia pendidikan. Ini mengingatkan kita pada hasil survei yang pernah dilakukan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian sejak Oktober 2010 hingga Januari 2011. Dalam riset lembaga yang dipimpin oleh Bambang Pranowo, guru besar sosiologi Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, disebutkan bahwa bahwa 50 persen pelajar setuju tindakan radikal. Ada 52,3 persen siswa yang setuju kekerasan atas nama solidaritas agama, dan 14,2 persen membenarkan serangan bom.

Apa yang dilakukan oleh Sekolah Damai adalah angin segar di antara potensi intoleransi dan ekstremisme di sekolahan. Sekolah Damai, digagas sejak 2017, punya target melestarikan budaya damai di sekolah dengan menjalankan 3 pilar, yakni kebijakan sekolah, praktik toleransi dan perdamaian, serta pengelolaan organisasi kesiswaan. Pada Februari lalu, program tersebut digelar dengan melibatkan peserta dari empat provinsi: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

"Program Sekolah Damai ini sangat bagus sekali dan patut diterapkan tidak hanya di sekolah-sekolah, melainkan juga pada lembaga pemerintah lainnya, mengingat dampak dari Sekolah Damai ini berhasil mengurangi perselisihan dan menciptakan kedamaian di lingkungan sekolah di mana saya mengajar," kata Tatik Kustini, Guru SMAN 2 Surabaya.

Tutik menambahkan, hal paling konkret dari keberhasilan Sekolah Damai tampak pada kerja sama warga sekolah silih bahu melaksanakan peringatan hari-hari besar keagamaan, tanpa pandang bulu. “Stakeholder pemerintah hendaknya turut mendukung kegiatan yang diinisiasi oleh Wahid Foundation ini mengingat program ini bukan hanya demi kepentingan sekolah melainkan keutuhan Bangsa secara keseluruhan, apalagi di tengah maraknya aksi kekerasan dan gerakan separatisme yang melibatkan anak muda,” sambung Tutik.

Program Sekolah Damai ini juga mendapat apresiasi dari Nur Kholik, Kabid Pendidikan Madrasah Kanwil Kementerian Agama Jawa Tengah. Dia berharap program Sekolah Damai ini bisa diperluas lagi di sekolah-sekolah lain. Menurut Nur Kholik, program Sekolah Damai ini sejalan dengan misi Kementerian Agama dalam menjaga kerukunan beragama dan meningkatkan pemahaman tentang nilai-nilai keagamaan.

“Saya kira penting untuk menularkan nilai-nilai perdamaian yang diajarkan Gus Dur untuk menjadi praktik keberagamaan di lingkungan sekolah,” ujar Nur Kholik.

Sementara Amalia Dwi Fitria, siswi SMAN 7 Semarang, menyebut program Sekolah Damai telah mengubah cara berpikirnya dalam memandang perbedaan. Hal demikian muncul setelah, salah satunya, Amalia dan peserta lain masuk ke sesi Ask Me Anything—satu sesi di mana para peserta yang terdiri atas 40 siswa-siswi itu dibolehkan bertanya kepada 7 pemeluk agama dan keyakinan sesuai dengan batas wajar.

"Ini sesi paling berkesan untuk kami karena dalam sesi ini kami diizinkan bertanya langsung kepada pemeluk agama dan keyakinan lain di luar Islam sehingga akhirnya membuat kami lebih menghargai perbedaan akan keyakinan seseorang.”

Dan, sebab terorisme serta ekstrimisme senantiasa berlangsung dalam segala situasi, maka upaya pencegahan dan penanggulangannya tak bisa dilakukan setengah hati. Lewat RAN PE dan Sekolah Damai—juga program-program lain yang satu sama lain saling bersinergi—WF telah menunjukkan upaya berkelanjutan membumikan kedamaian di negeri ini. Tentunya, WF tak bisa bekerja sendiri.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis