tirto.id - Dari deretan hal-hal yang sering kali dianggap sensitif dalam relasi pacaran, uang termasuk di dalamnya. Tidak jarang hal ini mendatangkan konflik atau akhir hubungan yang menyakitkan. Salah satu pengalaman terkait uang dalam relasi diceritakan oleh Erin (24).
Pada 2014, Erin yang tengah duduk di semester 4 kala itu pernah berpacaran selama setahun dengan seorang laki-laki dan terlibat masalah uang dengannya. Sejak memasuki bulan keenam berelasi, pacar Erin mengalami kesulitan finansial seiring pengunduran diri dari kantornya. Sebagai orang terdekat, Erin tak keberatan saat sang pacar meminjam uang kepadanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
“Waktu itu dia sempat bilang, ‘Catat aja setiap aku pinjam uang’. Aku pun melakukan hal itu,” ujar dara yang bekerja di media ini.
Seiring berjalannya waktu, tak tampak upaya mengembalikan uang dari sang pacar. Sampai putus pun, utang sekitar 9 juta rupiah yang dimiliki pacar Erin tidak juga dilunasi. Dua minggu setelah berakhirnya hubungan mereka, Erin coba menagih sesuai dengan catatan piutang punyanya, tetapi balasan yang didapatkan dia dari sang mantan adalah, “Kok kamu hitung-hitungan, sih?”
Siapa yang Mesti Lebih Banyak Membayar?
Bagi sebagian orang, 'norma' yang berlaku dalam relasi romantis—heteroseksual—terkait uang adalah laki-laki yang dominan, baik soal membayari macam-macam keperluan dan keinginan sampai soal penghasilan. Ini berlaku dalam rupa-rupa norma, mulai dari yang tak tertulis sampai hukum positif.
Dalam Bab VI UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang masih berlaku sampai kini, tercantum peran gender normatif: suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga (pasal 31 ayat 3); suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (pasal 34 ayat 1); dan istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya (pasal 34 ayat 2).
Pembagian peran gender sejenis juga termaktub dalam Panca Darma Wanita yang lahir pada periode pemerintahan yang sama dengan penetapan UU Perkawinan. Di dalamnya, terdapat satu poin yang menyebutkan wanita sebagai pencari nafkah tambahan.
Adanya penjabaran peran gender macam ini merepresentasikan cara pandang masyarakat dan para pembuat regulasi tentang bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya berlaku dan siapa yang mestinya dominan. Tak pelak, pemikiran macam ini mewujud dalam pola-pola berelasi, mulai dari ranah rumah tangga sampai pacaran.
Kendati norma macam ini muncul dari puluhan tahun silam dan kini kesempatan perempuan untuk mencari nafkah sendiri semakin terbuka, masih ditemukan orang-orang yang meyakini bahwa laki-laki seharusnya lebih dominan urusan membayari pasangan.
Ria (24) misalnya, mengatakan kepada Tirto bahwa pasangannya kerap bersikukuh membayari keperluan mereka saat berkencan.
“Waktu saya mau bayar di kasir, dia mendampingi saya. Pas kasirnya sebut harga, pasangan saya langsung ngeluarin duit dan bilang, ‘pakai ini saja, enggak apa-apa.’ Atau kalau saya pesan sesuatu secara online, dia bakal bayar kontan dan bilang untuk mengganti uang yang saya keluarkan.”
Pernah sekali waktu, Ria mengajak makan pasangannya ke tempat mahal ketika si pasangan bokek. Mahasiswi magister sebuah kampus di Depok ini sudah menawarkan akan membayari dengan sukarela, tetapi pasangannya menukas, “Jangan, [saya] gengsi. Harusnya cowok yang bayarin.”
Sebelum berelasi dengan pasangannya kini, Ria pernah pula berpacaran dengan seorang laki-laki yang beberapa kali tanpa diminta menyerahkan bayaran pekerjaannya secara langsung kepada dia. “Itu seamplop-amplopnya langsung dikasih ke saya tanpa dibuka dulu,” kenang Ria.
Anna (28) punya cerita berbeda soal alasan kekasihnya sering membayari macam-macam keperluannya. Staf akunting di perusahaan yang berkantor di Kuningan, Jakarta Selatan ini mengaku, sang pacar memandang perilaku membayari pasangan saat ini sebagai ‘latihan’ sebelum berumah tangga.
“Pacar gue bilang kalau perilaku ngebayarin gue itu semacam improvement diri dia. Apakah dia sanggup buat biayai pasangannya atau enggak. Semasa pacaran kan memang cuma membayari jajan-jajan saja atau keperluan kecil gue macam kosmetik. Nah, bisa enggaknya membiayai hal-hal macam ini jadi perkiraan dia nantinya kalau berumah tangga. Bisa [atau] enggak memenuhi kebutuhan belanja rumah tangga, biaya keperluan dan pendidikan anak,” ungkap Anna.
Tidak hanya di Indonesia, norma pacaran terkait urusan uang yang serupa pun ditemukan di konteks anak muda AS. Pada 2014, The Guardian membuat survei kecil-kecilan di media sosial untuk mengetahui pendapat pengikut mereka tentang isu uang dalam pacaran.
Mereka menemukan kebanyakan responden laki-laki yakin bahwa merekalah yang harus membayar, sementara di sisi responden perempuan, mereka lebih terbuka untuk membagi tagihan atau membayari teman kencannya bila mereka yang menginsiasi kencan.
Dari hasil survei mereka, dicantumkan pula opini responden soal kekhawatiran terkait isu uang dalam berkencan. Alex (23) dari Boston misalnya, mengaku merasakan kekhawatiran ini karena dia sendiri masih tinggal dengan orangtua. Sementara David (27) dari New York menyatakan keadaan bokek yang sempat dialaminya berpengaruh terhadap kepercayaan diri saat berkencan, bahkan bila kencan yang dilakukannya tak menuntut biaya apa pun alias gratis.
Kendati gengsi masih sering jadi alasan laki-laki membayari pasangannya, ada pula yang merasa baik-baik saja ketika harus berbagi tagihan dengan pasangan, tak khawatir bila tak bisa membiayai kencan, atau tak segan ketika perempuan membayari kebutuhannya bila sedang dilanda krisis. Alasannya sederhana: realistis dan bila di lain waktu mereka punya uang cukup, mereka bisa balik membayari pasangan.
Opini lain dari perspektif laki-laki soal uang dalam pacaran disampaikan pula oleh Satria (29). Ia menganggap, urusan uang dan pacar sebaiknya dipisahkan. “Uang itu enggak kenal saudara,” ujarnya.
Kalaupun pasangan Satria sedang benar-benar kesulitan dana, ia akan memberikan sesuai dengan kemampuannya walau mungkin tak bisa menutup sepenuhnya kebutuhan si pasangan.
Nyaman atau Tidak?
Perilaku laki-laki senang membayari pasangan rupanya tidak selalu membikin nyaman seseorang. Ada konteks-konteks tertentu yang memengaruhi perasaan mereka saat menerima uang atau dibayari pasangan.
“Kalau dibayari sama pasangan yang sekarang, saya enggak nyaman karena dia belum mapan, masih ada sebagian pemberian dari orangtua juga. Kalaupun dapat uang dari proyek lepas yang dia kerjakan, menurut saya lebih baik pasangan saya menabungnya. Nah, kalau sama pasangan sebelumnya sih saya nyaman-nyaman saja karena memang hasil kerja dia sendiri dan lebih mapan dari pasangan sekarang,” papar Ria.
Rasa nyaman-nyaman saja ketika dibayari pacar juga diutarakan Anna. Baginya, wajar bila pasangan berlaku demikian, beda cerita bila konteksnya masih pendekatan. Ia merasa tidak enak bila orang yang belum berstatus pacarnya kerap membayari sesuatu.
Kenyamanan yang dirasakan Anna dipengaruhi pula oleh kondisi finansialnya yang sempat terpuruk imbas penggajian yang tidak penuh dari kantor selama berbulan-bulan karena krisis. Pada akhirnya, ia pun tak segan lagi meminta uang secara gamblang kepada pasangan bila dompetnya sedang melompong.
Namun, untuk hal-hal tertentu, Anna tetap berinisiatif untuk bergantian membayari atau memilih meminjam alih-alih meminta. “Kayak pas gue sidang skripsi dan butuh duit, gue minjem pacar dan memang gue balikin pas megang duit,” kata Anna.
Diskusi Soal Uang Sejak Masih Pacaran
Membicarakan soal keadaan finansial dan pembagian giliran membayari keperluan tertentu bagi sebagian orang dianggap tak mudah atau tak nyaman. Karenanya, Terri Orbuch Ph.D., terapis dan profesor di Oakland University, Michigan, membagikan sejumlah kiat untuk membahas hal ini dengan pasangan dalam artikel bertajuk “Don’t Let Money Ruin Your Relationship” di Psychology Today.
Sebelum berdiskusi soal uang, seseorang butuh memastikan apakah konflik dengan pasangan memang benar-benar soal finansial atau isu lain seperti pengendalian, keamanan, penilaian diri, dan cinta. Menurut Orbuch, uang boleh jadi hanya masalah yang terlihat di permukaan ketika pasangan menemukan ketidakcocokan pendapat.
Momen menentukan hasil diskusi pasangan soal uang. Orbuch menyampaikan, bila ingin membahas hal ini, seseorang perlu mencari saat yang netral. Bila pasangan sedang dilanda tekanan berlapis di luar relasi romantisnya, atau bila seseorang sedang dalam kondisi emosional, besar kemungkinan pembicaraan soal uang menambah konflik baru yang bukan mustahil memicu perpisahan.
Tidak semua orang pula nyaman mengobrolkan soal uang pada awal pacaran. Selagi menunggu momen yang tepat, orang yang terlibat relasi romantis bisa mengamati dulu perilaku menghabiskan uang pribadi si pasangan serta pola bayar-membayar dalam kencan. Bila ditemukan ketidaknyamanan di salah satu pihak, diskusi soal uang dalam pacaran bisa dimulai.
Orbuch juga menambahkan, setelah diskusi seputar uang dilakukan pasangan, perlu ada aturan dan batasan tertentu yang mereka set. Bila hal ini diabaikan, tidak tertutup kemungkinan konflik serupa terjadi kembali di masa depan dan meninggalkan ketidaknyamanan di satu pihak.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani