Menuju konten utama

Perpres Dicabut, Bagaimana Kondisi Industri Miras di Indonesia?

Permintaan miras Indonesia tinggi. Buktinya penjualan produsen lokal dan impor meningkat.

Perpres Dicabut, Bagaimana Kondisi Industri Miras di Indonesia?
Barang bukti minuman keras (miras) hasil tangkapan aparat kepolisian Polda Jambi diperlihatkan sebelum dimusnahkan di Mapolda Jambi, Jumat (26/5). ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan

tirto.id - Presiden Joko Widodo batal mengizinkan investor asing, pemilik modal dalam negeri, sampai UMKM untuk membuka usaha terkait minuman beralkohol (minol). Lampiran peraturan terkait resmi dicabut kemarin (2/3/2021).

“Lampiran perpes terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras--yang mengandung alkohol, saya nyatakan dicabut,” kata Jokowi.

Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 soal Bidang Usaha Penanam Modal, yang ditetapkan pada 2 Februari lalu--hanya berusia satu bulan dan baru ramai dibicarakan beberapa hari terakhir--menyebutkan salah satu daftar bidang usaha yang diperbolehkan dengan persyaratan tertentu adalah industri miras. Syarat yang dimaksud adalah investasi hanya dapat ditanam di Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Di luar itu investasi bisa jalan asal berdasarkan usulan gubernur untuk ditetapkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Jika tetap berlaku, aturan ini sebenarnya membuat industri minol keluar dari daftar bidang usaha tertutup untuk investasi dalam Perpres 44/2016--disebut Daftar Negatif Investasi (DNI). Aturan itu juga resmi mengakhiri larangan munculnya investasi baru di bidang usaha industri minol yang sudah diterapkan sejak 1993.

Peraturan ini dibatalkan setelah diprotes terutama oleh ormas-ormas dan partai Islam. Jokowi sendiri mengakui mencabutnya setelah “menerima masukan-masukan dari ulama-ulama MUI, NU, Muhammadiyah, dan ormas-ormas lainnya serta tokoh-tokoh agama yang lain, dan juga masukan-masukan dari provinsi dan daerah.”

Kebijakan ini juga dianggap bertentangan dengan keinginan DPR untuk membuat peraturan tentang larangan minol. Melalui RUU Larangan Minuman Beralkohol, minol ditetapkan tidak boleh diproduksi dan diedarkan bebas. Konsumsinya pun terbatas pada tempat tertentu seperti di hotel yang diizinkan.

Permintaan Besar

Sebelum dicabut, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan pelonggaran investasi ini agaknya terkait dengan rencana menggenjot pariwisata saat dan pasca pandemi. “Kalau tidak ada minuman beralkohol, tidak ada turis yang datang,” ucap Agus, Senin (1/3/2021), dikutip dari Antara.

Selain itu, menurutnya pemerintah ingin komoditas ini dapat lebih banyak diproduksi di dalam negeri karena juga dapat “melibatkan tenaga kerja yang banyak.”

Faktanya Indonesia memang langganan impor minol, sekurang-kurangnya dalam lima tahun terakhir, bahkan dengan tren yang terus meningkat. Di sisi lain, ekspornya terus menurun.

Menurut data UN Comtrade, impor Indonesia untuk minuman alkohol kategori HS 2204 yang mewakili minol berbasis anggur; HS 2208 yang mewakili minol jenis liqueur, spirits, dan lainnya; serta HS 2204 dan 2208 yang mewakili minuman fermentasi dan minol selain dari anggur terus meningkat. Total impor 4 HS itu pada 2016 mencapai 18,26 juta dolar AS, lalu naik menjadi 37,89 juta dolar AS di 2018 meski turun menjadi 25,25 juta dolar AS di 2019.

Kenaikan utamanya disebabkan oleh HS 2204. Pada 2016, impornya senilai 6,83 juta dolar AS dan menjadi 18,64 juta dolar AS sebelum turun menjadi 14 juta dolar AS pada 2019. Selanjutnya dari HS 2208. Angkanya naik dari 11,29 juta dolar AS di 2016 menjadi 18,53 juta dolar AS pada 2018 lalu turun ke 10,69 juta dolar AS pada 2019.

Di tengah tren impor yang terus meningkat, ekspor HS 2204, 2205, 2206, dan 2208 justru terus turun: Dari 14,57 juta dolar AS di 2016 menjadi 8,5 juta di 2018 lalu menjadi 2 juta dolar AS di 2019. HS 2204 turun tajam dari 11,10 juta dolar AS di 2016 menjadi 888.995 dolar AS di 2019. HS 2208 juga sama, dari 2,9 juta dolar AS di 2016 menjadi 1,11 juta dolar AS di 2019.

Konon, penurunan impor-ekspor di tahun 2019 disebabkan karena penerapan cukai yang naik hingga 15 persen. Faktor lainnya, ada ketidakpastian karena pilpres.

Tidak hanya impor yang naik, penjualan dua perusahaan minol yang telah terdaftar di bursa juga tetap meningkat dalam lima tahun terakhir. Penjualan bersih PT Delta Jakarta yang memproduksi bir Anker, misalnya, tetap naik dari Rp699,507 miliar di 2015 menjadi Rp893,0 miliar di 2018 dan turun menjadi Rp827,137 miliar di 2019.

Penjualan bersih PT Multi Bintang yang memproduksi merek Bintang, Heineken, dan Strongbow juga sama. Sejak 2015 penjualan bersihnya terus naik dari Rp2,69 triliun menjadi Rp3,711 triliun di 2019.

Kenaikan ini menariknya terjadi saat pemerintah melakukan pengetatan. Sebut saja lewat Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol serta Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 62 Tahun 2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan Industri dan Mutu Minuman Beralkohol.

Terus meningkatnya impor maupun penjualan minol tidak lain menandakan permintaan di dalam negeri memang cukup kuat.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI MINUMAN BERALKOHOL atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino