tirto.id - Pemerintah Kota Depok telah menyegel Masjid Al-Hidayah, di Sawangan, Depok, Jawa Barat, pada Sabtu malam. Ini penyegelan kesekian kali oleh pemerintah kota terhadap masjid Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Wali Kota Depok Muhammad Idris mengklaim penyegelan markas Ahmadiyah di Jalan Raya Mochtar itu "telah sesuai dengan aturan yang berlaku." Salah satunya, berdasarkan Fatwa MUI tahun 2005, yang menuduh Ahmadiyah sebagai "aliran sesat."
Selain itu, ada SKB 3 Menteri Tahun 2008 dan Pergub 12/2011 tentang larangan kegiatan Jemaah Ahmadiyah di Jawa Barat, serta peraturan pelarangan Ahmadiyah No. 9/2011 tentang larangan kegiatan Ahmadiyah di Kota Depok.
Menurut Idris, Pemkot Depok melakukan langkah antisipatif dalam apa yang disebutnya "menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat". Dalihnya, merespons laporan masyarakat mengenai "potensi konflik terkait aktivitas jemaah Ahmadiyah di Depok."
“Pemkot Depok mempunyai kewajiban menjamin situasi Depok yang aman dan nyaman, tidak ada konflik di masyarakat,” kata Idris dalam keterangan pers, di Balaikota, Minggu sore kemarin, seperti dikutip Antara.
Alamsyah M. Dja'far, peneliti dari The Wahid Institute, organisasi pemantau kebebasan beragama dan hak asasi manusia, menyayangkan sikap Pemkot Depok menyegel masjid milik jemaah Ahmadiyah. Alam menyebut penyegelan itu sebagai "tindakan diskriminatif."
Menurut Alam, langkah Pemkot Depok menyegel masjid Ahmadiyah patut dipersoalkan sebab mengancam kebebasan beragama dan berkeyakinan, yang dijamin undang-undang. Kalaupun ada kelompok lain yang menganggap ajaran Ahmadiyah berbeda, kata Alam, tugas pemerintah seharusnya memfasilitasi dialog.
“Pemkot Depok tidak boleh berpihak pada kelompok tertentu, karena pemerintah harus berpihak pada semua, harus netral” kata Alam kepada Tirto.
Alam mempertanyakan alasan ketertiban dan keamanan yang diklaim Pemkot Depok sebagai salah satu dalih melakukan penyegelan. Menurut Alam, soal “ketertiban” adalah masalah tafsir, tergantung siapa yang mengartikan. Dalam hal keagamaan, kata Alam, sangat sulit untuk mengukurnya.
“Itu, kan, harus diukur. Apakah kalau ada yang tidak sepaham kemudian dianggap meresahkan?” ujarnya.
Sekretaris Bidang Hubungan Luar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Kandali Achmad Lubis, "sangat menyayangkan tindakan penyegelan" tersebut. Apalagi itu dilakukan di tengah promosi da upaya negara mendorong masyarakat menghormati keragaman, kebinekaan. Tetapi, sebaliknya, "masih ada diskriminasi terhadap anak bangsa" di tempat ibadahnya sendiri.
“Prihatin sekali. Salah kita apa? IMB masjid, kok disegel? Di sini masih terjadi diskriminasi anak bangsa,” katanya.
Ia menganggap Walikota Depok Muhammad Idris melalui Satpol PP telah melakukan persekusi terhadap jemaah muslim Ahmadiyah dengan menutup paksa masjid yang dikelola komunitas Ahmadiyah di daerah Sawangan, Depok, dan melarang warganya sendiri beribadah.
Karena itu, kata Kandali, Jemaat Ahmadiyah Depok akan menempuh upaya hukum mengenai penutupan itu. "Ini penyegelan paksa untuk ketujuh kalinya,” ujarnya.
Alamsyah M. Dja'far, dihubungi secara terpisah, berkata "mendukung langkah hukum yang akan ditempuh oleh JAI." Ia menilai langkah tersebut sangat baik untuk menyelesaikan persoalan penyegelan masjid Ahmadiyah. Apalagi, dalam kasus ini, ada tekanan massa yang menginginkan agar Pemkot Depok melarang Ahmadiyah di Depok.
Aktor Negara Ikut Berperan
Tindakan intoleransi yang dialami Jemaat Ahmadiyah Indonesia bukan kali ini saja. Sebagai kelompok minoritas, ia seringkali menjadi target tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hal ini dapat dilihat dari laporan tahunan Komnas HAM maupun Setara Institute.
Berdasarkan catatan Setara Institute, sejak 2012 sampai 2015, JAI menjadi korban pelanggaran hak-hak konstitusional dalam isu keagamaan atau keyakinan dalam 164 peristiwa. Jumlah ini menunjukkan betapa intens komunitas muslim Ahmadiyah menjadi sasaran intoleransi dan persekusi.
Laporan tahunan Komnas HAM menunjukkan, dari Januari-Desember 2016, ada 22 dari 97 pengaduan pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terhadap JAI. Jumlah itu naik dari 17 pengaduan pada 2015. Data ini menunjukkan persekusi terhadap muslim Ahmadiyah masih jadi masalah serius di bawah pemerintahan Joko Widodo.
Sejumlah riset baik oleh Komnas HAM, Setara Institute, dan Wahid Institute, yang mereka rilis setiap tahun, kerap menyebutkan bahwa pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, adalah pelaku terbanyak yang melakukan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Sejak era Susilo Bambang Yudhoyono, pelanggaran terhadap kebebasan beragama meningkat, tidak hanya pada Ahmadiyah, tetapi pada kelompok minoritas Syiah, Baha'i, Kristen, dan Gafatar.
Bentuk pelanggarannya beragam, dari penyegelan rumah ibadah, pengusiran, hingga pemenjaraan. Pada 6 Februari 2011, tiga muslim Ahmadiyah tewas dalam serangan brutal di Cikeusik, Banten.
Intoleransi menjadi pembicaraan publik selama beberapa tahun. Dalam kasus terbaru bahkan populer sebutan "persekusi" sesudah vonis terhadap Basuki "Ahok" Thajaja Purnama karena dakwaan penodaan agama.
Pemerintahan Jokowi, termasuk pada 1 Juni kemarin, menegaskan ide "Pancasila" sebagai basis negara, dan dirayakan secara resmi sebagai upaya negara menetralisir kekerasan berbasis sentimen agama.
"Kami tidak pernah teriak-teriak bunuh orang," ujar Kandali Lubis dari JAI. "Motto kami adalah Love for All, Hatred for None."
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Fahri Salam