tirto.id - Ketua Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI) Sumarjati Arjoso, menyoroti prevalensi perokok anak yang mengalami peningkatan. Ia menyayangkan, ketika data perokok dewasa mengalami sedikit penurunan, di kelompok anak-anak dan remaja justru makin meningkat.
“Usia 10-14 tahun itu dari data (Riskesdas) 2013-2018 naik 0,7 persen. Usia 15-19 tahun sebesar 1,4 persen. Dan merokok pertama kali tertinggi adalah pada usia 15-19 tahun dan 10-14 artinya dari masih SD dan SMP,” ujar Sumarjati dalam konferensi pers daring, Jumat (14/3/2023).
Bahkan menurut Sumarjati, ada anak-anak yang mulai merokok usia 5-9 tahun sebanyak 2,5 persen.
“Jadi Indonesia ini kadang-kadang malu kita sebenarnya ya, baby smokers anak-anak balita sudah merokok dan viral di berbagai tempat sehingga kita rasanya memang (harus) malu ya,” ujar Sumarjati.
Prevalensi perokok anak usia 10 – 18 tahun naik dari 7,2% (2013) menjadi 9,1% (2018). Angka ini tidak sesuai dengan target RPJMN yang ditetapkan Pemerintah, ingin menurunkan angka prevalensi perokok anak sebesar 5,4% (2015-2019).
Jika tidak ingin gagal lagi dalam target RPJMN 2020-2024 yang membidik penurunan perokok anak sebesar 8,7%, Sumarjati menyatakan, Pemerintah perlu tegas melarang promosi, iklan dan sponsor rokok yang saat ini masih beredar.
“Di TV, ada banner, billboard, poster, tembok digambari, kendaraan umum banyak iklan rokok, internet, kemudian koran, majalah, radio dan bioskop. Sangat menyedihkan di TV itu (paparan pada anak) 84 persen dan internet itu untuk remaja. Jadi 45,7 persen remaja terpapar iklan rokok melalui media internet,” jelas Sumarjati.
Ia mengklaim ada hubungan antara paparan iklan rokok dengan meningkatkan status merokok anak-anak dan remaja.
“Status merokok pada anak dan remaja, 5 dari 10 remaja ini memiliki hubungan signifikan pada status merokok setelah melihat iklan-iklan tadi,” kata Sumarjati.
Adapun untuk mengatasi permasalahan ini, Sumarjati mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan mengatur regulasi soal larangan promosi, iklan dan sponsor rokok. Ia berharap RUU Kesehatan tidak bernasib seperti peraturan lain yang dinilainya gagal melindungi anak-anak dari paparan iklan rokok.
“Nah ini RUU kesehatan ini yang seperti dipaksakan harus jadi dalam satu bulan ini. Tetapi memang sangat memprihatinkan tadi juga disebut jangan-jangan mengabaikan hal-hal tentang perlindungan anak ini, termasuk perlindungan anak dari bahaya rokok,” ujar Sumarjati.
Sementara itu, Ketua Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Abdillah Ahsan, menyatakan sangat menyayangkan bila usaha mengawasi dan mengurangi konsumsi rokok selalu dibenturkan dengan narasi ekonomi.
“Ekonomi kita tidak boleh diserahkan oleh industri yang merusak kesehatan dalam hal ini industri rokok, jangan sampai bergantung,” kata Ahsan dalam kesempatan yang sama.
Ahsan menilai kondisi kesehatan masyarakat yang sehat dan produktif justru akan mempengaruhi kondisi ekonomi lebih baik. “Untuk meningkatkan kualitas kesehatan, cara paling mudah, paling murah itu berhenti merokok,” ujar Ahsan.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Restu Diantina Putri